Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terteror Tabiat Amerika

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR yang menghebohkan ini cepat sekali tersebar: Ustad Abu Bakar Ba'asyir akan dibawa paksa ke kamp tahanan Guantanamo, Kuba, oleh intelijen Amerika Serikat. Yang pertama kali mengembuskannya tak lain Habib Husein al-Habsyi, yang sehari-hari dikenal sebagai Ketua Ikhwanul Muslimin Indonesia. Setelah menjenguk sang ustad di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, pekan lalu, ia melempar kabar tersebut. "Saya mendapat kabar dari orang dalam di Markas Besar Polri," katanya. Habib Husein juga mengungkapkan bahwa Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Ralph Boyce, menyampaikan keinginan itu langsung kepada Kepala Polri, Jenderal Da'i Bachtiar. Orang segera percaya kabar tersebut. Apalagi saat bertemu dengan Ketua Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif, sang duta besar juga menyampaikan kerisauannya. Ini berkaitan dengan habisnya masa hukuman Ba'asyir pada 30 April mendatang. "Pembebasan Ba'asyir secara signifikan akan mengancam seluruh keamanan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia," kata Syafi'i menirukan ucapan Boyce. Saat itu, Boyce juga menyatakan bahwa pemerintah Bush punya bukti yang kuat mengenai kepemimpinan dan keterlibatan Ba'asyir dalam kegiatan terorisme internasional. Benarkah? Belakangan Kedutaan Amerika menepis pengakuan Syafi'i. Kabar bahwa Boyce meminta bantuan Muhammadiyah untuk mendesak Kapolri agar Ba'asyir tetap ditahan di penjara, atau kalau tidak diserahkan ke Amerika, juga ditampik. "Tak mungkin ada permintaan itu. Kami menghormati kedaulatan hukum di Indonesia," kata Stanley Harsha, juru bicara Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Juru bicara Mabes Polri, Brigjen Soenarko D.A., pun membantah adanya permintaan Amerika. "Tak ada intervensi dari pemerintah Amerika maupun permintaan Ralph Boyce," ujarnya. Kendati begitu, orang-orang yang dekat dengan Ba'asyir tetap waswas. Soalnya, "penculikan" terhadap tersangka teroris sudah beberapa kali dilakukan oleh Amerika. Muhammad Saad Iqbal Madni yang disinyalir anggota Al-Qaida digaruk petugas imigrasi Indonesia pada 9 Januari 2002. Warga Pakistan ini dideportasi, namun setibanya di bandara ia dibawa pesawat dinas rahasia AS entah kemana. Lima bulan kemudian, Umar al-Faruq, warga negara Indonesia yang besar di Kuwait, ditangkap di Bogor oleh intelijen Indonesia. Tak lama kemudian ia sudah berada di tangan Amerika. Hal yang sama juga dialami oleh Hambali. Warga negara Indonesia yang ditangkap Thailand ini akhirnya dibawa pula oleh intelijen AS. Ingat juga kasus Seyam Redha, warga negara Jerman yang sempat ditahan di LP Cipinang, Jakarta Timur, karena terjerat urusan imigrasi. Belakangan ia "diambil" oleh aparat dinas rahasia Jerman begitu pesawat yang membawanya lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Di mata guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, perlakuan pemerintah Amerika itu mencederai hukum dan hak asasi manusia. "Kita tidak menghendaki adanya rekayasa dalam perang melawan terorisme. Ini justru berdampak buruk terhadap proses hukum," katanya. AT, Faisal Assegaf (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus