Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ke Kota Langa, Sam Ntiba sang pemandu wisata membawa kami, tiga turis asal Asia Tenggara, dan dua wisatawan asal Belanda. Langa, kota kecil di pinggiran Cape Town, Afrika Selatan, berdiri pada 1927 dan menjadi salah satu destinasi pemindahan orang kulit hitam pada masa Uni Afrika Selatan, negara persemakmuran Inggris. "Sejak awal Langa berdiri, kemiskinan selalu melekat pada kota ini," kata Sam kepada Tempo pada pertengahan November tahun lalu.
Catatan sejarah di kota itu menyebutkan Langa menjadi salah satu kawasan khusus laki-laki kulit hitam tertua di Cape Town. Mereka yang dipindahkan ke situ harus hidup dalam barak-barak yang dikelilingi pagar. Hanya mereka yang memiliki pekerjaan-sebagai tukang atau pembantu-yang boleh keluar dari Langa dan masuk kawasan perkotaan. Sebelum gelap, penduduk kulit hitam harus kembali ke barak.
"Mereka harus membawa dokumen pengenal di kota. Tanpa dokumen itu, mereka bakal dihukum," kata Sam sambil menunjukkan buku kecil lawas bersampul kulit cokelat. Belakangan, setelah kaum perempuan mengajukan protes, keluarga kulit hitam bisa tinggal di Langa. Berdirilah rumah-rumah yang satu unitnya bisa diisi hingga tiga-empat keluarga. Mereka pun harus membayar sewa rumah kepada pemerintah.
Politik segregasi kulit hitam atau apartheid yang berlaku sejak 1948 membuat kulit hitam kian sulit mendapat perlakuan adil dan beroleh kesejahteraan. Di Langa, protes beberapa kali merebak. Pada 1951, Asosiasi Perempuan Langa Siaga bertemu dengan Wali Kota Cape Town memprotes biaya rental tanah dan rumah.
Pergerakan politik yang salah satunya digagas Kongres Nasional Afrika (ANC) membuat gerakan antisegregasi menguat. Sejak 1940-an, mulai meluas gerakan memprotes izin melintas. Protes serupa menguat pada Maret 1960. Saat itu, para perempuan yang bergabung dalam unjuk rasa membakar dokumen melintas. Aksi tersebut berakhir rusuh dengan dua demonstran tewas. Kini, di Caledon Square, didirikan tugu peringatan demonstrasi, dan di tembok-tembok bangunan di sekitarnya terdapat mural perjuangan kulit hitam.
Pada 1960-1980, sekitar 500 ribu warga kulit hitam ditahan tiap tahun. Namun mereka tak surut memperjuangkan hak mereka. Hingga akhirnya apartheid dihapuskan pada pertengahan 1991. Tapi nasib sebagian penduduk kulit hitam di Afrika Selatan, termasuk di Langa, masih jauh dari kesejahteraan.
DERETAN rumah berdinding kayu tanpa cat dan disusun seadanya serta beratap seng memenuhi kawasan Langa. Menyusuri jalan masuk perkampungan yang belum diaspal, Oscar Nn, 34 tahun, membawa kami. Pemandu itu menunjuk sejumlah gubuk pembuat bir tradisional berbahan sorgum-sejenis gandum-yang dikenal sebagai utshwala. Asap tipis keluar dari gubuk-gubuk tersebut.
Kami masuk ke salah satu rumah yang di dalamnya sudah terisi tujuh laki-laki yang duduk di sofa butut dan kursi plastik. Dua di antaranya tertidur. Mama tua pemilik rumah baru saja selesai memanaskan bir. Dituangnya bir ke dalam ember stainless yang berbentuk seperti kaleng cat. Oscar mempersilakan kami minum. Ember pun berpindah dari mulut ke mulut. Dibanding bir lokal Tanah Air, rasa bir seharga 70 rand atau sekitar Rp 70 ribu seember itu lebih lembut dan tak terlalu pahit. Segar.
Pada masa lalu, utshwala menjadi bagian dari perjuangan penduduk Langa. Pemerintah sempat melarang penjualan bebasnya. Mengendalikan penjualan bir, pemerintah mendirikan aula bir khusus menjual dan minum bir pada 1945. Masyarakat yang menganggap utshwala bagian dari tradisi-digunakan dalam berbagai pesta dan perayaan keagamaan-berunjuk rasa. Aula itu masih ada di salah satu sudut Langa.
Oscar lalu membawa kami ke rumah yang dulu digunakan keluarga kulit hitam pada masa kekelaman. Salah satu rumah dengan tiga kamar dan berlantai semen diisi hingga tiga keluarga yang memiliki 12 anak. Meja makannya berfungsi pula sebagai tempat cuci baju. Kondisi ini agaknya tak jauh berbeda dibanding pada masa apartheid, kala rumah-rumah mungil dihuni banyak keluarga kulit hitam.
"Mereka sepertinya mencoba memadukan wisata sejarah dengan kemiskinan," kata Geraldine Tong, turis asal Kuala Lumpur, Malaysia. Sang pemandu membenarkan. Menurut Oscar, sebagian dari duit yang kami bayarkan ke pengelola tur akan diberikan kepada keluarga miskin di Langa. Pantas saja, meski kawasannya begitu kumuh, penduduk setempat tak mengusik para turis yang bahkan masuk ke kamar pribadi, seperti saat kami masuk ke salah satu ruangan yang penghuninya masih berselimut.
Prinsip yang sama agaknya diterapkan untuk pendidikan anak-anak kampung miskin. Di Dalukhanyo Pre-School, anak-anak langsung bernyanyi saat lebih dari 20 turis berkunjung. Beberapa di antaranya bahkan menari serta melompat-lompat sambil mengangkat satu kaki dan berputar-putar. Tak jauh dari pintu masuk, tersedia kotak sumbangan.
Anak-anak di sini sejak kecil disadarkan untuk terus bersekolah. Begini salah satu syair yang mereka nyanyikan: "Ke sekolah, atau tidak jadi apa-apa nanti...." Melalui lagu pula ditanamkan kesadaran soal bahaya kekerasan seksual. "Ini tubuhku... Aku punya hak untuk bilang tidak...." Pumla, 45 tahun, guru sekolah tersebut, mengatakan kekerasan seksual di wilayah itu terbilang cukup tinggi dan biasa dilakukan orang terdekat, seperti paman atau kakak laki-laki. "Setidaknya ada 40 anak di sini yang mengalami kekerasan seksual," kata Pumla.
DI bagian lain kampung yang kami kunjungi, tak sampai sepelemparan batu, bahkan bersebelahan dengan deretan gubuk kayu, terdapat deretan rumah berdinding tebal. Sebagian di antaranya memiliki dua lantai dengan mobil di pekarangan. "Ini Beverly Hills," kata Oscar, mengacu pada kawasan mewah di California, Amerika Serikat.
Menurut Oscar, yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di kawasan itu, sebagian penghuni Beverly Hills adalah penduduk yang "naik kelas". Ada pula para guru dan pegawai negeri. Kebanyakan masih bersaudara dengan penduduk di kawasan kumuh. "Hubungan mereka dengan kami yang tinggal di sini cukup baik. Kami saling mengunjungi jika ada pesta pernikahan atau kelahiran."
Hadirnya rumah-rumah mewah beratap genting tetap tak menutup kondisi kemiskinan di Langa dan Afrika pada umumnya, lebih dari seperempat abad setelah apartheid dihapuskan. Badan Statistik Afrika Selatan mencatat 30,4 juta atau 55,5 persen penduduk Afrika Selatan masih berstatus miskin. Tapi kehadiran rumah mewah yang bertetangga dengan gubuk kayu juga menunjukkan Langa sebagai kota penuh warna.
Beragamnya Langa juga terlihat dari satu rumah di sudut jalan yang ditinggali seorang dukun Afrika bernama Ndaba, 63 tahun. Saat kami melintas, Ndaba tengah membuka "kamar praktik". Lima bangkai burung berparuh panjang dan berbagai bulu serta kulit hewan terikat di pagar besi yang menjadi pintu masuk. Bau apek bercampur anyir darah pun tercium. "Burung-burung itu untuk mengobati bayi yang sakit," kata Ndaba menjelaskan.
Di dalam, berbagai tengkorak hewan, botol-botol berisi cairan berbagai warna, serta boneka zebra yang digantung di langit-langit menyesakkan ruangan. Meskipun di kawasan itu ada sekitar 20 dokter, Ndaba mengaku bisa melayani lebih dari 10 pasien setiap hari. "Saya menjaga tradisi pengobatan di Langa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo