Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH satu bulan ini Putranefo Prayugo jarang ke kantor. Presiden Direktur PT Masaro Radiokom ini paling banyak hanya dua kali sepekan menyambangi kantornya di Jalan Talang Betutu 11-A, Jakarta Pusat. ”Kondisinya sedang resah,” kata Aria Fransiskus, anggota staf direksi Masaro, kepada Tempo yang mengunjungi kantor itu, Kamis pekan lalu.
Bukan hanya Putranefo yang jarang nongol. Hampir semua anggota direksi dan petinggi perusahaan itu kini melakukan hal sama, jarang ngantor. Kendati demikian, ini bukan berarti aktivitas di kantor berlantai enam itu ”mati”. Karyawan di perusahaan sistem komunikasi radio itu tetap bekerja seperti biasa. Bagian pemasaran di lantai satu, pekan lalu, misalnya, tetap sibuk melayani rekanan yang datang silih berganti.
Keresahan memang tidak merembes ke bawah, hanya terjadi di level pimpinan. Kondisi ini terjadi tak lama setelah Direktur Bisnis Masaro, Anggoro Widjojo, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 23 Juni lalu. Anggoro diduga menyuap mantan Ketua Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat Yusuf Erwin Faishal dalam proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan.
Bak api disiram minyak, gaung kasus Masaro ini langsung membesar setelah merebak kabar polisi menemukan rekaman percakapan Anggoro dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini nonaktif, Antasari Azhar. Isinya membuat geger: Anggoro dikabarkan memberikan sejumlah uang ke pemimpin Komisi supaya kasusnya dipetieskan.
Jika para petinggi Masaro resah, itu wajar saja. Apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi telah mencekal tiga petinggi perusahaan itu: Putranefo, Presiden Komisaris Anggono Widjojo, dan Direktur Keuangan David Angkawijaya. Surat cekal ketiganya keluar pada tanggal yang sama, 22 Agustus 2008, tapi cekal Anggoro tidak diumumkan karena ia keburu lari ke luar negeri sebulan sebelumnya. ”Statusnya kini buron,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto.
NAMA Masaro pertama kali muncul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah lantai tiga gedung PT Masaro Radiokom, akhir Juli 2008. Di tempat itu, Komisi menduga Yusuf Faishal berkantor. Penggeledahan itu terkait dengan kasus suap alih fungsi lahan Pelabuhan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang melibatkan tersangka Yusuf dan anggota Komisi Kehutanan Dewan, Sarjan Taher.
Tak disangka, dalam penggeledahan itu ditemukan kasus baru yang juga melibatkan Yusuf. Temuan itu adalah dugaan suap pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Setelah itu, Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa sejumlah anggota Komisi Kehutanan Dewan. Pejabat Departemen Kehutanan, termasuk Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban, juga diperiksa. Bahkan, Agustus 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah Departemen Kehutanan. Kaban sempat kesal atas penggeledahan itu. ”Surat penggeledahannya tentang alih fungsi hutan, kok, dokumen lain yang dicari,” kata Kaban sesaat setelah penggeledahan dilakukan.
Medio Oktober 2008, anggota Komisi Kehutanan, Tamsil Linrung, mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyerahkan dokumen dan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang menyebutkan adanya dugaan korupsi dalam proyek senilai Rp 180 miliar itu pada 2007. Kerugian negara diduga mencapai Rp 13 miliar. ”Saat itu saya minta proyek ini dievaluasi, karena tidak efektif dan korup,” katanya kepada Tempo.
Kolega Tamsil, Suswono, bahkan pernah meminta proyek dihentikan. Menurut Wakil Ketua Komisi Kehutanan ini, proyek tersebut boros dan tak bermanfaat. Pada 2008, anggarannya mencapai Rp 629,05 miliar. Sebagian besar untuk biaya perawatan. ”Zaman sudah canggih, masih pakai radio komunikasi,” katanya.
Proyek sistem komunikasi radio ini sendiri sudah ada sejak 1991. Saat itu kucuran dananya dari Inggris. Pelaksananya Philips Radio Communication. Pada 1996, pembangunan kembali dilakukan setelah ada hibah dari Amerika. Kali ini proyek itu dikerjakan Motorola Inc., Amerika. Motorola menunjuk agen tunggal di Indonesia untuk melaksanakan proyek itu: PT Masaro Radiokom.
Pada 2003-2004, proyek sempat dihentikan Menteri Kehutanan Mohammad Prakoso karena dinilai tidak efektif. Menurut anggota Komisi Kehutanan Dewan, Nurhadi Musawir, proyek itu kembali dihidupkan pada Agustus 2006, ketika Kaban menjadi menteri. Dalam penjelasannya kepada Dewan, Kaban menyatakan keputusan melanjutkan proyek itu dibuat setelah pihaknya mengevaluasi sistem tersebut di 16 provinsi. ”Sistem itu masih diperlukan,” ujar Kaban. Apalagi, kata dia, biaya investasinya sudah mencapai Rp 2 triliun.
Proyek itu sendiri baru bisa dijalankan pada 2007. Karena tak ada hibah, Departemen Kehutanan memakai anggaran strategis penunjang Gerakan Rehabilitasi Lahan 2007 sebesar Rp 180 miliar. Belakangan, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan ada pengadaan fiktif alat komunikasi radio senilai Rp 13 miliar. Temuan inilah yang kemudian dilaporkan Tamsil ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Komisi pun melansir temuan korupsi ini dalam persidangan kasus Tanjung Api-api dengan terdakwa Yusuf Faishal pada awal Desember 2008. Saat itu, jaksa Komisi mendakwa Yusuf menerima suap Rp 125 juta dan 220 dolar Singapura untuk proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu dari Direktur Masaro Anggoro Widjojo.
Sebagai Ketua Komisi Kehutanan, Yusuf diminta Anggoro menyetujui rancangan anggaran proyek itu. Lembaran pengesahan juga ditandatangani Kaban. Setelah proyek ”gol”, Yusuf menerima imbalan. Duit suap itu diberikan Direktur Keuangan Masaro David Angkawijaya melalui Tribudi Utami dari Sekretariat Komisi Kehutanan.
Uang tersebut lantas dibagikan ke sejumlah anggota Komisi Kehutanan, seperti Suswono sebesar Rp 50 juta, Muchtaruddin Rp 50 juta, Muswir Rp 50 juta, Andi Laluasa 30 ribu dolar Singapura, Azwar Chesputra S$ 5.000, Hilam Indra S$ 140 ribu, Muchtaruddin S$ 40 ribu, dan Sujud Sirajuddin Rp 20 juta.
Dalam persidangan Yusuf, para anggota Dewan ini mengakui menerima dana dari proyek itu. Sebagian menyebutkan telah mengembalikannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Hingga kini, tersangka kasus ini baru Anggoro. Yusuf Faishal sudah dihukum dalam kasus ini, yakni empat tahun enam bulan penjara. Hukuman tersebut disatukan dengan vonis kasus Tanjung Api-api.
Pengacara Yusuf, Sheila Salomo, menyatakan tuduhan bahwa kliennya menerima suap dalam kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu ini tidak masuk akal. Sebab, kata dia, tak ada saksi yang menguatkan adanya suap itu. Sheila menunjuk Anggoro yang belum pernah dipanggil. ”Pak Yusuf juga belum jadi tersangka, tapi kenapa dia dituntut untuk kasus itu?” ujar Sheila.
Anggoro sendiri baru dipanggil enam bulan setelah vonis Yusuf dijatuhkan. Tapi, hingga panggilan ketiga, ia tak muncul. Belakangan, baru Komisi Pemberantasan Korupsi mengetahui orang yang dicari-cari itu ada di Singapura. ”Sejak Juni 2008, dia meninggalkan Indonesia menuju Cina, lalu ke Singapura,” kata juru bicara Komisi, Johan Budi S.P. Hingga kini Komisi, kata Johan, terus berupaya mencokok Anggoro.
Anton Aprianto, Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo