Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTAHUN-TAHUN menikah dengan Tengku Kamaliah, Amir Hamzah tak mampu melupakan Ilik Sundari. Foto Ilik tetap tersimpan dalam album pribadinya. Di bawah foto kekasih masa sekolahnya itu, Amir menulis: "yang kucintai". Di halaman sebelahnya, Amir memasang fotonya sendiri yang kemudian ditambahi foto Kamaliah, dengan tulisan: "yang kukasihi".
Kepada Kamaliah, dengan jujur Amir mengungkapkan perasaannya masih terpaut kepada gadis Jawa tersebut. Kamaliah kemudian meneruskan cerita ini kepada Tengku Tahura Alautiah, satu-satunya anak pasangan itu. Tanpa perasaan cemburu, Kamaliah bahkan merencanakan berangkat beribadah haji bersama Amir dan Tahura dengan mengajak Ilik.
Kamaliah bahkan ingin Amir menikahi Ilik. Jika Ilik keberatan hidup berempat, Kamaliah rela melanjutkan hidup berdua dengan Tahura. "Nenek merasa bersalah kepada Tante Ilik karena merebut kekasihnya lantaran dijodohkan," kata Tengku Ameliah Hariana, anak Tahura, Juli lalu.
Pernikahan Amir dan Kamaliah terlaksana atas titah Sultan Mahmud, ayah Kamaliah sekaligus paman Amir. Padahal saat itu hati Amir telanjur tertambat kepada Ilik Sundari, gadis Solo yang telah mengisi hari-harinya semenjak sekolah di Algemene Middelbare School. Perkawinan itu akan membuat mereka terpisah. Di sisi lain, Amir berutang budi kepada Sultan. Semenjak ayah Amir, Tengku Adil, meninggal, Sultanlah yang menanggung biaya kuliahnya di Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia--bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pikiran kusut itu membawa Amir melangkahkan kaki ke Paseban, Batavia, tempat pemondokan abang sepupunya, Tengku Burhan. Kepada Burhan, Tengku Busu-panggilan kecil Amir-menceritakan kegalauan hatinya. Juga tentang tawaran pergi ke Jepang. Purwodarminto, kawannya yang telah lama mengajar di Jepang, sedang mencari penggantinya sebagai guru bahasa Indonesia di sana. Ia meminta Amir datang ke Negeri Sakura untuk menempati posisinya. Kesempatan itu dapat menjadi jalan bagi untuk Amir menghindari titah Sultan.
Kepada Nh. Dini, Burhan-yang seumuran dengan Amir-mengatakan ia menyarankan sepupunya pergi ke Jepang ketimbang menuruti permintaan Sultan. Di Jepang, Amir akan mendapat pengalaman baru dan gaji besar serta kebebasan dari kewajiban, baik sekolah maupun keluarga.
Burhan, yang mengetahui hubungan Amir dan Ilik Sundari, juga menyarankan Amir agar memboyong Ilik setelah mapan di Jepang. Mereka bisa menikah di sana. "Kau balaslah budi di lain waktu! Sekarang yang kau perlu adalah kau pikirkan dirimu sendiri!" kata Burhan seperti dituliskan Dini dalam bukunya, Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang. Tapi Amir memilih tak pergi ke Jepang.
PANGGILAN untuk menikah itu bukan semata-mata atas keinginan Sultan Mahmud. Pemimpin tanah Langkat itu didesak pemerintah Belanda, yang mengamati aktivitas Amir di Batavia. Di bangku kuliah, Amir terlibat dalam pergerakan pemuda. Ia banyak bergaul dengan aktivis, seperti Muhammad Yamin. "Sultan Mahmud diingatkan Belanda. Amir disuruh pulang karena aktif sekali di pergerakan," ujar Sultan Langkat Tengku Azwar Aziz, Juli lalu.
Peringatan untuk tak terlibat dengan pergerakan sebenarnya sudah disampaikan Sultan jauh hari sebelumnya, saat ia baru akan membayar biaya kuliah Amir. Sultan mau mengambil alih tanggung jawab ayah Amir yang telah meninggal dengan syarat Amir berfokus kuliah dan menjauhi pergerakan.
Namun Amir tetap merapat ke pergerakan. Saudara Amir, Tengku Nur Hamzah, yang juga kuliah di Batavia, seperti diceritakan T.M. Lah Husny dalam bukunya, Kisah dan Kasih Pudjangga Amir Hamzah, mengatakan Amir sering datang ke Gedung Indonesia Club di Salemba, tempat tinggal Nur dan Yamin, karena ia menjadi Sekretaris Pusat Indonesia Muda, organisasi pemuda gabungan dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan Pemuda Indonesia.
Di buku yang sama, Tengku Hadji Husin, Kepala Jaksa Kerapatan saat itu, menyatakan Amir bahkan mengirimkan surat kepada Sultan untuk meminta restu. Ia mengatakan rakyat semestinya ikut disertakan dalam pemerintahan. Karena surat ini, Sultan mengirimkan orang ke Batavia untuk menyelidiki apakah Amir memenuhi syarat yang ia ajukan atau tidak. Laporannya membuat Sultan murka. Amir tak berfokus kuliah, malah ikut pergerakan dan asyik bersama Ilik Sundari.
Amir segera dipanggil pulang. Sultan mengumpulkan kakak-kakak Amir karena biaya yang telah ia keluarkan tak membuahkan hasil. Tiga tahun kuliah, Tengku Busu belum juga lulus candidat pertama (C1), jauh tertinggal dibanding kawan seangkatannya. Untuk mengikat Amir, Sultan akan menikahkannya dengan Kamaliah. Sementara itu, kuliahnya tak usah diteruskan. Dengan pelajaran yang didapatnya, Amir dinilai sudah mumpuni untuk mengurus kerajaan.
Maka, pada 21 Maret 1938, akad nikah digelar. Terikatlah Amir dengan Kamaliah. Ia diperbolehkan melanjutkan kuliah selepas itu. Namun, dua tahun di tanah Jawa, kelulusan makin jauh di depan mata. Amir belum juga memperoleh C1. Ia dipanggil lagi oleh Sultan untuk melaksanakan tanggung jawabnya.
Upacara pernikahan Amir-Kamaliah dilangsungkan. Sebagai penguasa, Sultan Mahmud menggelar pesta besar-besaran untuk menikahkan putri pertamanya ini. Berurutan, acara adat dilangsungkan, dari berinai (mewarnai tangan dan kuku dengan daun pacar), mengantar pengantin disertai payung, sampai diarak menggunakan mobil yang dihias seperti bahtera. Sultan juga mengundang juru masak untuk menyajikan makanan bagi rakyat. "Pestanya berlangsung 40 hari nonstop. Ada ronggeng, pasar malam. Semuanya dibiayai Sultan," ucap sepupu Amir Hamzah, Tengku Saridjat, akhir Juli lalu.
Namun kemeriahan pesta itu tak menyentuh hati pasangan pengantin. Lah Husny menceritakan, sebelum dihias, Kamaliah menangis karena tak bisa menolak pernikahan atas kehendak ayahnya itu. Pun demikian Amir. Ia lebih banyak memikirkan Ilik Sundari, kekasih yang ditinggalkannya. Kepada Nh. Dini, Tengku Burhan menceritakan bahwa Amir tak terlihat gembira sedikit pun. Senyum seolah-olah sirna dari wajahnya. "Ia lebih banyak diam," kata Dini.
Dua tahun setelah menikah, lahirlah Tengku Tahura Alautiah. Tahura, yang sempat ditemui Dini, mengenang ayahnya sebagai orang yang berhati lembut tapi keras, terutama untuk urusan pendidikan moral. Tahura diajari mengasihi saudara-saudaranya yang kurang mampu yang tinggal bersama mereka.
Ia pun dididik tak menyia-nyiakan makanan. Semua yang ada di piring harus pas sesuai dengan ukuran perutnya. Saat memandikan Tahura, Amir pun mengajari anak semata wayangnya itu doa sebelum mengguyurkan air ke badan. "Doa bagian kiri badan beda dengan doa bagian kanan," ujar Dini di kantor Tempo, Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo