Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Besar Pasak daripada Tiang

Angkutan Indonesian Airlines hanya mulus beberapa bulan. Maskapai dengan rute Jakarta-Surabaya ini membutuhkan injeksi dana segar. Benarkah akan ada investor baru?

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di belahan mana pun di dunia ini, bisnis penerbangan terkategori sebagai bisnis canggih yang menuntut kesempurnaan. "Tidak semua orang bisa. Karena itulah saya masuk," tutur Rudy Setyopurnomo, Direktur Utama PT Indonesian Airlines Avipatria, mengisahkan ihwal ketertarikannya masuk bisnis penerbangan. Ternyata ketertarikan Rudy ini tidak membuatnya "terjun" total. Armada Indonesian Airlines, misalnya, hanya terdiri atas dua pesawat Boeing 737-300 yang disewa dari Lufthansa. Dua pesawat terlalu sedikit untuk menunjang kesinambungan usaha, tapi itu pun tak jadi soal baginya. Tepat 24 Maret 2002, kedua Boeing mengangkasa, menerbangi rute Jakarta-Surabaya. Pada bulan-bulan pertama, kinerjanya relatif "sempurna" dan sempat meraih On-Time Performance Award dari pengelola Bandar Udara Soekarno-Hatta, PT Angkasa Pura II. Penghargaan itu diterima pada Agustus 2002. Namun kesempurnaan itu hanya bertahan beberapa bulan. "Sekitar Oktober, bisnis mulai kacau," kata sumber TEMPO di maskapai itu. Penyebab kekisruhan minimal ada tiga. Pertama, keterbatasan modal. Kedua, perang tarif udara di jalur Jakarta-Surabaya. Ketiga, kisruh penyelenggaraan angkutan haji. "Kombinasi semua itu ditambah dengan pengelolaan yang cenderung one man show dari Rudy membuat Indonesian Airlines terpuruk," sumber itu menegaskan. Data yang dimiliki TEMPO menunjukkan bahwa tingkat isian penumpang Indonesian Airlines memang meningkat pada bulan-bulan pertama. Pada April, tingkat isian hanya 29 persen, kemudian naik dan mencapai titik tertinggi pada Oktober sebesar 86 persen. Setelah itu, tingkatnya turun pada November menjadi 67 persen dan menyentuh angka 57 persen pada Desember 2002. Tingkat isian yang rendah pada Desember 2002 seharusnya tidak terjadi karena bulan itu merupakan puncak liburan. Namun, gara-gara modalnya cekak, jadwal perawatan pesawat terganggu dan dikenakan "vonis" tidak boleh terbang. Bencana itu terjadi justru pada saat peak season. Dengan demikian, lengkaplah musibah yang membuat Indonesian Airlines tak lagi mampu mengepakkan sayap. Selain armadanya kurus, modal operasional Indonesian Airlines ternyata hanya Rp 25 miliar. "Itu pun pinjaman dari Bank Danamon," sumber TEMPO melengkapi kisah yang tragis ini. Celakanya, pada bulan-bulan itu, perang tarif rute Jakarta-Surabaya juga sedang sengit-sengitnya. Garuda Indonesia menurunkan tarif ke kisaran Rp 200 ribu-Rp 400 ribu. Padahal, sebelumnya, Garuda menjual tiket sampai Rp 600 ribu, sedangkan Indonesian Airlines menjual lebih murah, sekitar Rp 560 ribu. Akibatnya, Indonesian Airlines harus menurunkan tiketnya ke kisaran Rp 300 ribu-Rp 400 ribu. Ini berbahaya. Sebab, agar bisa impas dengan biaya sewa pesawat dari Lufthansa, harga jual tiket minimal Rp 450 ribu. Maskapai ini akhirnya mulai kelimpungan. Arus kasnya negatif karena beroperasi dalam gaya "lebih besar pasak dari tiang." "Bleeding (kerugian) per bulan sekitar Rp 4-6 miliar," kata sumber itu. Dengan "perdarahan" itu, dalam hitungan bulan, modalnya pun amblas. Laporan keuangan per 31 Desember 2002 yang diperoleh TEMPO menunjukkan Indonesian Airlines merugi Rp 56,3 miliar dan modalnya negatif Rp 64,3 miliar. Total utangnya mencapai Rp 125,88 miliar. Keuangan yang sedemikian buruk membuat manajemen kalang-kabut. Ak-hirnya muncul ide untuk masuk bisnis angkutan haji dengan harapan bisa men-dapatkan untung besar. Waktu persiapan yang mepet—hanya tiga bulan menjelang musim haji 2003—ternyata tidak menyurutkan langkah maskapai baru ini. Paket haji segera dibuka. Tiketnya dijual US$ 960 per orang—lebih murah US$ 240 ketimbang tarif Garuda. Dari pembayaran tiket, total terkumpul sekitar US$ 1,4 juta. Dana inilah yang digunakan antara lain untuk membayar deposit sewa Boeing 747-400—yang bisa terbang langsung ke Jeddah sesuai dengan persyaratan pemerintah—dari Aviation Partner, Amerika Serikat. Untuk memuluskan angkutan haji ini, direksi Indonesian Airlines melobi Saudi Airlines sebagai salah satu maskapai yang memiliki izin untuk angkutan haji. Hasilnya, pesawat yang semula disediakan untuk mengangkut haji justru disewa oleh Saudi dengan harga US$ 6.200 per jam terbang. Padahal Indonesian Airlines menyewanya dari Aviation Partner US$ 7.200 per jam terbang. Sebagai imbal baliknya, Indonesian Airlines diizinkan terbang ke Jeddah dengan bendera sendiri. Masalahnya, maskapai ini belum memiliki pesawat berbadan lebar yang memenuhi syarat untuk angkutan haji. Padahal tiket sudah telanjur dijual ke calon jemaah. Akhirnya satu pesawat milik Logistic Air yang lagi dirawat di Garuda Maintenance Facilities (GMF) pun disewa. Persoalannya menjadi heboh ketika pesawat tersebut sempat dilarang mendarat di Jeddah karena belum melengkapi berbagai persyaratan administrasi. "Kasus ini membuat kami rugi besar," kata sumber TEMPO seraya menghela napas. Dokumen yang diperoleh TEMPO menyebutkan, kasus haji pada Januari-Februari ini mengakibatkan kerugian US$ 2 juta (sekitar Rp 19 miliar) plus pinjaman kepada agen haji senilai Rp 9,07 miliar. Untuk menutup kerugian, pemegang saham memberikan pinjaman US$ 1,4 juta (sekitar Rp 11,9 miliar). Jumlah itu jelas tidak cukup untuk menutup kerugian, termasuk pinjaman ke agen haji dan pihak ketiga lainnya yang total per Maret tahun ini mencapai Rp 110 miliar. Pinjaman ke pihak ketiga ini belum termasuk utang ke Bank Danamon, yang per 30 April mencapai Rp 24,487 miliar. "Pajak yang dipotong dari gaji karyawan dan penjualan tiket juga belum disetor ke kantor pajak." Akhirnya dua pesawat pinjaman dari Lufthansa dikembalikan pada 27 April 2003 dengan meninggalkan tunggakan sewa US$ 4,2 juta (sekitar Rp 35,7 miliar). Kini Indonesian Airlines hanya menerbangkan satu pesawat jenis 727-200, yang digunakan untuk mengangkut tenaga kerja Indonesia ke Dubai. "Terbang ke Dubai, meski untungnya tidak besar, penting. Kami tetap tidak ingin berhenti beroperasi," kata Rudy Setyopurnomo. Ia membenarkan bahwa penyebab utama kerugian maskapainya adalah perang tarif di jalur Jakarta-Surabaya dan kisruh penyelenggaraan haji. "Kami memang nahas. Itu memang jalur neraka." Mengenai kisruh soal haji, Rudy enggan berkomentar banyak. "Sudahlah, itu karena salah saya. Tapi apa orang tidak boleh berbuat salah?" Rudy juga menolak anggapan dirinya cenderung bersikap one man show dalam menangani Indonesian Airlines. Katanya, baik penentuan soal keuangan, pemasaran, pemilihan rute, maupun penentuan harga tiket, semua dilakukan oleh karyawannya. Soal tunggakan pajak juga dibantahnya karena pajak sudah dibayar lunas dua bulan yang lalu. "Saya takut kena paksa badan." Dia juga terpaksa berhemat agar pesa-watnya tetap beroperasi. Pemotongan pengeluaran perusahaan itu antara lain dila-kukan dengan menunda pembayaran kepada pihak ketiga—termasuk bank—dan merumahkan sebagian besar karyawan. Penundaan pembayaran atau macetnya kredit Indonesian Airlines dibenarkan oleh Wakil Direktur Utama Bank Danamon, Emirsyah Satar. "Memang ada, dan saat ini kami sedang work out untuk itu," ujarnya. Emirsyah tidak bersedia merinci lebih jauh soal kredit itu karena baru menjabat sebagai direktur pada 16 Juni lalu. Seorang sumber di Danamon mengakui banknya juga lagi pusing. Soalnya, nilai jaminan bagi kredit Indonesian Airlines hanya separuh dari total pinjaman sekitar Rp 25 miliar. Sisanya hanya berupa jaminan pribadi dari perorangan yang terkait dengan keluarga Presiden. Rudy sendiri enggan menjelaskan soal kredit Bank Danamon ini. Tapi, ketika ditanya apakah benar modal Indonesian Airlines untuk beroperasi semata-mata hanya dari pinjaman Bank Danamon Rp 25 miliar, Rudy balik bertanya, "Apa salahnya?" Ia melanjutkan, "Bill Gates itu membangun Microsoft dari garasi." Persoalannya, bisnis angkutan udara sangat berbeda dengan bisnis perangkat lunak. Jika kondisi keuangan sampai mempengaruhi kesehatan pesawat, keselamatan penumpang pasti dipertaruhkan. Hal itulah yang membuat Departemen Perhubungan kini mengawasi dengan cermat perusahaan ini. Santoso Eddy Wibowo, Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, mengakui pihaknya sudah memberikan peringatan secara tidak resmi kepada perusahaan itu, "Mbok ya kamu perbaiki itu performance-mu." Perbaikan kinerja ini, menurut sumber di Bank Danamon, hanya bisa dilakukan dengan cara memasukkan dana segar karena modalnya sudah negatif dan utangnya sudah terlalu besar. "Maskapai ini nafsunya besar, tapi tenaganya kurang." Perlunya injeksi dana segar juga disadari oleh Rudy. Mantan pejabat Garuda Indonesia ini yakin semua utang akan segera dilunasi karena paling lambat akhir Oktober ada investor baru asal Singapura yang akan menyetor US$ 50 juta. Mudah-mudahan niat melunasi utang itu benar-benar terlaksana. Kalau tidak, para pemegang saham yang terkait dengan Presiden tampaknya harus segera "urunan" untuk membereskan soal ini. Maklum, menjelang pemilu. TGH, Thomas Hadiwinata, Tomi Aryanto, Dara Meutia Uning

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus