Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Biara Seratus Yuan

Kuil Shaolin menjelma jadi kawasan wisata. Biksu kepala sibuk menerima tamu VIP.

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMPAT terpikir salah jurusan saat turun dari mobil yang mengantar saya dari Dengfeng, Provinsi Henan, Cina, Mei lalu. Bukan apa-apa, tulisan yang terpampang adalah "Monumen Pusat Area Wisata Gunung Song". Padahal tujuan saya ke kuil Shaolin. Kekhawatiran itu sirna setelah melihat tulisan lain: "Kuil Shaolin Gunung Song".

Buang jauh-jauh gambaran film kungfu, melihat ratusan biksu bergerak serempak melancarkan jurus naga. Tak ada kuali panas tempat David Carradine membuat tato naga dan harimau di lengannya, seperti dalam serial televisi Kung Fu. Di setiap sudut, yang ada hanya turis dan turis.

"Seratus yuan," ujar perempuan di loket tiket di pintu masuk kawasan. Nilai itu setara dengan Rp 150 ribu. Belum sempat dompet bersarang di saku, pengunjung kembali dihadang pungutan. Kali ini kocek berkurang Rp 15 ribu untuk menumpang mobil listrik sejauh 3 kilometer menuju kuil. Di sudut loket, mejeng papan berlambang palu-arit bertulisan: "Saya Anggota Partai Komunis, Silakan Sampaikan Kebutuhan Anda".

Mobil bergerak meninggalkan deretan toko suvenir yang menjual cincin dan kalung giok dengan nama kuil berusia 15 abad tersebut. Ada juga kartu pos Mao Tse Tung, pemimpin Partai Komunis Cina yang melancarkan Revolusi Kebudayaan pada 1966 dan menangkapi biarawan Shaolin.

Shaolin jadi komersial? Juru bicara kuil, Wang Yumin, tak membantah. "Semua biksu kami hidup hanya dari dua sumber: uang tiket dan sumbangan turis," katanya. Pengunjung, yang biasanya juga bersembahyang di enam vihara di sana, disodori kotak-kotak amal.

Wang mengatakan Shaolin pada masa kekaisaran hidup dari sumbangan peziarah dan bertani. Di era Dinasti Tang, 618-906, mereka tercatat memiliki 4.500 bidang tanah. Jumlahnya naik-turun seiring dengan waktu. Namun, setelah Mao meluncurkan Reformasi Lahan, Shaolin boleh dikata tak memiliki tanah untuk bertanam.

Membaiknya hubungan dengan pemerintah sejak era Deng Xiaoping pada 1980-an membawa perubahan. Pemerintah membangun infrastruktur guna menarik lebih banyak pengunjung. Di setiap musim panas, tercatat sedikitnya sepuluh ribu turis berkunjung. Artinya, dalam tiga bulan mereka bisa menyedot sekitar Rp 1,5 miliar. "Pembagiannya, 30 persen untuk biara, 70 persen untuk pemerintah," kata Wang.

Pundi-pundi kuil bertambah gemuk lewat pertunjukan. Andalan mereka adalah Zen Shaolin Music Ritual, yang sudah dipentaskan lebih seribu kali sejak penampilan pertama pada Mei 2007. Teater musikal ini merupakan kolaborasi para biksu dengan seniman. Dalam satu setengah jam, ratusan pelakon menceritakan kehidupan biksu selama satu tahun mengarungi empat musim dan tantangan alam. Kekuatan pentas tanpa dialog itu berada di tata panggung, lampu, musik, dan seni geraknya.

Ada barang tentu harus ada uang. Tiket kelas kambing harganya Rp 168 ribu. Pemilik rabun jauh jangan harap bisa melihat lakon dari sana. Untuk bisa duduk di kelas terbaik, kudu keluar Rp 1,5 juta. Toh, pengunjung puas. "Mereka benar-benar mempersiapkan pertunjukan ini dengan baik," ujar Tom, asal Amerika Serikat.

Meski turis datang tanpa henti, masyarakat sekitar kuil tak ikut kecipratan rezeki. Jiao, pedagang kelontong di samping Hotel Nongjia, mengaku amsyong. Padahal kiosnya cuma berjarak 500 meter dari pintu masuk kuil. Dia pernah berdagang di kawasan kuil, tapi langsung diusir. "Dikira mau bikin kotor," ujar pria 64 tahun itu. Niatnya membuka toko di kawasan kuil terbentur kutipan Rp 7,5 juta per bulan.

Semakin populernya Shaolin membuat warganya supersibuk. Sejak Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung pada Maret 2006, pejabat berbagai negara silih berganti menyambangi Gunung Song. Saat para biksu muda bertugas menemani turis, biksu kepala Shi Yongxin, 47 tahun, hilir-mudik di berbagai forum internasional. Kalaupun berada di kuil, dia sibuk menerima tamu VIP. "Selamat Datang di Area Wisata."

Reza Maulana, Mahardika Hadi (Dengfeng)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus