DI Kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta, awal Agustus yang
lalu berkumpul para ahli llmu Tanah Indonesia. Mereka banyak
berbincang soal tanah dan air untuk pertanian selama kongres ke
II selama 4 hari itu.
Prof. ir. Sudarsono Hadisaputro, Ketua Tearn Ahli Badan
Pengendalian Bimas (Departemen Pertanian) mengungkapkan bahwa
usaha meningkatkan produksi dari tanah pertanian selalu
dilakukan pemerintah. Untuk ini, kata Sudarsono, pemerintah
sedang menempuh 2 cara: pengembangan tanah pertanian dan
intensifikasi. Untuk pengembangan tanah pertanian, sekarang
pemerintah sedang melakukan percobaan-percobaan di daerah
Sumatera Selatan.
Tapi jika di satu pihak usaha menggali bahan-bahan pangan dari
dalam tanah makin menggebu, di pihak lain usaha di kota-kota
besar untuk mengebiri tanah pertanian dengan gedung-gedung mewah
tak kurang sibuk pula. Soal terakhir ini di Yogya rupanya masih-
sering diperbincangkan. Drh Busono MS, atas nama Rektor UGM
ketika memberi sambutan pada pembukaan kongres Himpunan Ilmu
Tanah Indonesia (HITI) itu misalnya menyinggung soal daerah
persawahan Timoho.
Dulu wilayah pinggir timur kota Yogya ini terkenal sebagai
daerah persawahan yang cukup subur. Tapi sejak beberapa tahun
belakangan ini jengkal demi jengkal sawah itu sudah tertutup
oleh bangunan gedung-gedung dalam rangka pemekaran kota Yogya.
Dimulai dengan pembangunan Balaikota Yogya yang menelan hampir
30.000 meter persegi tanah, kemudian disusul oleh
bangunan-bangunan rumah instansi maupun pribadi. Akibatnya Timoho
yang tadinya menghasilkan beras bagi warga kota Yogya semakin
tenggelam. "Berapa hasil pertanian yang hilang di sana setiap
tahun," ujar Busono .
Sleman Dan Bantul
Busono bertolak dari hasil penelitian. Di pedesaan, katanya,
setiap orang pertahun membutuhkan 240 kg beras dari 1/5 hektar
sawah. Jadi kalau sebuah keluarga terdiri dari 5 jiwa dapat
hidup dengan 1 hektar sawah. Ia tertarik dengan apa yang pernah
dilihatnya di tanah pertanlan dehat Sanur, Bali. Di sana di
beberapa tempat diberi tulisan: "Tidak boleh mendirikan
bangunan." Busono khawatir bahwa pada suatu saat tanah-tanah
pertanian (terutama di Jawa) akan makin banyak tergusur oleh
perluasan kota dengan akibat merugikan warga kota itu sendiri.
Ir. KRT Wisnukoro Hanotoprojo, Kepala Dinas Tata Kota Kotamadya
Yogyakarta rupanya memahami ke~khawatiran Busono. Tapi, katanya,
penggusuran sawah Timoho adalah karena kota Yogya sudah lama
tak mampu lagi menampung penduduk yang begitu padat. Rencana
memekarkan kota ini dari 32,5 kmÿFD (sekarang) menjadi 69,98 kmÿFD
seperti tercantum dalam rencana perluasan masih harus bertegang
leher dengan Kabupaten Sleu1ln dan Bantul yang wilayahnya
terkena rencana itu.
Timoho, kata Wisnukoro, adalah wilayah Kotamadya Yogya. Daerah
ini menurut rencana akan menjadi daerah perumahan mewah (loji),
sedang (lojen) dan perumahan rakyat. Karena daerah ini terdiri
dari tanah pertanian milik penduduk, maka menurut Wisnukoro ia
telah mengusulkan supaya pemerintan menyediakan anggaran untuk
membeli tanah tersebut. Dan nyatanya bangunan rumah maupun
kantor sudah banyak tercagak di sana.
Yang tak disinggung Wisnukoro adalah perkara lapangan kerja baru
bagi penduduk yang sawahllya telah dan akan tergusur. Tapi,
seperti kata Busono, hal itu sudah terlanjur dilakukan tanpa
persiapan lapangan kerja baru bagi mereka. Karena itu Busono
sekali lagi memperingatkan, pembangunan hendaknya diarahkan ke
tempat yang gersang. Atau kalau perlu kotanya yang dipindahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini