Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nenek Moyangku Pedagang Rempah

Berabad-abad orang Indonesia menguasai jalur laut perdagangan rempah hingga ke Afrika. "Jalur kayu manis" pun dikenang ulang.

17 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH ekspedisi kapal Borobudur mampu berlayar hingga ke Ghana di Afrika Barat, seperti para nenek moyang kita dahulu? Kita lihat saja. Kapal berukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter, dengan tiang layar setinggi sekitar 18 meter ini akan menempuh rute Jakarta-Maldives-Cape Town (Afrika Selatan)-Ghana sejauh 27.750 kilometer. Jarak itu berarti hampir separuh keliling bumi! Mereka ingin merasakan dan membuktikan keberanian nenek moyang kita pada zaman baheula yang dengan gagah berani mengarungi samudra hingga ke Afrika. Masih ingat senandung "Nenek moyangku orang pelaut…"? Ketangguhan mengarungi samudra luas dengan perahu kecil, menurut Ayatrohaedi, arkeolog dari Universitas Indonesia, karena masyarakat Nusantara terbiasa hidup di pinggir sungai dan laut, dan transportasi air adalah kesehariannya. Bahkan, dalam satu prasasti Kerajaan Sriwijaya, pasukan yang berasal dari Jambi atau Riau hanya menggunakan perahu untuk mengangkut 20 ribu anggota pasukan. Hanya sekitar 1.200 prajurit yang menjemput ekspedisi darat untuk memerangi Sriwijaya. Kapal yang digunakan bernapak tilas itu dibuat dengan merujuk relief pada dinding Candi Borobudur. Banyak orang meyakini bahwa relief kapal di candi ternama tersebut adalah gambaran perahu yang digunakan pedagang-pedagang Indonesia menyeberangi samudra hingga ke Afrika. Menurut J. Innes Miller (The Spice Trade of the Roman Empire), kapal-kapal orang Jawa pada abad ke-8 dilengkapi dengan cadik seperti yang terpahat di dinding candi di Jawa Tengah itu. Kapal ini akan menyusuri rute kenangan. Disebut the cinnamon route, rute inilah yang mengantarkan pedagang Indonesia hingga ke Afrika untuk menjual rempah-rempah, termasuk kayu manis, yang laris saat itu. Kayu manis adalah komoditas yang sangat laku di kawasan Laut Tengah, jauh sebelum tahun-tahun Masehi. Informasi ini bisa dilacak di galeri Mesir di Royal Ontario Museum, Amerika Serikat. Dipajang di tembok kuil Deir el-Bahri, lukisan itu menggambarkan ekspedisi kapal besar yang disebut diprakarsai oleh Ratu Hatshepsut, pemegang kekuasaan dari 1503 hingga 1482 sebelum Masehi. Di bawah lukisan tersebut terdapat huruf hieroglif yang menerangkan bahwa kapal itu membawa berbagai jenis tanaman dan bahan wewangian untuk pemujaan. Salah satu di antaranya kayu manis. Komoditas impor yang kaya aroma ini menjadi bagian penting dalam upacara di kerajaan di Mesir. Dalam teks Exilic Hebrew (abad ke-7 sebelum Masehi) dan Theophrastus (372-288 sebelum Masehi), kayu manis disebut sebagai "bapak tanaman" karena menjadi bahan utama pewangi atau campuran wewangian. Pada masa kekuasaan Roma di Mesir, kulit kayu yang kemerah-merahan atau cokelat kekuning-kuningan ini juga dipakai sebagai bahan campuran pembalsaman mayat. Ditengarai oleh Miller, kayu manis mula-mula tumbuh di Asia Tenggara, di timur Himalaya, dan utara Vietnam. Dari tempat-tempat tersebut, orang Cina Selatan menanam dan mengembangkan tanaman yang disebutnya gui itu di negeri asal mereka. Dari Cina Selatan, gui menyebar ke Jawa dan seluruh Indonesia dan mendapatkan tempat tumbuh yang subur, terutama di Maluku. Hasil budi daya ini diekspor hingga ke Afrika. Bahkan perdagangan kayu manis internasional dikuasai dan dimonopoli oleh para pedagang Indonesia. Kayu manis Indonesia disukai karena dikenal berkualitas bagus dengan harga yang bersaing. Rempah lain yang diperdagangkan di antaranya cengkeh. Cengkeh kering yang kuncup bunganya tak terbuka dianggap paling baik. Cengkeh diperebutkan banyak pedagang asing karena beragam kegunaannya, seperti untuk ramuan obat, penyedap masakan, dan (minyaknya) untuk bahan parfum. Selain memproduksi, orang Indonesia mengapalkan sendiri rempah-rempah dengan perahu atau kapal kecil. Mereka berlayar menempuh jarak hingga 4.500 mil melintasi Samudra Hindia menuju Pulau Madagaskar hingga ke timur laut Afrika. Dari Madagaskar, rempah-rempah selanjutnya diangkut ke Rhapta, kawasan pantai yang kemudian disebut Somalia. Lebih jauh, para pedagang Arab mengirim rempah-rempah Indonesia itu ke utara hingga mencapai Laut Merah. Di tangan pedagang Arab, asal-usul kayu manis disimpan rapat layaknya dokumen rahasia negara. Tujuannya jelas, demi memonopoli komoditas ini. Bahkan, menurut Herodotus (484-424 sebelum Masehi), orang Arab memelintir asal-usul kayu manis sebagai komoditas yang tumbuh di antara batu cadas berkapur di Etiopia dan rawa-rawa di Sudan. Asal-muasal kayu manis juga dimunculkan, sama misteriusnya, dalam tulisan Pliny the Elder (23/24-79 sebelum Masehi). Disebutkannya, orang Etiopia membelinya dari pedagang tertentu di negara tetangga dan membawa pulang ke negerinya. Pliny mungkin sangat kagum kepada para pelaut-pedagang Indonesia. Dikatakan, mereka melintasi lautan dengan perahu-perahu "tanpa kemudi" dan "tanpa dayung". Mungkin maksudnya lebih mengandalkan layar dan angin untuk membawa mereka ke tempat tujuan. Dikatakan pula, "hanya" bermodalkan semangat dan keberanian, mereka masuk ke wilayah-wilayah bermusim dingin dari balik matahari tropis. Angin timur menerpa mereka dengan kencang dan mengantarkan mereka dari teluk ke teluk. Di tempat tujuan, mereka menukarkan mata dagangannya dengan barang pecah belah, perak, pakaian, dan perhiasan (bros, gelang, dan kalung). Keberanian dan ketangguhan itu mereka buktikan jauh sebelum Columbus menyeberangi Samudra Atlantik dan menemukan benua baru Amerika pada 1492. Atau Vasco da Gama pada 1498 yang mulai menjelajahi dunia Timur dengan panji-panji Jus Patronatus yang dikeluarkan Takhta Suci pada 4 Mei 1493. Para pelaut Indonesia biasa menggunakan perahu yang tak bisa dikatakan besar. Sebagai penyeimbang, mereka memakai cadik, baik yang ganda (ngalawa) maupun yang tunggal. Perahu yang lambungnya dibuat dari satu gelondongan kayu disebut sanggara. Bahkan kapal-kapal bercadik tunggal tak hanya digunakan untuk pelayaran antarpulau di Indonesia, tapi juga untuk berlayar ke India dan Madagaskar. Dalam pelayarannya ke timur, para pedagang-pelaut Nusantara di zaman bahari bisa mencapai Hawaii dan Selandia Baru, yang berjarak lebih dari 4.000 mil. Dalam mengarungi Samudra Hindia, mereka menempuh jarak 4.500 mil. Menurut Ayatrohaedi, juga, mereka berlayar tanpa dayung dan hanya mengandalkan layar. Untuk manuver ke kiri atau ke kanan, awak kapal bergelantungan mengendalikan haluan dan mengarahkan tujuan perahu. Kehebatan orang Indonesia mengarungi samudra dan memonopoli jalur perdagangan laut itu mulai tersaingi kala bangsa Eropa mulai mencari sendiri rempah-rempah langsung ke sumbernya. Awal kehancuran pelaut Nusantara datang ketika armada laut Portugis pimpinan Affonso d'Albuquerque, yang lebih canggih dan lengkap persenjataannya, merebut bandar Malaka pada 1511. Akibatnya, pelaut-pedagang Indonesia tak lagi bisa berlayar bebas karena terancam kapal-kapal besar Portugis yang melontarkan bola-bola api panas dari mulut meriam. Malaka jatuh, Kongso Dalbo—lafal lidah Jawa untuk Affonso d'Albuquerque—makin masuk ke timur dan akhirnya menyentuh pusat rempah-rempah di Maluku. Para pedagang kulit putih dari Eropa pun mulai menguasai perdagangan rempah-rempah dunia. Masa kejayaan pelaut dan pedagang Indonesia pun tinggal kenangan manis. Kini ekspedisi kapal Borobudur pun mencoba menapaktilasi bukti keberanian dan ketangguhan pelaut-pedagang Indonesia yang "Gemar mengarung luas samudra. Menerjang ombak tiada takut. Menempuh badai sudah biasa…." Semoga tidak tenggelam dalam nostalgia dan lupa pada dunia nyata Indonesia yang sedang megap-megap. Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus