Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENDUDUK Desa Sukamantri, di Kabupaten Bandung, terutama yang tinggal di pinggir Kali Cikaro, sudah lupa dengan warna air untuk mencuci pakaian dan alat rumah tangga. Mereka terbiasa mencuci baju seragam putih anak-anak memakai air sungai yang cokelat. "Bisa bersih juga, tuh," ujar Dini, perempuan 42 tahun yang tinggal di RW 12.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo menemui Dini ketika ia sedang mencuci seragam anaknya. Saat menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar Sungai Cikaro yang kotor, Dini santai menjawab seraya terus mengucek seember pakaian. Ia tak peduli terhadap bau busuk air kali di depannya yang permukaannya terungkup pelbagai jenis sampah. "Lebih bersih mencuci memakai air sungai lho daripada air sumur," ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan Dini, air Sungai Cikaro mengalir sangat pelan. Kedalaman sungai tinggal 60 sentimeter atau selutut orang dewasa. "Dulu satu batang bambu saja masih belum sampai dasar," kata Nanang Jauhari, ketua rukun warga setempat. Sampah dan lumpur kian tak terkendali karena pintu air Cikaro rusak bertahun-tahun.
Menurut Nanang, sampah dan lumpur terbawa arus sungai dari hulu. Sampah umumnya limbah rumah tangga yang dibuang penduduk di desa-desa sepanjang Cikaro dan bertemu dengan jutaan sampah lain dari 45 anak-anak Sungai Citarum lain. "Tim patroli kami sering melihat penduduk buang sampah langsung ke kali," ujar Kepala Penerangan Komando Daerah Militer III/Siliwangi Kolonel Artileri Pertahanan Udara M. Desi Ariyanto.
Sejak November tahun lalu, ribuan tentara yang dikomandoi 22 kolonel terjun ke Citarum untuk membersihkan sungai itu dari sampah. Menurut Desi, sejak tentara berpatroli, penduduk desa membuang sampah diam-diam pada malam hari. Mereka tak takut terhadap ancaman denda Rp 250 ribu hingga Rp 5 juta melalui peraturan daerah tentang larangan membuang sampah ke sungai.
Tak hanya dari penduduk, limbah di Citarum berasal dari peternakan, pejagalan, bahkan limbah medis. Satuan Tugas Daerah Aliran Sungai Citarum menghitung ada 20.462 ton sampah organik dan anorganik per hari yang dibuang ke sungai ini. Tinja manusia saja bisa mencapai 35,5 ton per hari karena Sungai Citarum dan anak-anak sungainya menjadi tempat mandi, cuci, dan kakus terpanjang di Jawa Barat.
Penyebab utama sampah itu adalah tak tersedianya tempat penampung sampah di desa-desa tersebut. Selama dua pekan menyusuri Citarum, tim Tempo tak menemukan satu pun tempat pembuangan sampah di desa-desa itu. Tempat penampungan sementara hanya ada di Bojongsoang, yang akan diteruskan ke tempat pembuangan akhir di Sarimukti, Bandung Barat.
Karena menjadi satu-satunya tempat sampah se-Bandung Raya, TPA Sarimukti acap kelebihan muatan karena kapasitasnya hanya 1.800 ton per hari. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat Anang Sudarna, setiap hari rata-rata 2.250 ton sampah datang ke Sarimukti. "Kami sedang membangun TPA baru di Legok Nangka, Nagreg," tuturnya. Luasnya 65 hektare.
Di Citarum, puluhan ribu kubik sampah itu lama-lama mengendap tak bisa lagi terangkut ke hilir karena air sungai kian pelan mengalir akibat pendangkalan. Lumpur dari hulu, seperti disebutkan Nanang, terjadi akibat alih fungsi lahan di sekitar Danau Cisanti di Pangalengan, hulu Citarum yang mengalir sepanjang 269 kilometer hingga Laut Jawa. Badan Pemeriksa Keuangan, yang mengaudit Citarum pada 2009-2012, menemukan laju sedimentasi di DAS Citarum bisa mencapai 6,4 juta meter kubik per tahun.
Di Desa Tarumajaya di Kertasari, sekitar Cisanti, penduduk desa mengubah hutan milik Perhutani yang menjadi rumah mata air menjadi kebun. Akibatnya, tanah yang tak lagi punya pijakan ke akar-akar pohon itu turun ke sungai dan terbawa arus hingga hilir. "Keluarga saya dari dulu mengolah kebun di sini," ucap Dede Rahmat, penduduk Tarumajaya.
Perhutani tak sanggup membendung animo masyarakat merambah hutan. Kendati sudah dilarang, mereka tetap datang untuk menanam palawija. "Ini problem sosial yang tak kunjung bisa diatasi bertahun-tahun," kata Hendrawan, Wakil Kepala Administrasi Wilayah Timur Perhutani untuk KPH Bandung Selatan. "Penanganannya perlu terintegrasi."
Sementara pemerintah baru berpikir integrasi, penduduk di sepanjang Citarum memanfaatkan problem sungai itu menjadi mata pencarian. Selain memungut sampah, mereka menyelami Citarum untuk mengeruk lumpurnya dan menjualnya ke pengembang infrastruktur. Harganya Rp 100 ribu per meter kubik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo