Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIMBUNAN utang Indonesia di bawah pemerintahan Joko Widodo menjadi sorotan akhir-akhir ini. Hingga semester pertama tahun ini, utang Indonesia sudah mencapai Rp 3.672 triliun, naik dua kali lipat dibanding pada 2012.
Kritik makin menjadi ketika pemerintah mewacanakan menggunakan dana haji untuk kegiatan pembangunan infrastruktur. Wacana ini memicu sikap pro dan kontra di masyarakat sampai akhirnya Presiden Jokowi menyatakan rencana itu hanya menjadi contoh semata.
Artikel majalah Tempo edisi 21 Agustus 1971 berjudul "Mengenang Diplomasi Hutang" sudah menyoroti ihwal utang Indonesia. Ketika Presiden Soeharto berkunjung keJerman Barat—Jerman Barat dan Jerman Timur belum bersatu ketika itu—Kepala Negara Indonesia menyematkan sebuahbintang Mahaputra kepada Dr Herman J. Abs, 70 tahun, Chairman of the Board dari DeutscheBank waktu itu. Berkat rekomendasi Abs, yang kemudian menjadi terkenal itu,Indonesia, yang pada 1966 mewarisi utang Sukarno sebanyak US$ 2,1 miliar dan di akhir 1968 dengan utang barumenjadi US$ 3,1 miliar, tidak tercekik sekaligus oleh tuntutan negara-negara yang mempunyai piutangnya di sini.
Riwayat diplomasi utangIndonesia mungkin merupakan satubab penting dalam sejarah pemerintah Soeharto. Ketika Sukarnojatuh, tidak dengan sendirinya utang-utangnya ikutjatuh. Pemerintah baru Indonesia, yang sadar akan perlunya bantuan luar negeri, memutuskan tidak melanjutkan"politik ngemplang" Sukarno pada 1964-1965. Abspada 1969 muncul sebagai penolong yang tak terduga-dugasetelah sejak 1966 dan 1967 terjadi penundaan-penundaan pembayaran utang. Ditunjuk oleh negara-negarakreditor nonkomunis pada Oktober 1968 untuk meneliti persoalan penjadwalan ulang utang-utang Indonesia serta memberikanrekomendasi. Bankir tua itu datang ke Indonesia pada awal 1969. Ia amatdihormati dalam dunia moneter internasional, dengan pengalaman cemerlang sebagai seorang yang pernah merundingkan utang-utang Jerman kepada negara-negara lain. Hasil penelitiannya di Indonesia yanghampir seluruhnya ia biayai sendiri danrekomendasi-rekomendasinya ternyata sangat membantu posisiIndonesia di depan para kreditornya. Di pihak para negara kreditor,rekomendasi-rekomendasi Abs justru mengagetkan.
Secara garis besarnya, Abs menganjurkan agar pokok utang Indonesia dibayar kembali dalam jangka waktu 30tahun. Ia menganjurkan agar bunga tunggakan dihapus. Tak adamoratorium interest. Dan ia menggarisbawahi prinsipnondiskriminasi dalam hal utang-utang untuk proyek ekonomidan peralatan militer. Hanya delegasi Belanda yang kontan setujudengan Abs. Menyusul delegasi Amerika Serikat, dengan hadirnya Robert W.Barnett, pejabat Kementerian Luar Negeri waktu itu, yang sangatbersimpati kepada Indonesia. Penyokong lainjuga datang dari Australia. Namun, dari Prancis, Italia, Inggris, Jepang, dan Jerman timbul oposisi.
Bagi Prancis, rekomendasi Abs takmasuk akal: bagaimana bunga utang bisa dihapus, satu hal yangbelum pernah terjadi di dunia? Bagi Jepang soalnya berat: undang-undang utang luar negerinya tak mengizinkan. Baginegara-negara yang lain, saran Abs itu bisa menjadi preseden buat hubungan utang-piutang mereka dengan negara-negara berkembang lain. Terhadap semua itu, Abs tidak lepas tangan. "Ia tidakhanya memberi rekomendasi lalu tinggal diam, meskipun ia bisasaja berbuat demikian," kata Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro,yang memimpin delegasi Indonesia waktu itu, 1971. "Abs juga berjuangagar rekomendasinya diterima." Demikian bankir itu dengan biayasendiri terbang ke Jepang untuk lebih meyakinkanagar mengendurkan beban Indonesia. Ditambah denganikhtiar delegasi Indonesia sendiri, sejak itu sudah dua kaliJepang mengubah undang-undangnya untuk bisa membantu Indonesia.
Bagi delegasi Indonesia, formula Abs tentu saja patut didukung. Namun, seperti dikemukakannya kepada kepala delegasi Prancis,Deguen, formula itu ditambah dengan satu permintaan lain dalamtahun-tahun pertama dari masa 30 tahun yang diusulkan Abs,yaitu perlu ada keringanan. Deguenmengusulkan jalan tengah: usul Indonesia disetujui,tapi bunga utang sebesar US$ 0,4 miliar harus tetap dibayarselama 15 tahun, dimulai pada 1985. Sesudah 1980,soal ini bisa ditinjau kembali: bunga bisa dihapus, bisapula dipercepat masa pembayarannya.
Pada akhirnya, dengan perubahan di sana-sini,formula Abs diterima. Yang penting juga dari semua itu, keringanan yang diperoleh Indonesia mungkin segera diikuti dengan keringananbuat negara-negara miskin yang lain. "Dalam pertemuan Paris, memang dinyatakanbahwa kasus Indonesia adalah unik," kata Widjojo Nitisastro, Agustus 1971. "Tapi kami akan bergembira bila negara-negara berkembang bisamemperoleh pengalaman Indonesia. Masalah utang adalah masalahyang harus dipecahkan secara realistis. Negara-negaraberkembang dalam hal ini harus saling membantu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo