Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAYU Satya tak habis pikir saat membaca berita di media online yang memperlihatkan petugas Pertamina menggunakan dispersan di wilayah pesisir dekat dermaga dan permukiman untuk membersihkan tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. Pakar penanggulangan tumpahan minyak dari Oil Spill Combat Team (OSCT) Indonesia itu juga menonton seorang pejabat Pertamina diwawancarai stasiun televisi dengan latar belakang tim pembersih yang menyemprotkan cairan kimia beracun tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Bayu, International Maritime Organization (IMO) memiliki pedoman mengenai penggunaan dispersan. "Salah satunya digunakan di perairan yang kedalamannya di atas sepuluh meter," ujar Bayu, Kamis dua pekan lalu. "Andai kata pejabat Pertamina itu telah mengikuti pelatihan IMO level 3, tentunya tidak akan memberikan siaran pers berlatar pekerja yang menyemprotkan dispersan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alicia Irzanova, Manajer Komunikasi dan Relasi Pertamina Area Kalimantan, membenarkan bahwa sebagian pembersihan tumpahan minyak akibat bocornya pipa bawah laut milik Pertamina di Teluk Balikpapan itu menggunakan metode kimia. Namun, "Tidak semua bisa disemprot bahan kimia pembersih," ujarnya tiga pekan lalu. Menurut Alicia, untuk minyak yang menempel di batang dan daun bakau, tim pembersih menyekanya dengan kertas khusus penyerap minyak (sorbent).
Bayu mengatakan penggunaan bahan kimia dispersan dalam menanggulangi tumpahan minyak sangat tidak direkomendasikan karena mengandung bahan beracun dan berbahaya. Menurut dia, di negara-negara yang sangat bergantung pada perikanan laut, seperti Jepang, Norwegia, dan Yunani, dispersan dilarang sama sekali. "Indonesia sebagai negara pengekspor ikan terbesar di dunia seharusnya memperketat atau melarang pemakaian dispersan," kata Bayu, yang pada 2014 menerima International Carthage Award dari Accademia Premio Internazionale Alla Cultura Cartagine, Italia.
Dede Falahudin, peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, membenarkan bahwa penggunaan dispersan dalam pembersihan tumpahan minyak masih kontroversial. Menurut dia, untuk mengetahui apakah dispersan berbahaya, harus diketahui dulu kandungan aktif penyusunnya. "Dispersan dapat saja dikategorikan sebagai zat asing yang berbahaya dan beracun bagi lingkungan jika penggunaannya dalam jumlah banyak dan tak sesuai dengan tata cara sehingga efek sampingnya lebih besar," ujarnya.
Di dalam negeri, Dede menambahkan, belum ada penelitian mengenai efek dispersan terhadap lingkungan dan manusia. Adapun di luar negeri, beberapa penelitian sudah melakukan analisis untuk melihat efek dispersan terhadap spesies kunci atau rentan. Dede merujuk pada penelitian yang dilakukan Larissa Graham dan timnya dari Program Sea Grant Texas, Louisiana, Florida, dan Mississippi-Alabama, Amerika Serikat, yang meneliti dampak penggunaan hampir dua juta galon dispersan untuk menanggulangi tumpahan minyak dari anjungan lepas pantai Deepwater Horizon milik British Petroleum di Teluk Meksiko pada 2010. "Mereka menyimpulkan bahwa senyawa yang ada di dispersan dalam dosis tertentu dapat membahayakan hewan yang diujicobakan," kata Dede.
Dalam pembersihan tumpahan minyak Deepwater Horizon, digunakan dispersan Corexit 9500A dan Corexit 9527A. Menurut temuan Graham dan timnya, potensi masalah kesehatan bagi manusia, jika terpapar lama dan berulang Corexit 9500A, adalah iritasi mata dan kulit, kulit kering yang memicu dermatitis, serta iritasi saluran pernapasan. Sedangkan jika terminum, Corexit 9527A akan membuat gangguan pada hati dan ginjal atau kerusakan saluran pencernaan. Bila terpapar zat itu dalam waktu lama dan berulang, akan terjadi iritasi saluran pernapasan dan kulit.
Bayu Satya menyebutkan pembersihan tumpahan minyak juga dapat dilakukan menggunakan metode mekanis dengan peralatan penanggulangan tumpahan minyak. Metode mekanis memang jauh lebih mahal daripada metode kimia. Namun dampak metode kimia bagi lingkungan seharusnya diperhitungkan juga.
Dalam kejadian di Teluk Balikpapan, kedua metode pembersihan tumpahan minyak tersebut digunakan Pertamina. Perusahaan Bayu, OSCT Indonesia, diminta Pertamina membantu pada hari ketiga setelah muncul tumpahan minyak. "Pertamina mendapat tekanan karena yang bekerja membersihkan tumpahan minyak itu kebanyakan tidak punya sertifikat IMO," ujar Bayu.
OSCT Indonesia, menurut Bayu, memiliki pangkalan di Balikpapan sehingga peralatan penanggulangan tumpahan minyak dapat cepat diturunkan ke lokasi. "Mereka butuh skimmer, oil boom yang seribu meter, kami sediakan," ucap Bayu. Menurut dia, sebenarnya sejak hari pertama personel OSCT Indonesia sudah berada di lokasi kejadian karena sudah dikontak oleh perusahaan perminyakan Italia, ENI, yang menjadi kliennya. "ENI tidak melihat langsung tumpahan minyak karena lokasinya berjauhan. Tapi mereka melakukan penanggulangan tumpahan minyak sesuai dengan Oil Spill Contingency Plan (OSCP) yang mereka miliki," ujar Bayu.
OSCP yang berbentuk buku manual tebal itu, Bayu menyebutkan, wajib dimiliki semua unit kegiatan pengusahaan minyak dan kegiatan pelabuhan sesuai dengan Pasal 22 ayat 1, 2, 3, dan 6 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 58 Tahun 2013. Di dalam OSCP di antaranya memuat perkiraan pergerakan tumpahan minyak, metode dan teknik penanggulangan, perhitungan kebutuhan personel, serta jumlah peralatan penanggulangan. "Dalam OSCP, jelas disebutkan zona-zona yang tidak boleh disemprot dispersan, seperti pantai, rawa-rawa, hutan bakau, dan perairan yang kedalamannya kurang dari 10 meter," Bayu menjelaskan.
Bayu menduga Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan tidak memiliki Perencanaan Penanggulangan Tumpahan Minyak alias OSCP. Menurut Bayu, Pertamina berkelit dengan mengatakan memiliki Prosedur Tetap Penanggulangan Pencemaran di Perairan. "Prosedur tetap yang diklaim Pertamina itu berbeda dengan OSCP karena tak ada trajectory modeling dan tidak disahkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut," ujarnya.
Alicia Irzanova, yang dihubungi pada Jumat pekan lalu, mengatakan belum dapat memberikan konfirmasi soal OSCP. Melalui pesan WhatsApp, dia menanyakan bagian atau pasal mana dalam Peraturan Menteri Perhubungan tentang Penanggulangan di Perairan dan Pelabuhan itu yang berkaitan dengan OSCP. Lalu dia menyarankan Tempo meminta konfirmasi tentang hal itu ke pengacara Pertamina, Otto Hasibuan. Tempo telah mengontak Otto, tapi belum dapat terhubung. Pesan pendek yang dikirim ke nomor ponselnya pada Jumat malam pekan lalu juga belum dijawab.
Dody hidayat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo