Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berutang Bukan untuk Bermewah-mewah

Pemerintah kembali menambah utang untuk menambal defisit anggaran. Anggaran infrastruktur digenjot 44 persen.

7 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kalau kita bicara infrastruktur, ini bukan masalah mewah-mewahan. Bukan masalah keinginan kita untuk kelihatan seperti apa. Tapi ini sudah jadi kebutuhan, dan keharusan." Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan hal itu pada saat berkunjung ke kantor Tempo, Selasa pekan lalu. Menurut dia, infrastruktur Indonesia sudah sangat tertinggal dibanding negara lain. Sebagai gambaran, indeks infrastruktur Indonesia pada 2016 berdasarkan rilis Bank Dunia berada di posisi keenam, di bawah Vietnam.

Sejak krisis ekonomi pada 1998, kata Sri Mulyani, alokasi anggaran negara untuk infrastruktur memang terbatas, hanya sekitar tiga persen dari produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dengan Vietnam, yang mencapai 5,7 persen--nomor dua, setelah Cina. Untuk itulah pemerintah Joko Widodo terus menggenjot pembangunan infrastruktur. Pada 2017, kenaikan anggaran infrastruktur dibanding tahun sebelumnya sangat signifikan, yakni hampir 44 persen, menjadi Rp 387,3 triliun.

Dengan alokasi untuk infrastruktur yang cukup besar, sekitar 18 persen dari total belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017, yang mencapai Rp 2.080 triliun, utang menjadi salah satu sumber pembiayaannya. Sudah dua pekan ini isu utang bergulir ke mana-mana, terutama di media sosial. Tambahan utang di era pemerintahan Jokowi dikatakan sudah melampaui utang selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Yang membuat Sri Mulyani terlihat jengkel adalah sebaran tentang "Sri Mulyani tak tahu utang pemerintah perginya ke mana".

Isu utang mulai menjadi sorotan ketika pemerintah mengajukan Nota Perubahan atas APBN 2017 pada 6 Juli lalu. Dalam nota perubahan yang akhirnya disepakati bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir Juli itu, pemerintah menambah anggaran belanja dari Rp 2.080 triliun menjadi Rp 2.133 triliun. Defisit pun membengkak dari 2,41 persen menjadi 2,92 persen terhadap PDB. Untuk membiayai defisit itu, utang menjadi andalan. Pembiayaan utang pun naik sekitar 20 persen, yakni dari Rp 384,7 triliun menjadi Rp 461,3 triliun.

Sri Mulyani menyatakan nota anggaran perubahan ini diajukan untuk mengakomodasi sejumlah rencana belanja penting, seperti biaya pelaksanaan Asian Games di Jakarta dan Palembang pada 2018. Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Scenaider Clasein Siahaan, menambahkan bahwa penambahan belanja pemerintah juga dipakai untuk biaya sertifikasi lahan dan pengadaan lahan melalui Lembaga Manajemen Aset Negara.

Anggota Komisi Keuangan DPR dari Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun, mengatakan besaran defisit tersebut sangat riskan bagi APBN. Pemerintah juga menargetkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi 5,2 persen dari target APBN di tengah perlambatan penerimaan pajak.

"Ini sangat berisiko. Ekonomi tumbuh, volume produk domestik bruto naik, tapi pajak kita turun," tutur Misbakhun. Anggota lain Komisi, Hafisz Tohir, menilai penggunaan utang untuk pembangunan infrastruktur juga bakal membebani neraca keuangan. "Seharusnya bisa memanfaatkan investasi," ujar politikus Partai Amanat Nasional itu.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, mengatakan pemerintah mematok anggaran belanja terlalu besar, yang menyebabkan utang terus bertambah. Upaya pemerintah menghimpun dana lewat penerbitan surat berharga negara, menurut dia, berpotensi memunculkan penarikan dana di pasar apabila pemerintah terlampau banyak menerbitkannya untuk menyedot uang swasta.

Kondisi tersebut dapat memunculkan perang antara bank dan pemerintah. Bank berpotensi menaikkan suku bunga deposito agar nasabah tak menarik dananya. "Bunga kredit sulit turun dan likuiditas mengetat," ujar Bhima. Dia menilai saat ini penggunaan utang pemerintah belum efisien lantaran sisa anggaran belanja pemerintah masih di atas Rp 24 triliun. Dana perimbangan untuk daerah juga belum dimanfaatkan secara optimal. Realisasi belanja modal selama dua tahun terakhir hanya 70-80 persen dari total belanja.

Anggota Komisi Keuangan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Eddy Susetyo, meminta pemerintah memanfaatkan dana yang dihimpun dari penerbitan surat berharga negara dengan mengalokasikannya untuk investasi yang menghasilkan. Soalnya, kata dia, banyak utang pemerintah yang akan jatuh tempo dalam waktu dua tahun mendatang. "Utang jangan sampai dibakar untuk subsidi, nanti kesulitan bayar."

Sebaliknya, rekan sefraksi Andreas, Eva Kusuma Sundari, menilai rasio utang Indonesia masih tergolong sehat, yaitu di bawah 30 persen. Terlebih, menurut dia, pemerintah berhasil meningkatkan posisi Indonesia sebagai negara tujuan investasi asing langsung ke empat besar dunia. "Banyak negara, seperti Amerika dan Jepang, rasio utangnya sampai 100 persen."

Per akhir Juni 2017, utang pemerintah naik Rp 34,19 triliun menjadi Rp 3.706,52 triliun. Nilainya setara dengan 27 persen dari produk domestik bruto nasional, Rp 13.717 triliun. Bila mengacu pada Undang-Undang tentang Keuangan Negara, total utang pemerintah memang masih aman. Dalam undang-udang tersebut, batas maksimal rasio utang yang diizinkan adalah 60 persen dari PDB.

Rasio utang Indonesia juga masih jauh di bawah utang pemerintah Jepang dan Amerika Serikat, yang menyentuh 250 persen dan 108 persen dari PDB. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, rasio utang Indonesia juga lebih baik daripada Vietnam (62 persen), Malaysia (56 persen), Thailand (42 persen), dan Filipina (34 persen). Utang per kapita Indonesia yang mencapai US$ 1.004 juga jauh lebih rendah dibanding Malaysia (US$ 5.272) dan Thailand (US$ 2.460).

Menurut Sri Mulyani, utang Indonesia memang terus bertambah, "Tapi PDB kita juga jauh meningkat." Sebagai gambaran, pada 2014, utang Indonesia sebesar Rp 2.608 triliun, setara dengan 24,7 persen PDB, yang pada saat itu masih Rp 10.558 triliun. Pada tahun ini, PDB Indonesia sudah mencapai Rp 13.717 triliun.

Sri Mulyani juga membantah tudingan bahwa dia tak tahu ke mana saja utang-utang itu dialokasikan. Dia menjelaskan, ada perbedaan yang jelas antara utang proyek dan surat utang negara. "Kalau utang proyek jelas peruntukannya, misalnya untuk membangun pembangkit listrik Paiton. Ya, kita tahu utangnya untuk itu," ujarnya.

Berbeda halnya surat utang, yang dananya akan dimasukkan ke APBN dan digabungkan dengan penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan bea dan cukai. Dana itulah yang kemudian dipakai untuk membiayai belanja negara. "Kalau Menteri Keuangan tidak tahu utang dialokasikan ke mana saja, investor lari semua, investment grade kita enggak naik-naik," katanya.

MTQ, Praga Utama, Putri Adityo, Khairul Anam, Ayu Prima Sandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus