DI pinggir landasan Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, sebuah Boeing 747-300 termangu-mangu menatap langit. Di ekornya, logo bergambar elang putih terlihat tinggal separuh. Tulisan Indonesian Airlines, yang dicatkan di tubuh pesawat, mulai suram tak terbaca.
Berlokasi di Terminal A Bandara Soekarno-Hatta, kantor pusat PT Indonesian Airlines Avipatria—perusahaan pemilik kapal terbang itu—sepi dari penghuni. Yang ada hanya sunyi dan tiga orang satpam, yang kerjanya cuma mengobrol ngalor-ngidul seharian sambil ditemani lampu yang tak lagi menyala dan sarang laba-laba yang bergantung di sudut ruang.
Senyap itu juga yang terasa di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Di sini, loket Indonesian Airlines sudah tutup sejak Juni lalu. Dua pekan lalu, papan namanya dicopot karena masa kontraknya sudah usai. Perabotnya telah lama menghilang, entah diangkut ke mana.
Demikian halnya kantor maskapai itu di Bandara Juanda, Surabaya. Satu-satunya barang yang masih bergerak di situ tinggal jam dinding. Yang lain, meja, kursi, komputer, dan tumpukan map, telah lama membisu dibekap debu. "Sudah empat bulan tutup," kata Ari, seorang makelar tiket.
Begitulah. Indonesian Airlines, perusahaan penerbangan yang baru mulai beroperasi pada Maret 2002, kini nyaris gulung tikar dan meninggalkan segunung persoalan: tunggakan utang, kisah kisruh pengangkutan haji, dan nasib 320 karyawannya yang kini terlunta-lunta.
Dan sederet masalah itu kini mulai merembet ke meja hijau.
Jumat dua pekan silam, 150 pegawai Indonesian Airlines datang melapor ke Markas Besar Kepolisian RI karena merasa ditipu manajemen yang tak lagi mengucurkan gaji selama lima bulan terakhir. Seminggu kemudian, Jumat lalu, mereka kembali mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Pekan ini, menurut rencana, mereka akan bertamu ke gedung parlemen dan melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Total jenderal, menurut juru bicara karyawan, Rony Anggono Oktavianto, tunggakan gaji mereka sampai saat ini mencapai Rp 7,5 miliar lebih.
Kontroversi yang melilit Indonesian Airlines pun berkibar lagi. Seperti halnya imbal beli pesawat tempur Sukhoi, telah lama kepak maskapai ini menyemburkan berbagai tanda tanya di seputar bisnis keluarga Presiden.
Januari lalu, persoalan ini mencuat seiring dengan terkatung-katungnya pemberangkatan 1.767 jemaah haji Indonesia. Sedianya, mereka akan diangkut pesawat Indonesian Airlines. Tapi malang tak dapat ditolak, Boeing 747-100 SR yang menerbangkan kelompok pertama—465 orang—ditahan otoritas Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi. Penyebabnya sepele, manajemen lalai membereskan urusan perizinan, termasuk kewajiban menyetor garansi bank senilai satu juta rial atau sekitar Rp 2,5 miliar. Indonesian baru dilepas setelah seorang pengusaha rekanan Departemen Agama RI asal Yaman, Al-Amudi, turun tangan menebusnya.
Buntutnya, gara-gara keterlambatan itu, 11 biro perjalanan haji mengklaim kerugian senilai Rp 9 miliar. Dan karena Indonesian Airlines tak kunjung sanggup melunasinya, 10 agen di antaranya telah mengadukan perkara ini ke Markas Besar Kepolisian RI dan menggugat pailit di Pengadilan Niaga Jakarta. Untung buat Indonesian, majelis hakim yang diketuai Erwin Mangatas Malau menolak permohonan para penggugat dengan alasan maskapai ini masih sanggup membayar utang.
Ketika itu santer berembus kabar, adalah Santayana Kiemas, salah satu adik kandung Taufiq Kiemas, yang berada di balik kepemilikan Indonesian Airlines. Lalu banyak yang jadi curiga, maskapai anyar yang baru 10 bulan beroperasi itu mampu menyabet proyek angkutan haji tak lain karena pengaruh nama besar Teuku Umar—lokasi tempat tinggal Presiden Megawati. Soalnya, perusahaan penerbangan yang jauh lebih kawakan, seperti Merpati, selalu gagal mengantongi izin.
Kabar keterlibatan keluarga Taufiq Kiemas itu sempat disangkal habis-habisan. "Sama sekali tidak ada. Pak Taufiq hanya pernah naik pesawat saya sewaktu ada acara di Surabaya," kata Rudy Setyopurnomo, Direktur Utama Indonesian Airlines, saat itu. Rudy hanya mengakui mengenal baik famili Kiemas karena kebetulan saja keluarga istrinya juga berasal dari Palembang.
Kepada majalah ini, saat ditanya ihwal berbagai kabar tak sedap yang menerpa bisnis keluarganya, Taufiq Kiemas, suami Presiden, pernah menyatakan, "Saya punya prinsip tidak akan pernah mencari uang dari sembilan bahan pokok dan haji. Uangnya tidak seberapa, tapi langsung berkaitan dengan nasib rakyat kecil."
Namun kini sejumlah dokumen autentik yang diperoleh dari penelusuran TEMPO menyodorkan bukti tak terbantahkan: memang Santayana Kiemas-lah salah satu pemilik Indonesian Airlines.
Lebih menarik lagi, selain Santayana, ternyata juga ada dua tokoh lain yang selama ini dikenal luas berada di lingkaran dalam Teuku Umar. Salah satunya adalah Yacub Nursalim, sobat kental Taufiq Kiemas sekaligus keponakan Sjamsul Nursalim, taipan yang belum kunjung beres melunasi utangnya senilai Rp 28,4 triliun ke negara dan sedang terus "sakit keras" di Singapura. Satunya lagi adalah Tjahjo Kumolo, politikus kawakan yang kini menjabat Ketua Fraksi PDIP di DPR dan merupakan tangan kanan Taufiq di kancah politik.
Selain itu, juga tercatat nama Triadi Abimanyu, kerabat mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal Surojo Bimantoro.
Mereka, secara bersama-sama, tercatat memiliki 45 persen saham Indonesian Airlines melalui sebuah perusahaan bernama PT Daya Karti Nagari. Di Daya Karti sendiri, berdasarkan posisi kepemilikan per Oktober 2001, Santayana tercatat menjadi pemegang 40 persen saham, Yacub Nursalim 30 persen, sedangkan Tjahjo dan Triadi masing-masing 15 persen (lihat tabel).
Saat ditanya TEMPO, Santayana tidak membantah ataupun mengkonfirmasi keterlibatannya di Indonesian. Tapi ia juga enggan memberikan penjelasan rinci. "Saya lebih baik tidak berkomentar, karena ini urusan manajemen," ujarnya.
Triadi pun tak menyanggah keberadaannya di Indonesian Airlines. Namun, ketika ditanya soal Santayana, ia hanya menjawab "no comment". Ia malah menyangkal kepemilikan saham Tjahjo dan Yacub Nursalim di Daya Karti. "Setahu saya tidak ada yang bernama Yacub di situ," katanya.
Tjahjo sendiri membenarkan keberadaannya di Daya Karti. Ia mengaku mendirikan Daya Karti bersama Santayana dan Triadi, yang telah lama dikenalnya, jauh sebelum ia duduk di bangku parlemen. Tjahjo juga membenarkan Daya Karti memiliki sejumlah saham di Indonesian Airlines, "meski jumlahnya tidak banyak". Namun ia tegas membantah adanya kaitan antara maskapai itu dan Teuku Umar. "Setahu saya, Pak Taufiq tak pernah ikut campur dalam bisnis keluarganya," ia menegaskan.
Sayang, Yacub tak dapat diwawancarai. Sekali ia bisa dikontak melalui telepon genggamnya. Tapi, begitu diberi tahu yang menelepon adalah wartawan mingguan ini untuk mengkonfirmasi keterlibatannya di Indonesian Airlines, ia langsung menukas, "Maaf, saya lagi rapat. Tolong Anda telepon lagi." Dan setelah itu, Yacub tak kunjung dapat dihubungi.
Adapun Rudy Setyo Purnomo selalu berkelit saat ditanya ihwal keterlibatan Santayana Kiemas dan lingkaran dalam Teuku Umar di maskapainya. "Mana tahu saya. Anda tanya saja sama dia," ujarnya berkali-kali.
"Ketidaktahuan" ini agak mengherankan. Salinan surat yang diteken Rudy pada 17 Oktober 2001 kepada Bank Danamon secara jelas membubuhkan nama Santayana sebagai komisaris dan pemilik 40 persen saham Daya Karti.
Juga, pada 20 Februari 2003, Rudy dengan jelas pernah meneken tanda terima untuk Yacub Nursalim, yang menyetorkan "uang tunai sejumlah US$ 250 ribu untuk tukar giro dua lembar tertanggal 18 Mei 2003 No. BA 715062 sejumlah Rp 1.113.750.000 dan tertanggal 18 Agustus 2003 No. BA 715061 sejumlah Rp 1.113.750.000".
INDONESIAN Airlines pertama kali didirikan pada 1999 oleh keluarga al-marhum Kardono, mantan Direktur Jenderal Perhubungan Udara dan bekas Ketua Umum PSSI. Namun, hingga akhir 2001, karena tak punya cukup modal, "si Elang Bondol" belum juga bisa terbang.
Titik terang lalu muncul dari Teuku Umar. Kebetulan, istri Rudy Setyopurnomo adalah juga wong kito galo, berasal dari Palembang, seperti halnya keluarga Taufiq Kiemas. Singkat cerita, sebagaimana dituturkan sejumlah sumber TEMPO di Indonesian Airlines, masuklah Santayana Kiemas melalui PT Daya Karti Nagari itu.
Tapi dari mana duitnya? Dokumen sahih yang diperoleh mingguan ini menunjukkan, sekitar bulan November 2001, Indonesian Airlines mendapat kucuran kredit senilai Rp 25 miliar dari Bank Danamon, yang ketika itu mayoritas sahamnya masih dikuasai pemerintah.
Sebagai persyaratan mendapatkan pinjaman, sebagaimana tercantum dalam surat pernyataan tanggal 22 November 2001, Santayana Kiemas memberikan persetujuan sepenuhnya kepada istrinya, Tjung Khairany Kiemas, "untuk menjaminkan deposito dan tanah bangunan guna fasilitas kredit yang diterima PT Indonesian Airlines Avipatria dari PT Bank Danamon Indonesia Tbk."
Demikian pula halnya dengan Tjahjo Kumolo. Melalui surat kuasa tertanggal 22 November 2001, Tjahjo selaku komisaris Daya Karti meneken surat kuasa kepada Triadi Abimanyu, managing director, "untuk mewakili pemberi kuasa memberikan personal guarantee menjamin fasilitas kredit PT Indonesian Airlines pada Bank Danamon Indonesia".
Menurut sumber TEMPO yang mengetahui seluk-beluk keuangan Indonesian Airlines, sebetulnya manajemen Danamon menilai permohonan pinjaman dari maskapai ini tak layak. Tapi kredit tetap digelontorkan "karena pengaruh Teuku Umar".
Benarkah? Adanya pinjaman dari Danamon itu dibenarkan Tjahjo Kumolo. Tapi dengan tegas Tjahjo menyatakan bahwa pengucurannya dilakukan melalui proses yang wajar, dan tak setitik pun melibatkan pengaruh Teuku Umar.
Syukurlah kalau memang begitu adanya. Tapi persoalan lain yang tak kalah gentingnya kini menghadang di depan mata. Pesan darurat mayday telah menjerit-jerit dikirimkan maskapai ini. Kredit Danamon kini macet total, seiring dengan kondisi Indonesian Airlines yang berada di tepi jurang kesulitan.
Perusahaan ini bahkan nyaris tak ditopang aset yang memadai. Adapun kewajibannya tinggi menggunung, mulai dari tunggakan pajak, asuransi, sewa pesawat, perawatan, sampai bahan bakar. "Komputer saja masih ngutang," kata seorang staf keuangan Indonesian. Laporan keuangan per 31 Desember 2002 menunjukkan seberapa besar kas perusahaan bolong: total utangnya mencapai angka Rp 126 miliar, dan arus kasnya negatif Rp 6,8 miliar.
Meski begitu, Komisaris Indonesian Airlines sekaligus Direktur Utama Daya Karti, Triadi Abimanyu, masih hakulyakin Indonesian akan kembali bugar. Pelunasan utang, menurut dia, hanya tinggal soal waktu karena sudah ada investor yang siap menginjeksikan dana segar pada tahun ini juga. Cuma berapa besarnya, kata Triadi lagi, masih harus "menunggu rumput bergoyang".
Begitu pula halnya dengan Rudy. "Mereka investor strategis yang berkepentingan dengan hidupnya Indonesian Airlines," katanya dengan nada optimistik.
Teuku Umarkah yang kali ini akan mengulurkan tangan?
Di atas pesawat sepulang berkunjung ke Bengkulu, Selasa pekan lalu, Taufiq Kiemas menegaskan kasus yang melilit Indonesian Airlines tak bersangkut paut dengan dia. "Oh, itu masa lalu. Masalahnya sudah selesai," katanya kepada Jobpie Sugiharto dari TEMPO. Soal keterlibatan sang adik, Santayana? "Tanya sama dia, dong. Masa, tanya saya. Masalah utang sendiri-sendiri. Yang utang dia sendiri, bukan saya. Bener, nggak?"
Saat Megawati menjelang naik ke tampuk kepresidenan, majalah ini pernah bertanya ke Taufiq tentang berbagai kabar miring yang selalu melilit bisnis dia dan adik-adiknya. Waktu itu Taufiq menjawab, "Ketika Mega akan menjadi wakil presiden, saya mengumpulkan adik-adik, mengingatkan mereka agar tidak membuat banyak hambatan buat Mega. Sebisa mungkin nantinya saya tidak akan menyusahkan Mega."
Tampaknya kini Taufiq harus sekali lagi menegaskan nasihatnya. Coba dengar keluhan seorang karyawan Indonesian Airlines berikut, "Bagaimana Bu Mega mau jadi presiden lagi, kalau mengurus kami yang buruh ini saja, keluarganya tidak mampu."
Menukik Deras
9 Juli 1999
PT Indonesian Airlines Avipatria didirikan.
24 Maret 2002
Indonesian Airlines memulai penerbangan perdananya.
30 Agustus 2002
Indonesian Airlines menerima penghargaan "The Best Time Performance for Domestic Flight Category" dari PT Angkasa Pura II.
23 Januari 2003
Pesawat Indonesian Airlines yang mengangkut 465 anggota jemaah haji tertahan di Bandar Udara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi, setelah sempat dilarang mendarat karena lalai mengurus perizinan, antara lain kewajiban menyetor bank guarantee. Sisa jemaah, sekitar 1.300 orang, telantar berhari-hari di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, dan Bandara Juanda, Surabaya.
27 Januari 2003
Setelah tertahan sekian hari, pesawat Indonesian Airlines kembali ke Tanah Air dan mengangkut 261 calon haji lagi. Sisanya diterbangkan dengan pesawat maskapai lain.
7 Februari 2003
Indonesian Airlines diancam akan digugat oleh PT Garuda Maintenance Facilities (GMF) Aero Asia jika tak membayar utang ongkos perawatan pesawat senilai US$ 300 ribu.
8 Februari 2003
Indonesian Airlines dan GMF sepakat menyelesaikan sengketa melalui jalan damai.
24 Maret 2003
Direktur Utama Indonesian Airlines, Rudy Setyopurnomo, meneken surat pernyataan tak sanggup membayar utang sekitar Rp 9 miliar kepada 11 biro perjalanan haji.
26 Mei 2003
Indonesian Airlines diadukan 10 biro perjalanan haji ke Markas Besar Kepolisian RI atas tuduhan penipuan dan penggelapan. Seminggu kemudian, mereka mengajukan gugatan pailit.
15 Agustus 2003
Pengadilan niaga menolak gugatan pailit dari biro perjalanan haji. Majelis hakim menilai Indonesian Airlines masih sanggup melunasi utang.
12 September 2003
Perwakilan dari 150 karyawan Indonesian Airlines melaporkan manajemen perusahaan ke Markas Besar Kepolisian RI, dengan tuduhan penipuan karena tak membayar gaji mereka selama lima bulan terakhir.
DMU