Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYULAP gagasan menjadi kenyataan memang tak semudah melempar angan-angan. Begitu pula yang dialami Philip Beale, 42 tahun. Selama 10 tahun impiannya membuat replika perahu Borobudur mesti disimpan rapat-rapat karena amat sulit diwujudkan. Bukan saja karena diperlukan banyak dana, tapi juga penelitian. Gagasan bekas anggota marinir Inggris ini baru bisa dilaksanakan tahun lalu, sesudah ia bertemu dengan Nick Burningham, 49 tahun, orang Inggris yang pandai merancang perahu tradisional.
Itu pun mereka harus datang ke Pulau Pagerungan Kecil, pulau terpencil yang terletak di Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Pertimbangannya, penduduk di pulau ini, yang kebanyakan keturunan suku Bajo dari Sulawesi, menguasai betul teknik pembuatan perahu tradisional. Di sana, sejak Januari lalu, mereka membuat perahu impiannya, dibantu oleh As'ad Abdullah, 70 tahun, seorang ahli pembuat perahu di pulau itu.
Agar gagasannya mudah dicerna oleh As'ad dan sejumlah tukang perahu di sana, Burningham membuat gambar dan model perahu tersebut. Ternyata hal ini juga tidak gampang karena orang-orang Pagerungan tidak biasa merancang perahu berdasarkan gambar. "Mereka biasa memakai naluri dan kebiasaan saja," kata Burningham. "Karena itulah saya harus memberi tahu mereka bagaimana membuat kapal berdasarkan gambar," tambahnya.
Baik Beale maupun Burningham tidak tahu persis berapa ukuran sebenarnya kapal Borobudur itu. Di relief candi, perahu ini digambar seukuran kurang dari satu meter, tapi tak ada penjelasan berapa skala yang dipakai. Akhirnya, "Kami menebak-nebak saja," kata Burningham. Mereka pun sempat berbeda pendapat. Burningham memperkirakan panjang perahu itu sekitar 15 meter, sementara Beale berkeyakinan 17 meter. As'ad lain lagi, ia menginginkan kapal itu sepanjang 18 meter. Pendapat tukang kapal di Pagerungan inilah yang akhirnya didengar.
Desain perahu itu dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Begitu pula teknik pembuatan dan bahan bakunya. Mereka memakai kayu kesambi (Schleichere oleosa) dan kayu jati (Tectona grandis) untuk bagian bawah kapal. Kayu bungor (Lagerstroemia spciosa), kayu nyamplong (Colophyllum inophyllum), dan kayu kalimpapa atau kayu laban (Vitex gofassus) digunakan untuk dek dan dindingnya. Adapun untuk tiang kapal, mereka menggunakan kayu bintangor (Calophyllum blancoi).
Diakui oleh As'ad Abdullah, tidak gampang mencari berbagai jenis kayu itu, apalagi yang benar-benar tua. Soalnya, "Untuk membuat perahu seperti itu, kayu yang dipakai harus berumur 30 tahun lebih," tutur As'ad. Total kayu yang dihabiskan untuk menyelesaikan perahu Borobudur sekitar 70 meter kubik. Biaya yang dikeluarkan tak kurang dari Rp 250 juta.
Mereka tidak menggunakan paku untuk menyambung kayu. Alasannya, paku logam mudah mengkerut jika terkena air. Sebagai gantinya, mereka menggunakan kayu ulin (Eusideroxylon gwagerri) sebagai pasak. Hanya, mereka sedikit kesulitan untuk mendapatkan dempul alami untuk merapatkan permukaan kayu. Perekat kayu berupa getah damar baru bisa didapatkan setelah mereka mencari ke Surabaya.
Tak kalah sulitnya mencari tali pengikat layar yang biasa dipakai nelayan tempo dulu. Dulu orang biasa memakai tali dari sabuk kelapa dan ijuk. Tapi pada zaman sekarang para nelayan sudah tidak memakai lagi tali semacam ini. Untuk mendapatkan tali sabut kelapa, Abdul Rauf, salah seorang putra As'ad, harus mencari sampai daerah Muncar, Banyuwangi.
Kain layarnya? Sejatinya Burningham menginginkan layar kapalnya terbuat dari kain kalorok, yang biasa dipakai para nelayan Bugis. Tapi sekarang kain semacam ini susah dicari. Akhirnya, mereka memutuskan layar dibuat dari kain blacu ditambah plastik. "Warnanya cokelat muda, persis seperti warna baju Pramuka," kata Burningham sambil tersenyum.
Dengan segala kepelikannya, akhirnya perahu itu rampung pada akhir Mei lalu. Ukurannya, panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter, dan tinggi 2,25 meter. Perahu ini terdiri dari dua bagian: bagian perut dan atas kapal. Bagian perut berisi tempat tidur, peralatan navigasi, dan tempat makanan. Adapun bagian atasnya berisi tiga buah tiang layar, masing-masing setinggi 10 meter dan 7 meter, dan 5 meter. Di bagian kanan dan kiri badan perahu, ada dua buah cadik, masing-masing sepanjang 10 meter. Cadik itu terbuat dari dua bambu yang dirangkai menjadi satu. "Kami sengaja memilih bambu karena ringan dan bisa mengambang," kata Burningham.
Selama ekspedisi, perahu itu sepenuhnya mengandalkan layar sebagai penggeraknya. Meski begitu, Burningham menyiapkan dua mesin tempel yang masing-masing berkekuatan 22 PK di sisi kiri dan kanan perahu. Mesin ini hanya dipakai saat keluar dan masuk pelabuhan, ketika layar tidak bisa diandalkan.
Yang pasti, Burningham telah berusaha maksimal agar perahu itu benar-benar mirip perahu pada abad ke-8, yang kini terpahat di Candi Borobudur. Tujuannya agar replika ini seindah dan secantik aslinya. Itu sebabnya perahu bikinan Pagerungan itu tidak dicat. Jadi, warnanya tetap cokelat, persis seperti warna kayu yang dipakai sebagai bahannya. Soalnya, tutur Burningham, "Perahu zaman dulu juga tidak dicat."
Rian Suryalibrata, Mahbub Djunaidy (Banyuwangi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo