TAM-TAM (Teater Arena, TIM, 9-10-11 Agustus 1977), mel iskan
kehidupan dua atman (jiwa) di dunia sana, yang kemudian menjelma
ke dunia sini sebagai pria dan wanita, bernama Ginal dan Ginul.
Menurut yang empunya cerita, Ginal lahir di Asia sebagai seorang
miskin, sedang Ginul di Mesir dengan sebutan Dyah Adnya Swari,
seorang puteri raja.
Dalam usaha menemukan kembali pasangannya, sang puteri
mengadakan sayembara "adu otak." Dan tentu saja, setelah banyak
yang gagal, Ginal berhasil mengalahkan sang puteri untuk
kemudian hidup bahagia berdua.
Kali uni Wayan Diya rupanya memang tak berniat menampilkan
pertarungan fisik hitam dan putih, atau kebenaran dan kebatilan
- tema utama yang hampir selalu ditemui dalam setiap tontonan
Bali. Dengan pilihan tema di atas ia sengaja hendak mengembara
dan mencari kemungkinan di kawasan lain.
Di tengah Teater Arena TIM terletak sebuah level belah ketupat
yang lebih kecil. Dari keempat sudut, empat helai tali ditarik
dan diikat ke pucuk tengah arena membentuk sebuah limas.
Terlihat di sini kepekaan Wayan Diya terhadap ruang. Sekelompok
penari puteri berderet di sisi kanan-belakang belah ketupat
sedang kelompok penari putera di sisi kiri-belakang.
Topeng Muka Dua
Pertunjukan diawali dengan pembacaan rontal Kakawin Sang Hyang
Candra Turang Gana, yang kemudian dikembangkan dengan gaya
Cepung Lombok. Seterusnya kelompok penari puteri mencoba mengisi
ruang dengan gerak dan ekspresi Janger, sedang penari putera
dengan Kecak. Pukulan gendang yang keras susul-menyusul, dan
bangkitlah Wayan Diya dengan memakai dua topeng Bali sekaligus.
Galuh (puteri) dikenakan di mukanya yang membelakangi penonton,
dan Dalem (putera) di kepala bagian belakang menghadap penonton.
Ekspresi ini mengingatkan saya pada tarian Arda Nariswara yang
pernah saya lihat di India tahun 1966.
Penerangan lilin berubah terang dengan munculnya penari topeng
bermuka dua ini. Dua penari lain, putera dan puteri, berlarian
berkeliling sambil memegangi kain merah dan putih yang cukup
lebar, yang kemudian digunakan untuk menutupi "Arda Nariswara."
Ketua topeng pun berpindah ke muka kedua penari tersebut, dan
muncullah Ginal dan Ginul menari bermesraan turun ke maya-pada.
Adegan berikutnya menggambarkan Keraton Mesir (entah Mesir
sebelah mana), dilukiskan dengan gadis-gadis yang menari
bersama-sama. Empat penariutera (semacam kadian-kadian
pengambuhan) menyusul mengganti dari arah belakang. Perdebatan
pun dimulai antara sang puteri dengan keempat raja tersebut.
Sekalipun demikian tak seorang berhasil mengalahkan Sang Puteri.
Dalam adegan terakhir, seorang dalang ditampilkan untuk
memainkan "wayang-wayang golek" yang diperankan penari-penari
puteri bertopeng. Di sini terasa suasana Bondres Bali atau
Bodoran Cirebonan. Dan pada akhirnya, tentu saja, kedua insan
titisan atman yang diceritakan: Ginal dan Ginul dipertemukan
kembali.
Tema cerita itulah yang digarap Wayan Diya dengan nafas Bali
yang menjadi darah dagingnya. Kurangnya konflik dramatik dalam
cerita, mendorong penata tari menumpukan harapannya kepada
variasi-variasi yang digarapnya dari unsur-unsur tontonan daerah
Iain: Cepung Lombok, Wayang Golek Sunda, Topeng Cirebon dan
bahkan Arda Nariswara dari India. Ada beberapa adegan yang cukup
berhasil digeluti, misalnya pembacaan rontal dengan pengisian
gerak Kecak dan Janger. Yang paling mengesan adalah Nariswara
yang bermuka dua.
Variasi Kwalitas
Namun dalam adegan-adegan berikutnya unsur-unsur luar ini
rasanya kurang tuntas. Laju pertunjukan kemudian agak sulit
dikembangkan. Penari-penari puteri bertopeng, yang menari
bersama dengan pakaian yang sama - yang mengundang ingatan kita
pada kontingen Jawa Barat clalam Festival Ramayana Nasional 1971
nampak kurang rapi.
Mungkin terlalu berlebihan untuk mengharapkan keserempakan gerak
tari radisi kita seperti corps de ballet dalam sebuah Swan
Lake. Sekalipun demikian, jika di pentas penonton melihat
beberapa penari berbusana sama, maka tak ayal mereka akan
mengharapkan tarian yang "kurang lebih" serempak. Setidaknya
pada saat-saat tertentu.
Jika tidak, yang berbeda haruslah dapat memperlihatkan kelebihan
dari sisanya: menjadi penari-penari utama yang memang
ditonjolkan. Masalahnya inilah yang agaknya menjadi pokok
petintang di dalam Tam-Tam. Penari-penari teras yang tertulis
dalam buku acara, yang diharapkan datang dari Bali, tak nampak.
Akibatnya Wayan Diya sendirian yang mencuat malaln itu. Sedang
yang selebihnya nampak kurang mampu menterjemahkan ide-ide
penata tari.
Niat Wayan Diya yang terpuji adalah mencoba memberikan kebebasan
berungkap bagi individu dalam tontonannya. Kesempatan semacam
ini niscaya akan sangat membantu bila diberikan kepada
penari-penari sekaliber Sentot. Bagi yang belum matang, hal ini
justru akan membuatnya berpikir dua kali agar dapat
menggunakannya.
Ini nampak pada adegan terakhir yang diharapkan akan dapat
menampilkan klimaks: dibetikannya kebebasan berungkap kepada
sang dalang yang menainkan wayang-wayang manusia. Kendali Wayan
Diya kurang ketat pada bagian ini. Sebagai dalang, Budi
kehabisan bahan buat melucu.
"Saya sendiri tidak puas," kata Wayan Diya terhadap
pergelarannya. Ia memang salah satu penata tari yang produktif
di Jakarta. Tentu saja keseringan pentas selalu mengandung
risiko adanya variasi kwalitas. Dan dalam hal ini, barangkali
seorang pelukis agak lebih beruntung dari seniman tari. Tak puas
dengan karyanya, si pelukis dapat dengan mudah mencabik-cabik
kanvasnya. Tapi dalam tari, mana mungkin merobek kanvas?
Sal Murgianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini