Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM panen raya tiba. Seperti di daerah lain penghasil tembakau, Parakan, Temanggung—kota di kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah, 120 kilometer barat laut Yogyakarta—menjelma jadi bandar yang sibuk. Mulai petani yang memanen; kuli yang merajang, menjemur, dan mengangkut; sampai juragan yang menghitung laba.
Tidak ketinggalan rumah di Jalan Demangan 16. Puluhan keranjang Nicotiana tabacum—memuat paling sedikit 50 kilogram dengan harga sekitar Rp 150 ribu per kilogram—membuat rumah 2.000 meter persegi itu mirip gudang. Cuma ucapan Louw Djing Tie membuat sang pemilik rumah, Hoo Tien Yong, berpaling dari bisnis ratusan juta tersebut.
Louw Djing Tie adalah legenda seperti si Pitung di Jakarta. Berbekal kungfu dari Shaolin, Djing Tie menolong banyak orang miskin yang ditindas di beberapa kota di Jawa Tengah. "Dia pernah tinggal di sini," ujar Tien Yong kepada Tempo, pertengahan bulan lalu.
Kisah Djing Tie pertama kali ditulis oleh Tjiu Khing Soei dengan judul Garuda Mas dari Cabang Siauw Lim, terbitan Semarang, pada akhir 1920-an. Menurut Tien Yong, penulisnya adalah tetangga Djing Tie. Cerita itu ditulis ulang menjadi Dua Jago Silat di Java pada 1935 dan diterbitkan ulang oleh Gramedia dalam Kesastraan Melayu Tionghoa Jilid 5, April 2002.
Djing Tie lahir di Kampung Khee Thao Kee dekat Kota Hayting, Hokkian, Cina, sekitar 1855. Karena sejak kecil anak yatim piatu ini doyan adu jotos, sang abang mengirimnya ke kuil Shaolin. Seperti murid lain, pada tahun pertama, kerjanya hanya mengambil air di gunung dengan dua ember untuk memperkuat otot-ototnya. Djing Tie menghabiskan enam tahun masa remajanya di Shaolin. Dia kembali ke kampungnya dengan mengantongi keahlian silat, tenaga dalam, dan ilmu pengobatan.
Minatnya pada kungfu tak pernah surut. Sang cempiang melanjutkan menuntut ilmu dari Biauw Tjien, pendeta tua yang juga alumnus Shaolin. Dari guru tersebut, Djing Tie mendapat ilmu yang bisa menjadikan barang di sekitar sebagai senjata, mulai melempar uang logam dan jangka, meniup jarum dan kacang hijau hingga menancap di tembok, sampai tipu muslihat dengan selendang pengikat pinggang. "Kalau dilempar, orang seperti melihat ular," kata Tien Yong, 62 tahun. Di guru berikutnya, Kang Too Soe, dia melengkapi kepandaiannya dengan ilmu tiup, sedot, dan totok.
Setelah 15 tahun keluar-masuk padepokan, Djing Tie muda mencari penghidupan di Hok Ciu, ibu kota Hokkian. Kebetulan pemerintah mencari guru silat sebagai pelatih pasukan. Syaratnya, mampu mengalahkan jawara mereka. Tujuh orang terpental dari arena sebelum kawan Djing Tie, Liem Wan, maju. Liem Wan juga terdesak sehingga berniat melancarkan jurus terlarang, yang membuat pemiliknya kehilangan nyawa jika jurus itu meleset. Melihat sang jawara gesit menghindar, Djing Tie membuat keputusan yang mengubah hidupnya: dia masuk arena dan menendang kemaluan lawan. Sang jawara tewas. Sejak itu, hidupnya berubah jadi buron.
Duo pelarian itu ngacir ke selatan. Setelah singgah di Singapura—Liem Wan menetap di sana—Djing Tie meneruskan pelarian ke Batavia dan bekerja sebagai pedagang barang keliling di Toko Tiga, Glodok, Jakarta Barat. Kantong yang kempis membuatnya terus mencari kehidupan yang lebih baik. Dia hijrah ke Semarang, Kendal, dan Ambarawa. Semua dengan menumpang dari satu kenalan ke kenalan lain. Di Ambarawa, Djing Tie membuka perguruan silat secara diam-diam karena larangan ilmu bela diri dari pemerintah Hindia Belanda.
Djing Tie memberi pelajaran kepada dua serdadu mabuk yang mengobrak-abrik warung makan. Dia menarik lengan mereka seenteng bocah menyeret Barbie. "Nah, pulang saca, sekalang suta (pulang saja, sekarang sudah) malam," kata Djing Tie dalam Dua Jago Silat. Keesokannya, perusuh itu mengajak konconya untuk membalas. Namun 15 serdadu bergolok pun bukan lawan Djing Tie, yang hanya mengandalkan kepalan dan kepangan rambut yang berfungsi jadi cemeti.
Saat mengunjungi kenalan di Semarang, Djing Tie kembali beraksi. Wan Tjok Djwan, hartawan yang tinggal di Pedamaran, mengincar putri seorang tukang mi. Karena ditolak, dia memfitnah tukang mi itu sebagai pengedar uang palsu sehingga masuk penjara. Djing Tie menyelinap ke kamar tidur orang kaya tersebut, dan, dengan ilmu jantur, dia membuat wayang potehi bergerak dan menakuti orang itu. Djing Tie menulis pesan di surat supaya Tjok Djwan tak mengganggu keluarga tukang mi dan mengambil Rp 400 untuk menembus terfitnah dari penjara. Si juragan tamak kapok.
Dari Ambarawa, dia pindah ke Wonosobo, terus ke Parakan, kota kecamatan yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya orang Tionghoa. Di sini dia tinggal di Jalan Demangan 16 dan membuka perguruan Garuda Mas. Pada 1905, The Hoay Hien, muridnya, bentrok dengan 30 serdadu yang hendak mengeroyok seorang Belanda. Hoay Hien bertahan selama 20 menit tanpa terluka, sebelum para pengeroyok dibubarkan komandannya. Kejadian ini ditulis di harian Warna-Warni, yang terbit di Semarang. Nama lain yang tercatat sebagai murid Djing Tie ialah Hoo Liep Poen, saudagar warung makan, yang memberinya tempat tinggal. Tien Yong adalah cucu Liep Poen.
Mata sayu Tien Yong menerawang ke pekarangan seluas 300 meter persegi yang tertutup tembok dua meter itu. "Di sini Djing Tie melatih belasan muridnya," katanya. Palang besi tempat menggantung sansak masih berdiri tegak. Di balik pintu utama—yang dihias Liep Poen dengan tulisan Mandarin yang berarti Burung Merak—tersimpan sederet senjata. Ada golok, tombak, trisula, dan toya. Semua peninggalan pendekar Shaolin tersebut. Di ruang tengah, terpampang lukisan wajah sang guru, berukuran 40 x 30 sentimeter.
Tien Yong menguasai secuil ilmu Djing Tie. Sore itu dia memperagakan dua jurus dasar, Thai Tjo (Kepalan) dan Tat Tjoen (Tangan Terbuka). Menurut dia, gerakan kungfu Shaolin sederhana dan tidak indah. "Tidak seperti di film action," ujarnya. Kaki selalu menapak di tanah dengan kekuatan bertumpu di kaki belakang, supaya mudah menendang dan menghindari sapuan lawan. Saat berdiam di ujung jurus, saya gagal menggoyahkan tangan yang sudah berkerut itu.
Kesalahan di arena pertarungan di Hok Ciu menghantui Djing Tie sampai masa senja di Parakan, 4.000 kilometer dari kampung halamannya. Setelah ia ditinggal mati istri pertamanya, janda dari Wonosobo, dua pernikahan berikutnya kelam kabut. Istri kedua main serong dan istri ketiga menderita penyakit jiwa. Perniagaannya pun—terakhir dia menjual ramuan obat Cina— melempem. Dia anggap ini hukuman Tuhan atas kesalahannya di masa lalu. "Meski terbebas dari hukum negeri, masih ada hukum Tuhan," ujarnya.
Djing Tie tidak memiliki keturunan. Menurut Tien Yong, sang guru—yang tidur dalam posisi berdiri bersandar papan untuk memperkuat otot dan kewaspadaan—memiliki ilmu yang membuat kemaluannya bisa disembunyikan saat bertarung. Ilmu itu membuatnya mandul.
Djing Tie meninggal di Parakan pada 1921 dalam usia 66 tahun. Dia dikubur bersama tongkat dan selendang pinggang kesayangannya di Pemakaman Gunung Manden, di pinggir Parakan. Di nisan, terpahat huruf Mandarin yang artinya "Dipersembahkan Untuk Guru Louw Djing Tie, Dibangun Oleh Semua Anak Murid, Meninggal Pada Tahun Kesembilan Kemerdekaan Tiongkok".
Sepeninggal sang guru, Garuda Mas bubar. Liep Poen, meninggal pada 1951, cuma mengajarkan kungfu kepada anak-anaknya. Tien Yong belajar dari pamannya, Hoo Kiong Nio, anak pertama Liep Poen. "Cuma sekadar cari keringat. Seumur hidup saya tak pernah berkelahi," kata Tien Yong.
Selain mengajarkan bela diri, Djing Tie menurunkan ilmu penyembuhan. Tien Yong meneruskan usaha pamannya menjual Jamu Garuda, berupa minyak gosok, parem, dan permen, yang memiliki khasiat mengusir pegal linu dan memar akibat benturan. Foto Djing Tie terpampang di kemasan produk mereka. Sayang, usaha ini tak berkembang. Produksinya kurang dari seratus per bulan. Padahal khasiatnya cespleng, seperti yang Tempo rasakan untuk mengusir pegal.
Serupa ramuan dan kungfunya, cerita tentang Louw Djing Tie seput dimakan zaman. Hampir setiap orang yang Tempo temui di Parakan tak pernah mendengar namanya. "Paling cuma enam dari sepuluh orang di kalangan Tionghoa, itu pun cuma tahu secuil," kata The Han Thong, 58 tahun, pengurus Kelenteng Parakan, yang mengantar Tempo ke makam Djing Tie. Pada 1980-an, pusara itu dipindahkan dari kaki ke puncak bukit, di ketinggian 775 meter, menghadap Gunung Sumbing dan Sindoro. Ndolih, 40 tahun, penjaga makam, mengatakan, sewaktu makam dipindahkan, kerangka dan tongkatnya masih utuh. Di antara rumput setinggi lutut, kami merapal doa di kober yang rompal tersebut. Di puncak Gunung Manden, legenda itu cuma berteman sepi.
Reza Maulana (Parakan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo