TIAP pagi, aroma bawang selalu mengiringi langkah Eko (bukan nama sebenarnya) saat memasuki Hotel Hyatt Regency, Surabaya. Jangan salah, insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung itu bukan koki atau pelayan restoran. Dia adalah karyawan maskapai Indonesian Airlines cabang Surabaya, yang berkantor di hotel berbintang lima tersebut. Lo?
Eko, kini berusia 27 tahun, sambil malu-malu mengakui bau bawang itu berasal dari dapur rumahnya. Tiap pagi, sejak April lalu, ia membantu istrinya, Wiwin, memasak nasi goreng untuk dijual. Eko lalu menitipkannya di beberapa warung sekitar Hyatt sebelum masuk kerja. Hasilnya lumayan buat menjaga asap dapur keluarganya tetap mengebul. Sehari ia bisa mengais untung Rp 7.000-10.000.
Eko hanyalah satu dari sekitar 320 pegawai Indonesian yang kini telantar gara-gara maskapai milik keluarga Presiden Megawati itu stop beroperasi sejak Maret karena tercekik utang. Sebenarnya jumlah karyawan seluruhnya mencapai 400 orang. Tapi, karena kondisi perusahaan terus memburuk, 80 di antaranya satu per satu telah mengundurkan diri.
"Gaji saya Rp 2,6 juta, tapi sejak Maret cuma dibayar setengahnya," cerita Eko. Saat itu dia pusing tujuh keliling karena sebulan kemudian berencana mengawini Wiwin. Toh, Eko pantang mundur. Pernikahan jalan terus, dan seluruh tabungannya yang cuma Rp 1,5 juta ludes.
Eko baru benar-benar panik ketika pada bulan April manajemen Indonesian Airlines tak sepeser pun membayar upahnya. Apa boleh buat, dari sebuah rumah sewaannya, Eko harus memboyong pengantin barunya ke sebuah bilik berukuran 3 x 2,5 meter di kampung belakang Hotel Hyatt. Di rumah petak itu, ia indekos bersama tukang becak dan pelayan toko. "Sewanya murah, cuma Rp 160 ribu sebulan," kata Eko. Untuk makan sehari-hari, mereka harus menyantap "menu prihatin": lauk tempe dan sayuran seadanya. "Bagus jika seminggu dua kali kami bisa makan telur," ujar Eko memelas.
Yang membuat Eko jengkel, direksi Indonesian Airlines seperti acuh tak acuh dengan nasib yang mengimpit mereka. Awal Juli lalu, ia ditugasi ke Jakarta dan sempat bertemu dengan salah seorang direktur. Eko lantas mengisahkan kondisi yang kini dihadapi dia dan rekan-rekannya di Surabaya. Tapi, apa kata sang bos? "Sama dong, saya juga mau buka warung nasi goreng," jawabnya sambil cengengesan.
Karena itulah, Eko kini bulat mendukung niat 150 lebih koleganya melayangkan gugatan ke pengadilan. "Kalaupun dikenai PHK, saya ikhlas, asal ada pesangon sesuai dengan aturan," katanya lagi.
Rony Anggono, juru bicara karyawan Indonesian Airlines, menyatakan memang sudah lima bulan terakhir gaji mereka belum dibayar. Yang lucu, manajemen sempat menuntut mereka agar terus masuk kantor. Tapi, tiap kali ditanya ihwal pembayaran upah, direksi hanya bolak-balik berjanji akan segera membayarnya setelah mendapat investor baru. Karena itulah, menganggap perusahaan tak lagi memiliki itikad baik, sejumlah karyawan bersepakat menempuh jalur hukum. Mereka pun menunjuk pengacara Finantha Rudy untuk mewakili tuntutan mereka. "Minggu depan (berarti pekan ini—Red) kami akan membawa kasus ini ke pengadilan," kata Finantha.
Nasib Rony sendiri tak lebih baik. Memang, insinyur teknik penerbangan yang baru lulus dari ITB pada tahun 2000 lalu itu tak perlu tinggal di rumah petak seperti Eko. Bersama istri dan seorang bayinya yang berusia setahun lebih, ia bisa tinggal menumpang di rumah orang tua. Tapi, tak urung, karena tak lagi digaji sejak April lalu dan mesti menanggung biaya hidup mertua dan adik iparnya, tabungan Rony sebesar Rp 8 juta amblas sudah. Untuk mengongkosi hidup, bersama 10 karyawan Indonesian Airlines lainnya ia kini berjualan ayam goreng dan rempeyek di warung kaki lima. Hasilnya jauh dari cukup. Cuma sekitar Rp 100 ribu-150 ribu sebulan. "Untung, saya masih dibantu orang tua," ujar Rony.
Menurut Adang Turwana, Kepala Sub-Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Kota Tangerang, setelah perundingan tripartit membentur tembok, sengketa karyawan dan manajemen Indonesian Airlines sudah masuk wilayah pengadilan. Karena itu, ia menyilakan karyawan menempuh jalur hukum karena, menurut ketentuan, perusahaan tak bisa tidak harus melunasi tunggakan gaji karyawan dan membayar denda.
Toh, Direktur Utama Indonesian Airlines, Rudy Setyopurnomo, menanggapi dingin keluhan pegawainya itu. Katanya, "Direksi juga tak dapat gaji, kok. Masa, kami tidak mau bayar jika duitnya ada." Kalaupun karyawan membawa kasus ini ke meja hijau, Rudy mengaku tak gentar, "Mereka kan cuma anak nakal, kami siap menghadapinya."
Iwan Setiawan, Thomas Hadiwinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini