Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cahaya di Kelas hingga Pasar
Dikenal cerdas meski prestasi akademisnya di bawah rata-rata. Suka ngeyel sejak kecil, lalu menjadi mahasiswa beken saat kuliah di Universitas Brawijaya, Malang.
Masih segar di ingatan Yulaikahpolah lucu Munir Said Thalib, muridnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Batu, Jawa Timur, pada 1981-1983. Remaja itu dikenang perempuan 58 tahun ini sangat alergi terhadap pelajaran bahasa Inggris dan matematika.
Saat pelajaran tersebut berlangsung, Munir kerap menghindar dengan mengaku sakit gatal-gatal. Ia lantas minta beristirahat di ruang UKS (unit kesehatan sekolah). "Sering enggak garap PR juga, pura-pura sakit," kata Yulaikah kepada Tempo, November lalu.
Tentu saja, akibat ulahnya itu, nilai bahasa Inggris dan matematika Munir di rapor jadi jeblok. Dia hanya meraih angka 6 dan 5 untuk kedua mata pelajaran tersebut. Pada dasarnya Munir memang bukan anak yang menonjol dari sisi akademis. Selama mengenyam pendidikan di sekolah itu, ia hanya berada di peringkat ke-179 atau ke-180 dari 200 siswa.
Munir, menurut Alimah, guru lain Munir di SMP 1, agak menonjol hanya dalam pelajaran pendidikan moral Pancasila.
Dia mengatakan karena faktor nilai akademis itulah Munir tidak terpilih menjadi pengurus Organisasi Siswa Intra-Sekolah. "Nilai pelajaran memang menjadi salah satu faktor guru memilih pengurus OSIS," kata Alimah, yang pensiun setahun lalu.
Meski nilainya standar, Munir memiliki kelebihan dibanding siswa lain, yakni pemberani dan pintar berkomunikasi.
Munir tidak canggung berdiskusi dengan guru, berbeda dengan kebanyakan siswa yang terkesan malu dan takut saat bertemu dengan guru. "Dia lebih berani dan jago berkomunikasi," kata Alimah, bekas guru bimbingan konseling SMP 1 Batu. Meski bertubuh kecil, Munir terlihat lincah dan pandai berbicara. Munir juga kritis bertanya mengenai banyak hal.
Saat bersekolah di SMA Negeri 1 Batu (1983-1985), Munir suka duduk di bangku belakang. Dan ia sering terkantuk-kantuk, kadang sampai tertidur, saat guru mengajar. Guru mata pelajaran bahasa Indonesia, Eny Suningsih, 59 tahun, pernah meminta Munir membasuh wajahnya di kamar mandi. "Setelah cuci muka, segar, baru balik ke kelas," kata Eny.
Eny kerap heran saat mendapat tugas dan maju menjawab pertanyaan, Munir bisa memberikan jawaban benar, rapi, dan runtut. "Dia juga aktif bertanya," katanya. Belakangan, diketahui Munir mengantuk karena kelelahan setelah membantu kakaknya berjualan di pasar.
Lahir di keluarga pedagang, Munir saban hari membantu kakaknya, Muhfid Said Thalib, berdagang kain, sepatu, dan sandal di Pasar Batu. Itu dilakukannya sejak ayah mereka, Said Thalib, meninggal ketika Munir masih kelas VI sekolah dasar. Sembari membantu berdagang di pasar, ia juga bermain dan belajar dengan Santoso, teman sekolah yang membantunya berdagang.
Hingga lulus sarjana hukum Universitas Brawijaya, Munir membiayai sendiri kuliahnya. Dengan dua kakaknya yang kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, beban sang ibu tentu saja berat. Muhfid, kakak nomor dua Munir, sampai sekarang masih berdagang di Pasar Batu.
Annisa Said Thalib, kakak perempuan Munir, mengatakan keceriaan Munir menghilang setelah ayah mereka meninggal. Munir mengurangi bermain bersama teman-temanya. Sebelumnya, Munir gemar bermain lumpur, mencari ikan di sungai, dan berkejaran di pematang sawah.
Teman semasa SD, Saiful Amin, bercerita bahwa Munir dan teman-teman paling senang berenang di Sungai Brantas. Tubuhnya kurus, kecil, dengan rambut kemerah-merahan, sehingga sering menjadi bahan ledekan. Munir mudah bergaul dan tak memilih-milih teman. Namun Munir juga dikenal suka berantem. "Munir suka membela teman. Peduli dan mudah berempati," katanya.
Munir, yang artinya bercahaya, sejak kecil punya watak memberontak. "Suka ngeyel," kata Farida, 60 tahun, guru SD Muhammadiyah 4 Batu. Hal sama diakui Muhfid. Anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan Said Thalib dan Djamilah itu satu-satunya yang berani "melawan" perintah orang tua.
Menurut Muhfid, Munir selalu menuntut alasan yang logis bila keinginannya ditolak. "Kalau Ibu asal saja melarang, dia pasti protes," tutur Muhfid. "Dan protesnya masuk akal jadi kakak-kakaknya sering salut."
Bakat kepemimpinannya muncul saat menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Dia dikenal cerdas dan aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa ekstra dan intra-kampus. Teman dia banyak karena kepribadiannya yang mudah bergaul.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Muhammad Najih, mengaku sudah memperhatikan Munir sejak orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada 1985.
Najih mengenang Munir aktif dan kemudian terlibat dalam berbagai forum diskusi Dinamika Study Club mahasiswa Fakultas Hukum. Munir sering menyampaikan gagasan baru yang kadang tak terpikirkan mahasiswa saat itu. "Munir punya banyak gagasan dan ide yang orisinal," ujar Najih.
Keaktifan Munir dalam kegiatan tersebut ditunjukkan dengan kepedulian mengembangkan organisasi. Munir mengusulkan gagasan untuk membuat refleksi kepengurusan HMI Komisariat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam saat itu, termasuk Najih yang menjabat Ketua HMI, tak terpikirkan membuat kegiatan seperti itu. Hasil diskusi melahirkan sebuah gerakan sosial. "Munir mengusulkan mengangkat isu perburuhan," ujar Najih.
Menurut dia, kepekaan Munir terhadap isu buruh sudah terlihat sejak mahasiswa. Pemikiran tentang isu perburuhan lebih tajam. Dalam tempo setahun, Munir menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dan Badan Perwakilan Mahasiswa.
Pergaulan Munir pun semakin luas setelah menjadi pengurus senat mahasiswa.
Dalam berbagai aktivitas itu terkadang terjadi gesekan, bahkan hingga adu fisik. Kejadian itu bermula saat Munir memimpin sebuah rapat dan ada sekelompok mahasiswa yang menganggap gagasan dan aspirasinya tak ditampung.
Maka seorang peserta rapat naik pitam dan melayangkan bogem mentah ke perut Munir. Rapat terhenti, teman yang lain membela Munir dan hampir terjadi baku pukul. Beruntung, Munir bisa mencairkan suasana dan kembali normal.
Munir juga kritis terhadap kebijakan di kampus. Bersama teman-temannya, Munir memprotes sejumlah kebijakan yang membatasi ruang gerak mahasiswa. Lantas mereka berdialog dan mengajukan tuntutan untuk kebebasan mahasiswa beraktivitas di dalam kampus.
Usaha itu berhasil, dan sejumlah kebijakan kampus diubah.
Menurut Najih, Munir jadi mahasiswa beken saat itu. Teman-temannya memanggil Munir dengan sebutan "Arab pirang". Beberapa mahasiswi tentu menaksir mahasiswa idola itu. Tapi, selama kuliah, bahkan sejak SMP-SMA, Munir tak pernah berpacaran.
Munir pandai membagi waktu antara kuliah dan aktivitas kemahasiswaan di kampus. Ia tetap sempat berjualan pakaian dan sepatu di Pasar Batu. Meski bekerja untuk biaya sekolah, Munir tetap aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Bahkan, saat semester akhir, ia aktif menjadi relawan di Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang.
Di LBH, Munir menangani sengketa tanah yang berujung pada konflik antara rakyat dan militer, seperti kasus sengketa tanah di Senggreng, Sumberpucung, Kabupaten Malang, dan Kalibakar, Kabupaten Malang. Munir punya ketegasan sikap.
Saat tahu harus melawan Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Brawijaya dalam kasus Kalibakar, Munir mengembalikan peniti emas penghargaan mahasiswa teladan yang diberikan Universitas Brawijaya. "Peniti emas diserahkan Rektor Universitas Brawijaya pada 2002," kata Luthfi J. Kurniawan, Koordinator Omah Munir yang juga juniornya di LBH dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo