Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panas-Hitam Limbah Citarum

TIM lintas lembaga negara yang dibentuk Presiden Joko Widodo tak bisa menghentikan pabrik-pabrik di Jawa Barat membuang limbah cair ke Citarum, sungai paling beracun di dunia.

29 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Panas-Hitam Limbah Citarum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIM lintas lembaga negara yang dibentuk Presiden Joko Widodo tak bisa menghentikan pabrik-pabrik di Jawa Barat membuang limbah cair ke Citarum, sungai paling beracun di dunia. Tim Tempo menemukan bukti-bukti telak pabrik pelbagai perusahaan terang-terangan membuang limbah tanpa diolah, sementara penduduk membuang sampah dan kotoran langsung ke sungai seraya mandi dan mencuci di sana. Birokrasi yang ruwet membuat penanganan Citarum centang-perenang. Di tengah itu semua, politikus memanfaatkannya untuk menaikkan elektabilitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIPA itu tenggelam di bawah permukaan air parit persawahan Jalan Bunisari di Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Dari ujungnya yang berdiameter tujuh inci keluar air cokelat, lima menit kemudian berubah menghitam. Saat Tempo mengukurnya dengan alat pengukur pH digital pada Rabu tiga pekan lalu, pH air itu 9,3 dan suhu 32,5 derajat Celsius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cairan sangat basa itu bercampur dengan air irigasi yang mengaliri puluhan petak sawah. Para petani memberi tahu bahwa ujung pipa itu berasal dari pabrik PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company, yang temboknya dipisahkan jalan dengan area sawah. Manajer Utilitas PT Ultrajaya Tjatur Nugroho mengakui pipa itu milik perusahaannya. "Itu sisa dari pengolahan air," katanya.

Dari sawah, air limbah Ultrajaya itu mengalir ke Sungai Babakan Cianjur sebelum bermuara di Citarum. Sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat ini oleh Blacksmith Institute New York pada 2013 dinobatkan sebagai sungai paling beracun sedunia. Sampah memenuhinya dengan limbah cair bersekutu dengan air di dalamnya. Sumbernya dari 1.700 pabrik yang membuang limbah ke sungai ini.

Salah satunya Ultrajaya, produsen susu merek Ultra Milk dan Teh Kotak. Tapi, menurut Tjatur, air hitam dari pipa di sawah itu sudah bercampur dengan air limbah PT Sumber Mekar Tekstil Indonesia, pabrik handuk yang lokasinya persis di sebelah Ultrajaya. "Kami tak memproduksi limbah cair, hanya menjahit," ujar Rudi, anggota staf Divisi Sumber Daya Manusia PT Sumber Mekar, membantah tudingan Tjatur.

Selain pipa di saluran irigasi itu, ada dua pipa lagi yang bersambung ke pabrik Ultrajaya. Jarak antarpipa sekitar 100 meter. Pipa kedua ini berupa pipa beton yang mengeluarkan air putih seperti susu. Sedangkan pipa ketiga di ujung sawah mengeluarkan air kecokelatan.

Tjatur mengakui tiga pipa itu milik Ultrajaya. Pipa kedua merupakan pembuangan campuran limbah operasi pabrik, bukan hanya limbah cair. Sedangkan pipa ketiga pembuangan limbah cair yang terhubung ke instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Tjatur menunjukkan surat perpanjangan IPAL dari Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat bertanggal 17 September 2017.

Di surat itu diterakan bahwa PT Ultrajaya hanya diizinkan punya satu pipa pembuangan limbah, yakni pipa ketiga yang terhubung ke IPAL. Tjatur tak menjelaskan izin dua pipa lain. Ia mengajak Tempo masuk ke ruangan IPAL yang terpisah gedung dari pabrik. Tjatur menyilakan Tempo menguji air limbah itu. Menurut dia, Ultrajaya sudah mengolah limbah sesuai dengan aturan dan membuang airnya lewat pipa ketiga.

Alat pengukur pH menunjukkan angka 7,7 dengan suhu 31 derajat Celsius. Tjatur terperanjat karena temperatur itu berada di atas ukuran umum pengolahan limbah. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang baku mutu limbah menetapkan pH air limbah yang boleh dibuang ke sungai setelah dari IPAL oleh pabrik susu dan tekstil sebesar 6-9. "Suhu harus di bawah 30 derajat agar tak membunuh mikroorganisme sungai," kata Kepala Bidang Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat Eva Fandora.

Tjatur meminta anak buahnya mengambil termometer perusahaan untuk mengecek silang suhu air hasil olahan limbah IPAL Ultrajaya. Anak buahnya kembali setengah berlari dan menyerahkan alat ukur itu. Setelah dicelupkan, di sana tertera angka 32 derajat Celsius!

Maman Khoerudin, Manajer Pengolahan Limbah dan Lingkungan Ultrajaya, yang hadir di sana, berusaha meyakinkan bahwa limbah perusahaannya sudah netral. Ia lalu berkumur-kumur memakai air limbah itu dan berwudu. "Ini bukti air ini aman," ucapnya, dengan wajah basah.

l l l

DINAS Lingkungan Hidup Jawa Barat mencatat Ultrajaya adalah perusahaan penghasil limbah cair nomor dua terbesar di Bandung Barat. Setiap hari, produsen Susu Sehat ini menghasilkan 2.000 meter kubik limbah cair. Limbah tersebut seharusnya diolah di instalasi pengolahan air limbah mereka sebelum dibuang ke sungai.

Karena Citarum merupakan induk sungai dari banyak anak sungai dan selokan, pabrik-pabrik yang berdiri di sekitarnya membuang air limbah ke anak-anak sungai tersebut. Jumlah 1.700 pabrik itu merupakan perusahaan yang memproduksi limbah cair dan membuangnya ke Citarum, dari 2.800 pabrik yang ada di provinsi ini. Temuan Dinas Lingkungan, 90 persen pabrik tekstil tak memiliki IPAL.

Umumnya pabrik besar di Bandung memproduksi limbah cair 200 meter kubik per hari. Di Bandung Barat, PT Indo-Rama Synthetics tercatat sebagai produsen limbah cair terbesar dengan 3.000 meter kubik. Pabrik tekstil ini milik Sri Prakash Lohia, pengusaha India yang pindah ke Indonesia pada 1974. Pada 2013, majalah Forbes menempatkannya sebagai orang terkaya ke-6 di Indonesia dengan harta US$ 3 miliar atau sekitar Rp 26 triliun.

Tempo menguji air limbah saluran pembuangan PT Indo-Rama pada pertengahan April lalu. Airnya berwarna kekuningan bersuhu 34,8 derajat Celsius dan pH 7,7. "Temperatur limbah yang dibuang bisa bervariasi, bergantung pada temperatur suhu kamar," ujar Manajer Lingkungan PT Indo-Rama Maman M.

Selain dua alat uji itu, peraturan Menteri Lingkungan mensyaratkan baku mutu sungai untuk mengukur sungai tercemar, yakni biological oxygen demand (BOD) atau ukuran oksigen yang dibutuhkan bakteri mengurai zat organik dengan standar 3 miligram per liter, chemical oxygen demand (COD) atau jumlah oksigen untuk mengoksidasi zat organik di limbah dengan standar 25 miligram per liter, dan dissolved oxygen (DO) atau kadar oksigen terlarut dalam air dengan standar paling tinggi 4 miligram per liter.

Tiga angka uji itu hanya bisa diukur di laboratorium terverifikasi. Hanya orang bersertifikat pula yang bisa menguji limbah ini. Pada 2017, Dinas Lingkungan Hidup menguji baku mutu di tujuh titik sepanjang Citarum. Hasil tertingginya, BOD 110 miligram per liter, COD 300 miligram per liter, dan DO 1 miligram per liter.

Dinas Lingkungan tak menguji limbah per pabrik karena terbentur aturan dan sumber daya. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Anang Sudarna, karena otonomi daerah, hanya pemberi izin yang boleh menguji limbah tiap pabrik, yakni pemerintah kabupaten atau kota. "Masalahnya, kabupaten dan kota tak punya penyidik lingkungan," katanya. "Di provinsi saja pegawai yang bersertifikat hanya empat orang."

Walhasil, pengawasan terhadap pabrik yang membuang limbah tanpa diolah di IPAL menjadi celah banyak perusahaan tak mengolah limbah mereka sebelum dibuang ke Citarum.

l l l

SUNGAI Citarum mengalir sepanjang 269 kilometer melintasi 12 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Berhulu di Situ Cisanti, Pangalengan, sungai ini bermuara di Muara Gembong, Bekasi. Ada 46 anak sungai yang bermuara di Citarum dengan ratusan selokan kecil yang menjadi tempat pembuangan air limbah ribuan pabrik.

Selama dua pekan pada April lalu, tim Tempo menelusuri anak-anak sungai ini. Saat bermuara di Citarum, air anak-anak sungai berwarna cokelat. Limbah di Citarum, menurut Anang Sudarna, berasal dari limbah cair pabrik dan sampah plastik rumah tangga serta kotoran manusia dan hewan. Menurut perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan, yang melakukan audit pada 2009-2012, limbah cair yang mengalir di Citarum sebanyak 10,6 juta meter kubik per bulan, setara dengan tiga kali volume air Danau Sunter di Jakarta Utara (lihat infografis).

Limbah inilah yang berdampak terhadap 17 juta penduduk Jawa Barat dan 10 juta DKI Jakarta yang memakai air Citarum untuk pelbagai keperluan. Sebanyak 80 persen air baku di Jakarta dipasok dari sini. "Ada temuan mikroba berbahaya yang mengontaminasi Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata yang 200 ton per hari ikannya dikonsumsi orang Jakarta," ujar Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.

Luhut memimpin restorasi Ciliwung setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018. Meski belum banyak yang dilakukan tim yang melibatkan banyak lembaga pemerintah ini, Luhut berjanji menindak perusahaan bandel dan melanggar aturan dalam mengolah limbah. "Akan kami hajar, tak ada kompromi," katanya kepada Tempo.

Ada banyak modus pabrik membuang limbah. Umumnya mereka membuang cairan sisa produksi itu secara terbuka ke parit atau anak sungai. Ada yang membuang saat dinihari agar tak terpantau petugas. Ada yang "dibocorkan" melalui pipa pembuangan ketika hujan deras untuk menyamarkan bau dan warna limbah. Ada pula yang menyembunyikan pipa pembuangan ilegal yang biasa disebut pipa siluman karena tak tercatat dalam surat izin dari Dinas Lingkungan Hidup.

Tempo menemukan pipa siluman itu di Kampung Bojongbolang, Desa Sukadana, Kabupaten Sumedang. Pipa itu berada di belakang pabrik tekstil PT Kewalram Indonesia di Jalan Raya Rancaekek Kilometer 25, Sumedang. Mulut pipa tenggelam di dasar parit yang berlumpur dan tertutup pepohonan pisang. Parit itu mengalir ke Sungai Cikijing, anak Sungai Citarum. Ada juga pipa misterius yang mengeluarkan cairan hitam yang tersembunyi di dinding got depan PT Kewalram. Kedua pipa itu terbenam dalam tanah.

Perusahaan yang berdiri pada 1976 ini tercatat sebagai pembuang limbah cair terbesar di Sumedang dengan volume 9.850 meter kubik per hari. Kedua pipa tadi bukan saluran resmi perusahaan ini. Menurut Dedeng, penduduk kampung itu, pipa-pipa tersebut sudah lama ada di sana. Mereka hanya bisa mengira-ngira pemilik saluran itu. Soalnya, selain Kewalram, ada banyak pabrik lain di sekitarnya.

Air dari pipa-pipa pembuangan limbah itu, kata Dedeng, meruapkan bau sangit khas limbah pabrik tekstil hanya saat tengah malam atau hujan. Pengelola PT Kewalram tak kunjung menjawab surat permohonan wawancara Tempo hingga akhir pekan lalu untuk mengkonfirmasi pipa buangan di belakang pabrik mereka.

Sekitar satu kilometer dari Kewalram, berdiri pabrik tekstil PT Kahatex cabang Rancaekek. Pabrik ini menghasilkan 21 ribu meter kubik limbah cair setiap hari. Ini salah satu volume limbah cair terbesar di Jawa Barat. Mereka diduga rutin membuang limbah ke Sungai Cikijing, yang melintasi pabrik perusahaan ini.

Moncong saluran pembuangan Kahatex sulit dicapai karena terhalang lumpur. Limbah cair yang keluar dari pipa terlihat hitam mengalir bersamaan dengan air kecokelatan. Saat diukur, suhunya 32 derajat Celsius. Bahkan lumpur tebal selutut itu terasa masih hangat.

Menurut Kepala Bidang Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat Eva Fandora, air hangat di atas 30 derajat Celsius menunjukkan air sungai tercemar limbah yang belum diolah di IPAL. Ini merupakan modus umum pabrik membuang limbah. Dari 1.700 pabrik, menurut data Dinas Lingkungan Hidup, tak semuanya punya IPAL. "Pabrik yang punya IPAL sekalipun belum tentu mengolah limbahnya," ucap Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

PT Kahatex seharusnya terlarang membuang limbah ke Sungai Cikijing karena Pengadilan Tata Usaha Negeri Bandung membatalkan izin pengelolaan limbah cair pada 24 Mei 2016. Hakim mencabut IPAL Kahatex karena tak disertai kajian lingkungan saat izin itu terbit. Putusan ini diperkuat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta setahun berikutnya.

Menurut penduduk sekitar Sungai Cikijing, PT Kahatex diduga masih rutin membuang limbahnya ke kali. "Seharusnya Kahatex berhenti membuang limbah ke Cikijing seusai putusan itu," kata Dadan Ramdhan, anggota Koalisi Melawan Limbah, yang menggugat Kahatex ke PTUN.

Masalahnya, Kahatex meminta hakim kasasi Mahkamah Agung menguji putusan itu. Senyampang proses peradilan berlanjut, mereka meminta izin IPAL baru ke Pemerintah Kabupaten Sumedang. Pada November tahun lalu, izin itu terbit kembali. "Kalau sesuai dengan syarat, tidak jadi masalah," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumedang Amim.

Kahatex juga tengah disorot karena membangun halaman pabrik di atas sungai. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang sungai melarang setiap orang mendirikan bangunan di atasnya. Soalnya, bangunan Kahatex itu diduga menyebabkan banjir di Kecamatan Rancaekek pada 2016 karena badan Sungai Cikijing tak mampu menampung luapan air ketika hujan.

Kepala Bagian Umum PT Kahatex Luddy Sutedja membantah kabar bahwa pabriknya mendirikan bangunan ilegal. "Itu fitnah," ujarnya. Padahal halaman pabrik beraspal yang dilintasi puluhan truk itu 80 persen permukaannya berada di atas Sungai Cikijing. Pemerintah Jawa Barat tak berkutik dengan kilah Kahatex karena pengawasan berada di Pemerintah Kabupaten Sumedang.

Untuk membuktikan "fitnah" itu, Kahatex mengadukan tuduhan tersebut ke banyak orang. Salah satunya Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada September tahun lalu, menurut Ahmad Heryawan, Kalla memediasi pemerintah Jawa Barat dan Kahatex di Istana Wakil Presiden. "Hasilnya, Bapak Wakil Presiden memerintahkan Kahatex membongkar bangunan itu," kata Aher-sapaan Ahmad Heryawan.

Jusuf Kalla mengakui memerintahkan Kahatex membongkar bangunan. "Saya tak mau tahu caranya, harus dibongkar," ujarnya. "Saya dapat laporan Gubernur, mereka sudah disiplin membongkarnya."

Masalahnya, ketika pada April lalu tim Tempo mengunjungi pabrik Kahatex di Rancaekek, halaman beraspal itu belum sedikit pun bocel dibongkar. Truk-truk masih wira-wiri. Ketika dimintai konfirmasi soal itu, Aher terperanjat. "Waduh, saya belum ke sana lagi," katanya.

Agaknya pemerintah Jawa Barat sudah jengkel terhadap Kahatex. Anang Sudarna membentuk tim untuk mengintai cara perusahaan ini membuang limbah. Pada pertengahan April, tim ini menangkap basah Kahatex tengah membuang cairan limbah ke Cikijing dengan parameter-parameter di atas baku mutu. "Kali ini Kahatex tak akan bisa lolos," ujar Anang.

Luddy Sutedja kembali membantah temuan tim Dinas Lingkungan Hidup ini. Menurut dia, IPAL Kahatex sudah mengolah limbah sebelum dibuang. "Tuduhan tidak sesuai dengan baku mutu itu adalah fitnah lagi kepada kami," katanya.

Anang meniru Komando Daerah Militer Siliwangi dalam operasi menangkap pengelola pabrik pembuang limbah ke Citarum. Panglima Kodam Siliwangi Mayor Jenderal Doni Monardo membuat program Citarum Harum pada November tahun lalu untuk menyasar saluran-saluran limbah pabrik di kawasan Bandung Raya: Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Purwakarta, dan Cimahi. Data dari Satuan Tugas Citarum Harum mencatat 31 pabrik diduga membuang air limbah tanpa melewati IPAL.

Dalam razia pada Februari, tim Lingkungan Hidup menemukan 32 pabrik membuang limbah di atas baku mutu. Sebagian perusahaan menerima teguran administratif, sebagian lagi akan diseret ke pengadilan. "Kalau dulu saya malu operasi karena hanya menghabiskan uang rakyat tanpa ada proses hukum," ujar Anang.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Samudi menolak anggapan polisi tak serius menangani pencemaran. Penyidik polisi, kata dia, tidak bisa langsung menanganinya. "Tak semua laporan menyebutkan pelanggaran."

Razia Citarum Harum ataupun anak buah Anang Sudarna agaknya tak membuat jera pabrik-pabrik itu. Setelah razia, pabrik tetap membuang limbahnya sembarangan. Misalnya di Jalan Mohammad Toha di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Air hitam luber dari got.

Airnya hangat, aromanya kimia. Saat alat pengukur pH digital dicelupkan ke air itu, tertera 9,5 dan suhunya 39,4 derajat Celsius. Got di seberang jalan tak jauh beda. Air hitam mengalir deras. Petugas keamanan pabrik di sekitar got serempak menggeleng saat ditanya asal limbah itu. Kedua got yang mengapit jalan itu bertemu di Sungai Cipalasari, lalu mengalir ke Citarum.

Tempo menemukan sumber air hitam itu dari pipa bocor di Jalan Mohammad Toha Kilometer 5,6 yang tertutup daun nipah dan karung tanah. Pipa itu milik PT Mitra Citarum Air Biru, perusahaan pengolahan limbah pabrik-pabrik di Dayeuhkolot. "Kami sedang berusaha memperbaikinya," ujar Nur Setiawan, pengelola PT Mitra.

PT Mitra mematok harga Rp 3.100 per meter kubik dalam mengolah limbah dari perusahaan lain. Perusahaan ini menerima dan mengolah 14 ribu meter kubik limbah cair per hari dari 24 perusahaan. Setiap tahun biaya mengolah itu sekitar Rp 15,8 miliar. "Harga mahal ini jadi alasan pabrik membuang limbah langsung ke sungai," kata Anang Sudarna.

Sementara pipa PT Mitra bocor, instalasi pabrik tekstil Nirwana Group malah tak bisa menampung limbah yang mereka produksi, sehingga cairannya langsung mengalir ke Sungai Cikacembang. Cairan limbah pemasok pakaian merek-merek terkenal itu masih panas, 32,8 derajat Celsius. "Akan segera kami perbaiki mesinnya," ujar Presiden Direktur Nirwana Alex Ferdian Santoso.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus