Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAZIMNYA, balai desa milik seluruh warga. Namun, di Desa Kaliacar, Probolinggo, Jawa Timur, Abdul Rachmad menyulapnya menjadi tempat tinggal keluarganya. Akibatnya, pamong desa terpaksa mengalah, berkantor di rumah pribadi kepala desa.
Kejadian ini berawal ketika Abdul diusir sanak-familinya gara-gara berebut tanah warisan. Kasihan melihatnya telantar, Kades Kaliacar mengizinkan ayah dua anak itu tinggal sementara di balai desa. Tapi, hingga pekan lalu, empat bulan setelah ia menempatinya, Abdul justru menguasai hampir seluruh ruangan yang ada di sana. Premanisme? Entah.
Dari hanya diizinkan memakai satu ruangan, Abdul berekspansi menguasai tiga dari empat ruangan di balai desa. Satu ruangan dijadikan ruang tamu sekaligus tempat kerja untuk servis barang elektronik, yang dipenuhi peralatan kerja berikut radio dan tape rongsokan. Malah, foto keluarga dipajang pada dinding ruangan. Ruangan sebelah dipakai sebagai kamar tidur, yang dilengkapi lemari pakaian dan ranjang king size. Satu ruangan digunakan untuk dapur, yang dipenuhi kompor, panci, rak piring, hingga lemari bumbu yang dipaku di tembok. Untuk mandi-cuci-kakus, mereka tinggal memakai fasilitas balai desa. Hanya satu ruangan disisakannya, itu pun karena ada lemari berkas desa di sana. "Kami sudah dapat izin dari Pak Kades," kata Abdul, enteng.
Kades Kaliacar, A. Munip, mengaku memberi izin Abdul hanya untuk menempati satu ruang balai desa. "Saya kira hanya dua minggu," katanya, yang sampai kini tidak tega mengusir mereka. Akibatnya, aparatnya tidak lagi bisa bekerja di balai desa. Munip lalu memboyong semua peralatan kantor ke rumahnya. "Kami mengalah saja, biar saya dan pamong berkantor di rumah," tuturnya.
Bayangkan kalau Kantor Sekretariat Negara di Jakarta pindah ke rumah Ibu Presiden di Teuku Umar. Tapi, apa mereka mau?
Wali Kota Tahan Ciuman
PUNYA wajah ganteng dan jabatan wali kota malah bikin repot. Apalagi jika yang dihadapi one-one (ibu-ibu) pedagang sayur Pasar Raya, Jalan Pasar Baru, Kota Padang. Wali Kota Padang, Fauzi Bahar, sampai tersipu di depan ratusan mata.
Peristiwa itu bermula dari protes para pedagang terhadap keputusan wali kota yang akan memindahkan tempat dagang mereka. Dialog pedagang dengan Wali Kota berlangsung panas di aula balai kota, dua pekan lalu. Mereka menolak tempat dagang baru, yang sepi dan berada di pinggiran kota. "One lihat dululah tempatnya, nanti lama-lama juga banyak pembeli yang datang ke sana," kata Wali Kota. Dia mengaku telah menyediakan Rp 50 juta untuk membeli sayuran yang tak laku.
En, yang bertubuh subur, maju mewakili rekan-rekannya. "Tolong posisikan Bapak sebagai pedagang. Seharusnya Bapak duduk di sini bersama kami," kata janda beranak tujuh itu.
"Oke, bagaimana kalau Ibu duduk di sebelah saya?" kata Wali Kota, menantang. En langsung bangkit dan duduk di sebelah pejabat kota yang baru menjabat dua bulan itu. Fauzi kemudian menyodorkan kertas dan pena kepadanya. "Silakan catat," kata Wali Kota.
Bukannya mencatat, En malah memandangi wajah tampan wali kotanya. Tiba-tiba dia merangkul dan mencium Fauzi. "Saya mau jadi istri simpanan Pak Wali, biar enggak usah jualan sayur lagi," kata En, yang langsung kembali ke tengah rekan-rekannya. Tindakan "drastis" itu kontan disambut sorakan heboh hadirin.
Wali kota yang murah senyum itu gelagapan. Wajahnya memerah karena kaget. "Wah, banyak wartawan, nih. Nanti tersiar di TV," ujarnya melepas grogi. Tapi, sudah mendapat ciuman, Wali Kota Fauzi bergeming pada putusannya: para pedagang tetap harus pindah. "Percuma, walaupun wali kota sudah dicium, kita tetap saja digusur," keluh pedagang lain. Bagaimana kalau digigit?
Agung Rulianto, Bibin Bintariadi (Malang), Febrianti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo