Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Shaolin di Gunung Songshan

Kuil Shaolin berdiri tegak sejak abad V. Sejarah panjangnya memperkaya dunia seni bela diri. Tempo menyambangi tempat yang dianggap kiblat kungfu itu di Kota Dengfeng, Provinsi Henan, Cina. Majalah ini juga menelusuri peninggalan Louw Djing Tie, pendekar Shaolin yang hijrah dan wafat di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.

8 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI musim panas Cina sedang jemawa. Jam baru menunjukkan pukul 10 di Pegunungan Songshan, pinggiran Kota Dengfeng, Cina bagian tengah, tapi suhu sudah menggapai 32 derajat Celsius—setara dengan Jakarta pada siang bolong. Namun hawa beringsang itu tak sanggup menembus dinding tebal plus barisan cemara dan ginkgo biloba yang memagari kuil Shaolin. Di sana angin sejuk rajin bertiup, seperti di kawasan Puncak, Jawa Barat.

Di salah satu pelataran kuil Shaolin Songshan di Provinsi Henan ini, Shi Yanxin tampak menjejakkan kedua kakinya membentuk kuda-kuda. Tangan kanannya mengepal ke depan. Sorot matanya tajam. Mengenakan kasaya—jubah yang dikenakan setiap biksu penghuni Shaolin—abu-abu, pria berkepala plontos itu lincah meperagakan xin i pa, jurus kungfu untuk menguatkan bagian bawah tubuh. Ia juga memamerkan gerakan jari pada jurus totok.

"Jurus ini bisa untuk membunuh orang," kata Yanxin, 25 tahun, salah seorang biksu, saat ditemui pada Mei lalu. Ia ditempa di kuil Shaolin itu sejak 20 tahun lalu, saat anak-anak di Indonesia seusianya masuk taman kanak-kanak tingkat nol besar. "Saya ingin belajar agama Buddha di kuil ini," ujarnya.

Pria asal Kota Tangshan, Provinsi Hebei, dekat Beijing ini, juga 500 biksu lain yang menghuni kuil umat Buddha itu, adalah generasi mutakhir dari para pendekar Shaolin di kuil Songshan yang memiliki sejarah amat panjang. Juru bicara kuil, Wang Yumin, mengatakan Shaolin didirikan pada 495 Masehi oleh Batuo, biksu dari India yang hendak menyebarkan ajaran Buddha di Cina. Nama resminya Shaolinsi. Shao berasal dari Gunung Shaoshi, Lin berarti hutan, dan Si sama dengan Kuil. "Kuil di hutan Gunung Shaoshi," kata Wang.

Butuh waktu hampir tiga jam dengan bus, disambung mobil omprengan dari Zhenzhou—ibu kota Provinsi Henan—untuk mencapai lokasi dataran tinggi ini. Di kompleks Shaolin ini ada tujuh aula utama tempat sembahyang di bagian tengah dan dikelilingi bangunan pendukung seperti asrama dan ruang makan. Dengan panjang 360 meter dan lebar 160 meter, luas totalnya 57.600 meter persegi. Kompleks ini masuk Warisan Budaya Dunia UNESCO sejak 2010. Shaolin jadi tempat tinggal lebih dari 500 biksu—50 di antaranya perempuan—dengan rentang umur 17 sampai 80 tahun. Ada juga puluhan anak yang tinggal di sana untuk belajar agama dan kungfu. Mereka dipimpin biksu kepala Shi Yongxin, 47 tahun.

Kehidupan di kuil serba teratur. Warga Shaolin memulai hari saban pukul empat untuk merapal doa dan meditasi. Pukul lima, mereka menuju arena latihan di Gunung Songshan di belakang biara. Setelah berlatih sekitar dua jam, mereka kembali mempersiapkan perlengkapan kuil, seperti menambah minyak lilin dan menyalakan dupa, sebelum membuka gerbang bagi peziarah pada pukul delapan. Mereka bergiliran piket menemani peziarah dan turis. Yang tak mendapat giliran boleh kembali ke kegiatan kesukaannya: meditasi, membaca kitab Buddha, atau berlatih kungfu. Seorang guru—dipanggil Laotse atau Shifu—membimbing 2-3 murid atau Tudi. "Seperti satu keluarga kecil," kata Wang.

Tamu tak diperkenankan melihat latihan kungfu. Namun seorang biksu muda memberi sedikit bocoran. Lokasi latihan Gunung Songshan berada di Damo Dong, gua tempat Bodhidharma—biarawan dari India—bermeditasi selama sembilan tahun pada 527 Masehi. Jaraknya, ujar Shi Yanxin, sepuluh menit berlari bagi biksu terlatih. "Tapi orang awam butuh dua jam berjalan," katanya. Entah dia lebay atau para biksu itu betul-betul cekatan. Tapi mungkin lebih mendekati pilihan kedua, karena dia sudah mendapat panggilan "Shi", sebutan yang disematkan pada semua biksu di Cina, mungkin setara dengan ustad di Indonesia.

Yanxin mengatakan tempat latihan bergeser ke luar kuil karena semakin banyaknya pengunjung Shaolin. Sebelumnya, mereka berlatih di dalam kuil. Ada aula yang lantai batunya legok di sana-sini akibat para pendekar tersebut melatih kekuatan kuda-kudanya dengan mengentak bumi. "Korban" lain adalah pohon. Hampir setiap pohon di sana memiliki lubang bekas hunjaman jari biksu yang berlatih jurus totokan.

Totokan alias Yi Zhi Chan merupakan satu jurus populer Shaolin. Yoko, yang diperankan Andy Lau, dalam serial televisi The Legend of the Condor Heroes, kerap menggunakan jurus ini. Kemampuan menghentikan aliran darah dengan jari telunjuk dan tengah tersebut memiliki dua kegunaan: membuat musuh tidak bisa bergerak dan pengobatan luka dalam. "Jurus ini bisa mematikan," kata Yanxin, yang membutuhkan sepuluh tahun untuk menguasai ilmu totok.

Jurus lain yang tak kalah ngetop adalah Tinju Mabuk, Zui Quan. Jackie Chan secara kocak membuatnya mendunia lewat film Drunken Master pada 1978. Jurus ini meniru gerakan orang mabuk, memanfaatkan gerakan mengayun dan berat tubuh. Yanxin, yang butuh satu setengah tahun untuk menguasainya, mengatakan jurus ini diciptakan di era Dinasti Chang (618-906), saat Kaisar Li Yuan mempersilakan biksu untuk mabuk. Namun, setelah era itu, biksu kembali haram menyentuh alkohol. "Jadi tidak mabuk betulan seperti dalam film," katanya.

Buku Panduan Quan—dipegang secara turun-temurun oleh 86 biksu kepala—memuat ratusan jurus kungfu. Sebanyak 72 di antaranya murni berasal dari Shaolin, termasuk Chikung. Secara sederhana, Chikung merupakan ilmu mengolah energi alias chi di dalam tubuh. Lewat latihan bertahun-tahun, seseorang bisa menguasai gerakan dan pernapasan yang mengalirkan chi, yang bersarang di sekitar perut, ke bagian lain di tubuh dan membuatnya sekeras baja. Tangan, kaki, bahkan kepala bisa laksana godam yang sekali hantam membikin kayu dan batu berserakan.

Chi, yang dilihat lewat detektor panas tubuh, dikombinasikan dengan penguatan fisik. Caranya macam-macam, seperti memukuli kepala dan membenturkannya ke sansak dua jam sehari selama dua tahun untuk menguatkan tengkorak. Leher juga bisa dilatih dengan latihan headstand satu jam sehari sepanjang tahun. Leher yang terlatih jadi modal untuk menguasai ilmu Leher Besi. Dengan ilmu itu, seseorang bisa tetap bernapas dalam posisi leher tergantung layaknya terpidana mati.

Dalam proses belajar, cedera selalu menghadang. "Jadi perlu disediakan obat sendiri," ujar Luowei, biksu cilik di apotek yang terletak di sisi barat kuil. Lemari kayu dengan laci-laci kecil berisi ramuan memenuhi ruangan itu. Kebanyakan untuk menyembuhkan memar dan patah tulang. Menurut dia, pengobatan Shaolin terkenal sejak zaman Dinasti Yuan, membentang delapan abad sampai sekarang. Selain berjualan obat, ruangan dengan plang Shaolin Pharmacy Bureau itu menawarkan suvenir, mulai kaus, tas selempang, sampai kasur gulung bertulisan Shaolin. Di segala sudut tersempil kamera televisi.

Kemegahan bangunan kompleks tersebut tak seawet namanya. Kuil Shaolin berulang kali hancur dan dibangun kembali. Menurut Wang, sejak awal berdiri, mereka selalu propemerintah. Sikap ini sering menjadikan mereka sasaran pemberontak. Kehancuran pertama tercatat pada abad XIV. Tentara Sorban Merah mendesak biarawan keluar dari kuil dan menjarahnya. Kuil ditelantarkan pada 1356-1359, saat pasukan Dinasti Yuan kembali menguasai Henan. Pertempuran kembali berkobar pada 1641, saat pemberontak mencoba menggulingkan Dinasti Ming. Shaolin runtuh dan baru dibangun kembali pada awal abad XVIII, ketika dinasti Qing berkuasa.

Namun Dinasti Qing pula yang membawa kehancuran paling hebat bagi Shaolin. Pemerintah menganggap Shaolin mendukung gerakan anti-dinasti, dan membumihanguskan mereka pada 1647. Para biksu berpencar dan memunculkan legenda "Lima Tetua", biarawan Shaolin yang mengembara dan menyebarkan kungfu ke seantero Cina. Jejak Shaolin juga tertapak di Indonesia pada awal 1900-an melalui pendekar Louw Djing Tie (baca "Sepenggal Shaolin di Tanah Jawa").

Pada 1928, Jenderal Kuomintang, Shi Yousan, membakar kuil dan menghanguskan 90 persen dokumen Shaolin. Terakhir, Mao Tse Tung melancarkan Revolusi Kebudayaan pada 1966 dan memberangus simbol-simbol agama, termasuk memenjarakan lima biksu yang saat itu menjaga Shaolin.

Hubungan dengan pemerintah membaik setelah Presiden Deng Xiaoping menerapkan Politik Pintu Terbuka. Shaolin sepenuhnya kembali milik biksu sejak 1987. Pada tahun yang sama, biksu kepala Shi Xingzheng meninggal. Pengganti sementaranya, Shi Yongxin, kerap hadir di acara pemerintah. Pada 1993, dia ditunjuk sebagai Komite Konsultan Politik Henan dan mewakili provinsi itu dalam Kongres Rakyat Nasional 1998. Setahun kemudian Xingzheng dikukuhkan sebagai biksu kepala. "Kami mematuhi pemerintah, seperti rakyat biasa yang melakukan aktivitas keagamaan," kata Wang.

Kehancuran membawa berkah. Meski "Lima Tetua" cuma fiksi, menyebarnya jago-jago Shaolin membuat dunia persilatan semakin kaya. Karate, yang muncul di Pulau Ryukyu, Okinawa, Jepang, diyakini merupakan perpaduan kungfu Shaolin dan bela diri lokal. Wing Chun, sebuah aliran kungfu populer, juga berinduk pada Shaolin. Seperti diceritakan guru besar Yip Kai Man dan dikutip situs Kwok Wing Chun, bela diri ini bermula dari kisah seorang perempuan muda yang menolak lamaran tuan tanah. Perempuan itu hanya mau menikahinya jika si tuan tanah memenangi duel. Si gadis lalu berguru pada Ng Mui, pendeta Shaolin yang mengembara setelah kuilnya dimusnahkan Dinasti Qing. Sang guru mengajarkan gerakan ular dan bangau kepadanya, sehingga berhasil mengalahkan si tuan tanah. Aliran baru itu dinamakan sesuai dengan nama si perempuan, Yim Wing Chun. Yip Kai Man alias Ip Man meninggal pada 1972. Dia guru aktor laga legendaris Bruce Lee.

Shaolin memang cuma satu. Namun, dari sudut hutan di Gunung Shaoshi tersebut, mereka mencuat jadi sumber inspirasi, dari Bruce Lee, Jackie Chan, Sammo Hung, Jet Li, sampai Lei Wulong, pemilik jurus dewa mabuk di game pertarungan Tekken. Dunia laga jadi lebih hidup berkat mereka.

Reza Maulana, Mahardika Satria Hadi (Dengfeng)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus