Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pelukan Suci untuk Alif

Putra sulung Munir masih sering bermimpi tentang ayahnya. Berusaha membangun semangat baru.

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suciwati dengan sabar memperhatikan wajah putranya. Di tengah perbincangan dengan Tempo di alun-alun Kota Batu, Jawa Timur, Oktober lalu, tiba-tiba Alif Allende, 16 tahun, sulung dari pasangan Suciwati-Munir, berteriak.

"Sejak Abah meninggal, semua berubah…," teriak Alif.

"Berubah seperti apa?" Suciwati bertanya pelan kepada putranya.

"Ya, semuanya, berubah semuanya. Keadaan sekeliling, orang-orang. Aku sering mimpi ketemu Abah dan memanggilnya, 'Abah, Abah ...'," ujar Alif. Remaja ini seperti susah menjelaskan lebih jauh perasaannya.

Setelah Munir tewas diracun dalam penerbangan ke Amsterdam pada 7 September 2004, kata Suci, sangat sulit bagi Alif membiasakan hidup tanpa sang ayah. "Sangat berat dan butuh waktu," ujarnya. Suci menceritakan bagaimana keluarga kecilnya mulai bangkit dan membangun semangat baru sepeninggal Munir di Batu, kota kelahiran Munir.

Sebelum Munir meninggal, rutinitas keluarga kecilnya berawal setelah subuh. Seusai salat, Munir ikut menyiapkan keperluan anak-anaknya bersekolah. Alif saat itu sudah mulai masuk taman kanak-kanak. Munir kerap memandikan kedua buah hatinya, sementara Suci memasak. Setelah itu, Alif mulai menagih untuk diantar.

Alif kecil, kata Suci, terbiasa diantar sang ayah ke sekolah memakai sepeda motor butut. Tak mau hanya sendirian bersama ayahnya, dia juga ingin adiknya, Diva Suukyi yang terpaut enam tahun, dan Suci ikut mengantar. "Ya sudah, berempat naik motor, setiap pagi, rutin. Kalau abahnya pergi, baru jalan kaki bertiga," ujar Suci.

Alif dan Diva juga terbiasa berakhir pekan bersama. Saat Sabtu-Ahad, acap kali Munir mengajak jalan-jalan, berenang, atau makan bareng. Seminggu beraktivitas di luar, Suci dan Munir punya kesepakatan untuk membangun kebiasaan dan waktu berkualitas buat keluarga mereka. "Enam hari sudah untuk orang lain di luar."

Sepeninggal Munir, kata Suci, ia merasakan beratnya bangkit sembari membesarkan semangat kedua anaknya. Tiap hari, selepas kerja, Suci mengajak mereka saling bercerita, mengobrol tentang apa yang terjadi hari itu, atau sekadar berkumpul di tempat tidur. Diva diputarkan film anak-anak, sementara Alif diberi buku bacaan. Bergantian mereka menceritakan apa saja yang dibaca, dilihat, dan dialami. "Kami tertawa kalau sudah begitu."

Pernah suatu kali, sepulang kerja, Suci mendapatkan Alif sedang menangis karena teringat ayahnya. "Alif kangen bapaknya, jadilah aku yang sudah bad mood ikut nangis. Kami selama setengah jam menangis bareng. Sakit banget." Setelah itu, mereka salat dan berdoa bersama. Suci tak begitu ingat kapan, tapi tak lama setelah penangkapan Pollycarpus Budihari Priyanto, Maret 2005.

Suatu ketika Suci juga pernah mendengar Alif berteriak marah saat menonton televisi. Ternyata saat itu televisi menayangkan berita yang terkait dengan Pollycarpus. "Aku mau bunuh Pollycarpus, dia bunuh Abah," teriak Alif tiba-tiba.

Suci membiarkan Alif marah, setelah itu memeluknya. Dia menanyakan mengapa dia berkata demikian. Dengan sabar dan telaten Suci menenangkan putra sulungnya dan memberi pengertian. "Kalau Alif membunuh, berarti sama jahatnya."

Alif sudah lulus dari pondok pesantren yang menjadi tempat belajarnya selama tiga setengah tahun. Si bungsu Diva ganti mondok. Pada pagi hari, kata Suci, biasanya setelah alarm berbunyi, dia dan Alif salat subuh bersama. Setelah itu, Alif memasak air dan membuatkan teh untuk ibunya. Suci akan memasak atau menghangatkan makanan untuk sarapan. Lalu mereka makan bersama. Suci akan menunggu sampai Alif selesai makan sebelum beraktivitas.

Keluarga kecil ini juga terbiasa berbagi tugas rumah tangga. Tanpa disuruh, kata Suci, Diva atau Alif akan mencuci piring atau pakaian mereka atau belajar bersih-bersih rumah. Suci mengatakan memutuskan tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga. "Susah cari asisten di Malang. Lagi pula malah lebih sehat, dan lebih akrab."

Dalam sebulan, Suci sering berada di Jakarta untuk menjadi fasilitator, pembicara di seminar, atau memenuhi undangan. Biasanya dia mengambil waktu lima hari. Setelah itu, dia pulang kembali ke Batu.

Meski tak akan bisa menerima kepergian Munir, Suci mengatakan kepada kedua anaknya untuk mendoakan mereka yang terlibat dalam pembunuhan agar diberi petunjuk sehingga mau mengakui perbuatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus