Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA tidak tahu pasar," kata Rudy Setyopurnomo, Direktur Utama Indonesian Airlines, kepada TEMPO. Dalam wawancara yang berlangsung satu setengah tahun lalu itu, Rudy panjang-lebar mengkritik para pesaingnya yang menerapkan jurus membanting harga. Ia hakulyakin, langkah semacam itu tidaklah tepat karena 65 persen penumpang, menurut dia, tak akan terpikat iming-iming diskon. Karena itu, Rudy optimistis maskapai yang dipimpinnya akan mampu bertahan tanpa harus melakukan perang tarif.
Kini, keyakinan itu seperti menguap tak berbekas. Saat ditemui pekan lalu, Rudy mengakui soal banyaknya pesaing itulah yang menjadi penyebab utama tutupnya seluruh jalur domestik Indonesian Airlines. "Lama-lama capek juga," ia mengeluh.
Indonesian Airlines kini menambah deret panjang korban kerasnya persaingan bisnis angkutan udara terjadwal. Nasibnya memang tidak seburuk Awair, Bayu Air, ataupun Seulawah Air, yang harus total istirahat terbang. Dari empat rute yang pernah diterbangi sejak Maret 2002, satu pesawat Indonesian Airlines masih bisa sesekali "mengompreng" ke Arab Saudi, mengangkut tenaga kerja Indonesia. Terpaan angin keras serupa sempat menggoyang Kartika Airlines, Pelita Airlines, hingga pemain lama, Merpati Airlines.
Sejak diputuskan dideregulasi, bisnis jasa transportasi udara memang berubah wujud menjadi rimba ganas. Dimuluskannya akses masuk telah menaikkan jumlah pemain hingga tiga kali lipat. Sementara di tahun 1999 hanya tercatat ada enam airlines yang melayani penerbangan berjadwal, di tahun ini ada 22 maskapai yang menyesaki langit Nusantara.
Celakanya, aturan main di bisnis ini kelewat longgar. Cukup dengan menyerahkan studi kelayakan serta menyiapkan dua pesawat yang akan dioperasikan?boleh dibeli atau cukup disewa?siapa pun berpeluang menggenggam izin pendirian. Tak mengherankan kalau permohonan untuk mengibarkan bendera penerbangan baru terus mengalir masuk ke Departemen Perhubungan.
Padahal, persaingan di bisnis ini sungguh brutal. Sejumlah klep regulasi?seperti pembatasan penentuan tarif dan pemilihan rute?tak lagi difungsikan. Perang harga tidak lagi menjadi barang haram. Buntutnya, harga selembar tiket bisa tergerus hingga 60 persen dari harga tiga tahun lalu. Rute Jakarta-Surabaya, yang di tahun 2000 masih laku di atas Rp 600 ribu, kini cukup dibeli Rp 250 ribu saja. Perang harga juga terjadi di rute Jakarta-Medan. Dalam periode yang sama, tarif di jalur ini anjlok separuhnya.
Ujungnya gampang ditebak. Kombinasi harga yang kian menukik dengan biaya yang tak berubah, tak pelak lagi, menggeser timbangan keuangan perusahaan ke arah defisit. "Rugi operasi kita sekitar Rp 4 miliar hingga Rp 10 miliar per bulan," Rudy menjelaskan. Sudah pasti, penyumbang terbesar kerugian adalah rute Jakarta-Surabaya, yang padat penumpang. "Menerbangi rute Jakarta-Surabaya itu seperti membuang uang," kata Rudy lagi, penuh sesal.
Tapi Direktur Perhubungan Udara, Santoso Edi Wibowo, menampik faktor persaingan yang kelewat bebas itulah yang menjadi penyebab utama bertebarannya "kuburan-kuburan" maskapai. "Buktinya, jumlah penumpang pesawat udara terus naik," ia mendebat.
Santoso mungkin benar. Dalam empat tahun terakhir, pengguna angkutan udara memang terus bertambah. Namun juga perlu diingat bahwa pertumbuhan itu tidak merata di seluruh rute, sementara para pemain lebih tersedot ke jalur-jalur gemuk.
Coba teliti kenapa Awair dan Indonesian sekarat. Kedua maskapai tersebut terjebak habis-habisan berduel di rute Jakarta-Surabaya. Sementara itu, jalur lain yang tingkat persaingannya relatif rendah alpa digarap.
Rudy juga mengaku tak sempat menerapkan jurus subsidi silang untuk menyelamatkan maskapainya. Mengeruk laba di pasar yang sepi pesaing, dan memotong margin di market yang ramai, diakui Wahyu Hidayat, Direktur Utama Pelita Airlines, sebagai cara "mujarab" yang diterapkan sejumlah perusahaan untuk bertahan hidup.
Selain itu, ada faktor lain. Para pengelola juga harus hati-hati memilih jenis pesawat jika tak mau terperosok. Salah satu sebab mengapa Awair?dikabarkan pernah ikut dimiliki mantan presiden Abdurrahman Wahid?hanya mampu terbang selama satu setengah tahun adalah blunder dalam memilih tipe armadanya. Awair menggunakan Airbus untuk rute-rute pendek. Padahal pesawat ini lebih cocok untuk jarak jauh. "Tidak ekonomis jika dipakai untuk rute yang kurang dari tiga jam," Santoso menjelaskan.
Mengelola perusahaan penerbangan memang tak mudah. Selain padat modal, usaha ini juga padat karya. Menyitir kata-kata Wahyu, "Ini bisnis yang high profile, tapi low profit."
Thomas Hadiwinata, Dara Meutia Uning
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo