Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tersebab Surat-surat Bin Ladin

Tokoh kunci bom Hotel JW Marriott yang sadar bahwa jalan yang ia tempuh keliru. Justru setelah membaca surat orang yang menjadi inspirasinya.

26 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALINAN surat-surat Usamah bin Ladin yang diterbitkan Akademi Militer Amerika Serikat pada 3 Mei 2012 sampai juga ke penjara Cipinang setahun kemudian. Seseorang membawa fotokopi surat-surat pemimpin Al-Qaidah dalam bahasa Arab itu. "Kami mengkajinya bersama-sama," kata Amir Abdillah, narapidana terorisme di penjara Cipinang, Jakarta, pekan lalu.

Surat Usamah itu ditujukan kepada mereka yang ia sebut mujahid pengikut Al-Qaidah di seluruh dunia. Usamah disergap pasukan elite Amerika di pegunungan Afganistan dan ditembak mati pada 2011. Pasukan itu lalu mengambil semua dokumen dari tempat persembunyian Usamah tersebut.

Dalam salah satu suratnya, kata Amir, Usamah melarang para "mujahid" meledakkan bom di tempat-tempat umum di negara muslim yang sedang dalam keadaan aman karena akan memperburuk nama Islam. "Kalau perjuangan mujahidin justru menyebabkan kaum muslimin menjadi korban, berarti ada yang tidak beres dengan perjuangan kami," ucap Amir menirukan isi surat itu. "Saya jadi berpikir, berarti selama ini saya salah."

Amir adalah kurir Noordin Muhammad Top, orang Malaysia yang menjadi otak di balik serangkaian teror bom di Indonesia. Amir terlibat merencanakan hingga eksekusi bom Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 2009. Ia mengenal Noordin karena dibawa Ibrahim, rekan kerjanya di Hotel Mulia, Senayan.

Ibrahim membawa Amir mengaji kepada Saifudin Zuhri bin Jaelani Irsyad, salah satu kaki tangan Noordin, pada 2005. Saifudin mengajarinya ideologi Islam. Amir menganggap para pelaku bom Bali sangat heroik karena berhasil menewaskan ratusan orang. "Jadi waktu itu saya senang bergabung dengan mereka," ujarnya.

Amir ditangkap sebulan setelah meledakkan JW Marriott. Hakim memvonisnya delapan tahun penjara pada 2010. Dengan remisi, ia hanya menjalaninya lima tahun. Amir bebas pada 2014.

Di dalam penjara Cipinang, ia bertemu dengan para narapidana teroris di tempat lain. Mereka sering berkumpul dan mengobrol. Menurut Amir, para narapidana ini berubah pikiran setelah membaca surat-surat Usamah bin Ladin. Mereka tak setuju pengeboman, melainkan jalan perang seperti di Ambon atau Poso, Sulawesi Tengah. "Musuh yang disasar jelas," katanya.

Amir kian dalam merenungi apa yang sudah diperbuatnya. Lama-kelamaan ia setuju jalan kekerasan bukan cara terbaik menegakkan syariat Islam. Ia masih percaya hukum ideal adalah hukum Islam karena ia percaya itu datang dari Tuhan. Namun ia mengkaji sejarah penegakan syariat dengan kekerasan dan revolusi. Tokohnya banyak yang gagal. "Itu cara-cara yang tak bisa digunakan lagi, perlu cara baru," ucapnya.

Pandangan Amir terhadap aparat hukum juga berubah saat di Cipinang. Ketika bergumul dengan kelompok Noordin M. Top, ia membenci aparat dan menjadikan mereka sasaran bom. Namun, di Cipinang, ia lihat banyak petugas yang bersungguh-sungguh ingin mempelajari Islam secara benar. "Bagaimana kalau mereka yang sudah berniat belajar Islam ini mati karena bom yang saya pasang? Rasanya salah," ujarnya.

Sekeluar dari penjara, Amir jadi lebih terbuka kepada orang lain. Dete Aliah, Managing Director Yayasan Prasasti Perdamaian--organisasi nirlaba yang membantu mantan narapidana terorisme kembali ke masyarakat--mengenal Amir saat menjadi panelis dalam sebuah seminar tentang terorisme pada awal tahun lalu.

Setelah seminar, keduanya terus berkomunikasi melalui WhatsApp dan Facebook. Amir tak canggung menceritakan pengalamannya terlibat dalam jaringan terorisme. "Setiap kali saya membuat status di Facebook, dia selalu merespons," kata Dete, yang bernama lengkap Siti Darojatul Aliyah.

Karena komentar-komentar itu, Amir berbaur juga dengan teman Dete yang lain. Saat pemilihan Gubernur Jakarta pada April lalu, Dete acap membuat status mendukung Basuki Tjahaja Purnama dalam perkara penistaan agama. Teman-temannya mendukungnya. "Amir terlibat diskusi, tapi tidak nyolot," ujarnya.

Saat pemilihan gubernur putaran kedua semakin dekat dan kampanye tak memilih Ahok karena ia bukan muslim semakin kuat, Amir mengirim pesan WhatsApp kepada Dete. Isinya: "Pilih pemimpin muslim". Dete menjawab, "Enggak mau. Saya pilih Ahok." Dete menduga ia akan mendapat ceramah panjang-lebar. Tanggapan Amir tak ia duga. Ia membalasnya dengan kalimat, "Ya, sudah, terserah deh."

Dete dan Amir juga akrab secara offline. Suatu kali Amir menyatakan ingin menjadi pengojek online tapi tak punya uang untuk membuat surat izin mengemudi sepeda motor. Dia meminta bantuan Dete menyediakan uang untuk keperluan itu. Melalui yayasannya, Dete memberi bantuan Rp 600 ribu.

Pada April lalu, Amir kembali menyatakan butuh uang untuk membeli telepon seluler. Ia ingin beralih menjadi pengemudi taksi online karena ada saudaranya yang bersedia meminjamkan mobil untuk narik penumpang. Dete meneruskan keinginan Amir itu kepada teman-temannya.

Ia menjelaskan bahwa Amir Abdillah seorang terpidana terorisme yang butuh uang untuk membeli telepon seluler. Teman-teman Dete yang mengenal Amir sebagai partner diskusi tentang Ahok di Facebook ramai-ramai menyumbang. Terkumpul Rp 500 ribu. Yayasan Perdamaian lalu menambahnya Rp 1 juta sehingga Amir bisa membeli telepon seluler produksi Cina seharga Rp 1,5 juta.

Rupanya, bukan semata ada saudara yang ingin meminjamkan mobil Amir ingin beralih. Menjadi pengojek sepeda motor, kata dia, penumpang perempuan tak sungkan memegangnya ketika naik membonceng. "Saya kan enggak bisa begitu," ucapnya. Untuk menghindarinya, ia beralih menjadi sopir taksi.

Setiap hari Amir mencari penumpang, kecuali Jumat. Itu hari liburnya dalam sepekan. "Jumat saya pakai buat ibadah. Saya enggak mau diganggu," ujarnya.

Tapi Amir juga sedang berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Sebab, saat ini dia sedang menikmati kedekatan dengan putri semata wayang dari pernikahan keduanya. Saat Amir masuk penjara, anaknya ini baru berumur sembilan bulan. "Kalau saya tinggal lama untuk narik, dia sering menangis," katanya. "Ingin bisa dagang biar dekat dengan anak dan istri."


Pandangan Amir terhadap aparat hukum juga berubah saat di Cipinang. Ketika bergumul dengan kelompok Noordin M. Top, ia membenci aparat dan menjadikan mereka sasaran bom. Namun, di Cipinang, ia lihat banyak petugas yang bersungguh-sungguh ingin mempelajari Islam secara benar. "Bagaimana kalau mereka yang sudah berniat belajar Islam ini mati karena bom yang saya pasang? Rasanya salah," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus