ADA 2 soal di Riau yang sering disebut-sebut sebagai keadaan
yang masih cukup pahit untuk dipercakapkan dalam jangka waktu
10 tahun terakhir ini. Pertama, masih sekitar 152 dari 1,8 juta
penduduk propinsi kaya minyak ini masih buta huruf. Kedua,
masalah pemasyarakatan suku-suku terasing yang jumlahnya 23.000
jiwa (5.000 KK) - sekitar 1,5% dari jumlah suku terasing di
seluruh Indonesia.
Jumlah warga yang masih gelap huruf itu tadi dimunculkan sendiri
oleh drs Athahillah, Kepala Kanwil Departemen P & K Riau bulan
Mei lalu. Angka sekecil itu ditopang alasan, seperti biasanya,
tak ada biaya. Sebab setelah dihitung-hitung ongkos seluruhnya
hampir mencapai Rp 1 milyar. Tak disehutnya bahwa jika soal itu
cukup diprioritaskan 1, saja dari APBD atau 5% saja dari
pungutan hasil hutan daerah itu, tentu bukan soal pelik. Sebab
setiap tahun Pemda Riau mengantongi tak kurang dari Rp 600 juta
dari sektor pembotakan daerahnya ini.
Soal memasyarakatkan suku terasing, menurut catatan pihak Dinas
Sosial propinsi ini sampai sekarang sudah ada sekitar 2.000 KK
yang sudah dibina. Artinya sudah hampir 500 dari jumlah
seluruhnya. Di atas kertas angka ini termasuk luar biasa, jika
diingat bahwa untuk seluruh Indonesia baru 2,5%, saja yang
sudah terbina. Namun rupanya catatan tak selamanya seimbang
dengan yang ada di lapangan. Sebab nyatanya, "paling-paling yang
berhasil dibina hanya sekitar 500 KK" ungkap seorang pejabat di
kantor Dinas Sosial Riau kepada TEMP0. Itupum tambah si
pejabat, hanya terbatas pada tingkat kebetahan mereka menetap,
bukan soal kemajuan hidup mereka.
Pipa Minyak
Untuk menemukan buktinya, tak sulit. Lihat saja perkampungan
suku Sakai 80 Km di luar Pekanbaru jurusan Dumai. Mereka
dihimpun dalam pondokpondok yang berdinding dan beratap langit,
di sepanjang jalur pipa-pipa minyak Caltex yang tak pernah
berhenti menyemburkan dolar. Anak-anak mereka bcrpakaian
compang-camping, dekil dan kurus dan ]ari terbirit-birit jika
melihat orang yang asing bagi mcreka. Belum terhitung suku-suku
lainnya, seperti Akit, Talang Mamak hingga suku Duana dan suku
Laut. Yang terakhir ini umumnya berada di Kepulauan Riau dcngan
jumlah sekitar 8.000 jiwa, hidup di atas sampan-sampan dan
selalu berpindah.
Memang sejak 1958 pernah ditetapkan beberapa lokasi untuk
pembinaan suku Laut ini. Sepcrti di Kecamatan Kundur, Lingga dan
Singkep. Sayang sampai hari ini sebagian besar dari mereka sudah
kembali bertualang. Yang terakhir adalah kasus pemukiman lebih
dari 200 jiwa suku Laut di Tanjung Batu, Kecamatan Kundur.
Beberapa waktu lalu lokasi pemukiman mereka terbakar karena
dirembesi api dari sebuah pabrik penggergajian kayu di dekatnya.
Belum sempat kediaman mereka dibangun kembali, ada pihak-pihak
yang hendak menggusur mereka ke tempat lain dengan alasan tempat
semula akan dipakai untuk perluasan pabrik penggergajian. Mereka
protes dan mengancam akan kembali mengembara. Lebih-lebih karena
mereka punya alasan kuat: alatalat nelayan dan rumah yang
dijanjikan pihak pemerintah belum pernah ditepati. Rumah yang
terbakar itu adalah hasil keringat mereka sendiri. Kejadian ini
sempat membuat Departemen Sosial di Jakarta mengirimkan surat
berisi amarah ke perwakilannya di Pekanbaru disertai embel-embel
bahwa soal dana dan sebagainya sudah lama diturunkan. Ke mana
itu? Tak seorang pun tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini