LEGENDA 'Perampokan Besar Kereta Api', di dunia Barat, belum
juga selesai. Bermula dari persekongkolan 15 bandit, 18 tahun
lampau, fokus cerita sekarang ini berpusat pada Ronald Biggs,
salah seorang pelaku. Ia selama 16 tahun terakhir ini berhasil
menikmati hidup bebas.
Pertengahan Maret lalu, Biggs diculik dari sebuah restoran di
Rio de Janeiro, Brazilia, dalam sebuah aksi yang berlangsung tak
lebih dari satu menit. Tamu restoran bahkan tak sadar apa yang
terjadi. Mereka hanya melihat dua lelaki kekar' menyelinap
gesit, kemudian berlalu sambil menggotong sesosok tubuh.
Sebuah bis Volkswagen melarikan rombongan kecil itu ke Santos
Dumont, terminal domestik Kota Rio untuk lalu-lintas udara jarak
pendek. Dengan pesawat terbang kecil perjalanan dilanjutkan
menuju Belem, 2000 km sebelah utara Rio. Di kota muara Sungai
Amazon itu sudah menunggu kapal pesiar Howcani II -- siap
berlayar menuju Barbados.
Siapakah Ronald Biggs? "Kisah petualangannya nyaris merupakan
gabungan novel-novel Agatha Christie dan Frederick Forsyth,"
kata Timothy Green, reporter yang dulu meliput peristiwa itu
untuk majalah Life. Green termasuk wartawan beruntung. Ia sempat
mewawancarai Biggs dalam pelariannya di Brazilia.
Kereta api pos London-Glasgow itu disamun di Persimpangan Sears,
sekitar Buckinghamshire, 8 Agustus 1963. Jumlah uang yang
disabet Å“ 2.631.684 -- hampir Rp 4 milyar. Merupakan hasil
rampasan terbesar sepanjang sejarah kejahatan. Kasusnya kemudian
dijuluki The Great Train Robbery -- meminjam judul sebuah film
tahun 1903. Tapi kisah film itu sendiri mungkin kalah menarik
dibanding riwayat Biggs.
"Saya dilahirkan tepat 34 tahun sebelum raid itu -- 8 Agustus
1929," tutur Biggs dari beranda sebuah hotel mewah di Rio de
Janeiro, beberapa tahun silam. Ayahnya bekas koki kereta api.
Sedang ibunya, Biggs cuma mengenangnya sebagai perempuan "yang
memanjakan saya secara luar biasa."
Dibesarkan di Kota Cornwall yang "keras", ia memasuki sekolah
pertukangan namun tak berhasil mentas sebagai orang yang hidup
normal. Ia cenderung menempuh "jalan pintas" terjun dalam
pelbagai kegiatan melanggar hukum dan disiplin.
Biggs mulai keluar-masuk penjara. Tapi rupanya, penjara bagi
lelaki berperawakan dempal itu tak lebih dari sekolah. "Setiap
saat berada di sana anda belajar lebih banyak. Mulai pencolengan
kecil-kecilan sampai pembongkaran toko," katanya sekali tempo.
DALAM salah satu kesempatan masuk penjara pulalah Biggs berjumpa
dengan seorang bekas tukang sortir kantor pos. Narapidana ini
bercerita tentang kereta api tertentu yang mengangkut uang dalam
jumlah besar. Biggs membisikkan hal ini kepada Bruce Reynold,
teman lain. Mereka kebetulan akrab -- tak lain karena sama-sama
pengagum pengarang Ernest Hemingway.
Selesai menjalani hukuman, Bruce merekrut anak buahnya dan
segera beraksi. Antara lain dalam sebuah perampokan besar di
bandar udara London. Biggs, sementara itu, berlagak alim. Ia
membuka usaha pertukangan.
Sepasang suami-istri tua kemudian membutuhkannya untuk memasang
jendela bungalo mereka. Di sini Biggs dibayar layak, bahkan
diperlakukan sebagai anggota keluarga. Maklum: sang suami, Stan,
adalah pensiunan masinis kereta api. Barangkali ada perasaan
"satu korp" dengan ayah Biggs yang juga orang kereta api.
Dalam pada itu Bruce Reynold menerima informasi aktual tentang
pengiriman sejumlah besar uang lewat kereta api pos -- yang dulu
mereka dengar di penjara. Ia segera berpikir. Kereta itu tak
mungkin dirompak di stasiun. Harus distop di tengah perjalanan,
kemudian digerakkan ke 'terminal' tertentu, sebelum diganyang.
Untuk pekerjaan besar ini dibutuhkan dua tenaga ahli. Seorang
bekas tukang sinyal dan seorang bekas masinis. Tukang sinyal
berhasil mereka peroleh -- seorang anggota sindikat lain di
wilayah selatan London, yang kebetulan memang mengambil
spesialisasi perampokan kereta api. Iseng-iseng, suatu hari
Bruce membawa istrinya bertamu ke rumah Biggs.
Sambil meneguk bir dan menikmati musik jazz, sementara istri
mereka berbincang di kebun, Bruce membeberkan rencana. "Kau kami
ajak semata-mata demi persahabatan di masa lampau," ujar Bruce.
"Yang sesunguhnya kami perlukan adalah seorang bekas masinis."
"Bukan main!" seru Biggs. "Aku sekarang justru sedang bekerja
pada seoranR pensiunan masinis!" Pembicaaan tak lagi
bertele-tele. : Stan ternyata mudah dibujuk. Ia udah gemetar
ketika diberi janji Å“ 0.000, sekitar Rp 29 juta. Bagian Biggs
sendiri dua kali lebih besar.
Rencana disiapkan meniru operasi militer. Kendaraan yang
digunakan juga dicat hijau. Dan kereta api pun berhenti ketika
melihat sinyal merah di Persimpangan Sears. Sebelumnya,
perjalanan kereta sudah diikuti melalui walkie-talkie. Pembantu
masinis segera turun.
Dan segera diringkus - Para penyamun naik, dan sekarang
mempersilakan Stan unjuk kebolehan. Tapi ternyata Stan tak tahu
cara membebaskan rem.
Salah seorang perampok, Gordon Goody, naik pitam. Ia menarik
Stan dan memaksa masinis kereta, Jack Mills menjalankan kereta
itu 20 mil lagi ke depan. Di Leatherslade Farm, dekat situ,
mereka sudah menyewa sebuah rumah tua sebagai markas operasi.
"Saya tak akan melupakan pemandangan ketika kereta itu
dibongkar," tutur Biggs belasan tahun kemudian. "Sangat indah.
Kereta berhenti di jembatan dalam silhuet, dengan mega berarak
di atas." Tak kurang dari 120 karung uang dipindahkan dalam
waktu singkat.
Tapi pengejaran yang dilakukan polisi Inggris juga tidak
kepalang. Inilah operasi yang bagai penuh dendam kesumat. Para
perampok memang membuat kesalahan fatal. Mereka menggaji orang
untuk membersihkan sidik jari di rumah tua di Leatherslade itu.
Dan tukang lap ini rupanya bekerja ugal-ugalan.
RONALD Biggs ditangkap September tahun itu juga. Dan pengadilan
Inggris menjatuhinya hukuman 30 tahun. Hanya dua orang tak
berhasil diringkus polisi: Stan, dan orang yang memberi para
bandit itu informasi mengenai perjalanan kereta.
Tapi tahun 1965 Biggs kembali menggemparkan. Ia lari dari
penjara Wandsworth, London. Menjalani operasi plastik di Paris.
Dengan wajah baru, Biggs lolos ke Australia. "Seluruh perjalanan
itu menghabiskan biaya Å“ 45.000," tuturnya mengenang.
Ke-17 orang perampok itu memang jadi kaya karena mendapat bagian
rata-rata 137.000, lebih dari Rp 198,5 juta. Biggs bahkan
mengantungi pula bagian Stan, sebab masinis tua yang sial itu
kabur entah ke mana -- dengan tangan kosong.
Tinggal di Adelaide, kemudian Melbourne, Biggs membuka usaha
pertukangan lagi. Istrinya, Charmain, dan anak-anaknya, datang
menyusul. Tapi bagaimana bisa tenang? Tiap hari koran dan tv
menyiarkan gambarnya.
Biggs lalu meninggalkan Australia -- tepat dua jam sebelum
polisi mengetuk pintu rumahnya. Seorang teman lama
menyelundupkannya sampai Panama. Dari sana ia menuju Rio de
Janeiro, 1970.
Brazilia tidak terikat perjanjian ekstradisi dengan Inggris.
Apalagi Biggs ayah seorang anak Brazil, Michael, buah
hubungannya dengan cewek bernama Raimunda Nascimento de Castro.
Ia tidak akan dideportasikan selama tidak bekerja di negeri itu,
asal sekali seminggu melapor ke kantor polisi.
Segalanya tampak tenang -- sebelum penculikan di pertengahan
Maret itu. Scotland Yard sendiri bagai kehilangan upaya
mengembalikan Biggs ke Inggris untuk menjalani 28 tahun sisa
hukumannya.
Tapi ada sekelompok orang yang justru menguntit Biggs pada
tahun-tahun terakhir. Mereka tergabung dalam Single Point,
sebuah maskapai sekuriti. Di sini bernaung banyak veteran
Special Air Service (SAS) yang kesohor itu, serta bekas anggota
pasukan antiteror Inggris yang dulu memadamkan kerusuhan di
Irlandia Utara.
Orang-orang inilah konon yang menculik Biggs di restoran itu
--kendati direktur SP, John Miller, mem bantah halus. "Kalau
toh kami melakukannya," kata Miller, "motifnya bukanlah mencari
popularitas." Lalu apa?
Pemerintah Inggris memang lega mendengar Biggs sudah berada di
Barbados. Bukankah bekas koloni itu terikat perjanjian
ekstradisi dengan London? Perwira-perwira Scotland Yard
beterbangan ke Bridgetown untuk bertatap-muka dengan Biggs.
Kartu sidik jari Biggs dibawa sebagai bahan identifikasi.
Tapi nasib mujur rupanya masih memihak Biggs. Pemerintah
Barbados, sialnya, hanya dapat mengenakan tuduhan "masuk tanpa
surat-surat sah" atas diriinya. Untuk menangkis tuduhan sepele
itu Biggs menyewa empat orang pengacara terkemuka.
Kamis malam, 23 April Biggs bersorak: "Kembali ke Brazil!" Ia
dielu-elukan sejumlah simpatisan dan orang pers begitu
meninggalkan gedung pengadilan Bridgetown. Di gedung kedutaan
besar Brazilia di kota itu, Biggs menghubungi anaknya Michael
lewat telepon. "Sekali ia berada di kedutaan Brazilia, amanlah
sudah. Tidak ada yang dapat mengusiknya," ujar Ezra Alleyne,
salah seorang pengacaranya.
Kelima orang penculiknya boleh gigit jari. Mereka: Thorfin M.
Mac Iver (25), Gregory D. Nelson (19), Anthony J. Marriaga (26),
Frederick C. Prime (42), dan Mark S. Halgate (22). Mereka telah
jumpalitan berusaha menyeret Biggs ke pangkuan hukum. Apa daya,
justru hukum sendiri yang membelanya.
Kalau tak ada lagi aral melintang, the great train robber itu
mungkin sekali akan bisa menikmati sisa hidupnya sambil
berleha-leha di bawah pohon-pohon palma Rio de Janeiro.
Memoarnya akan terbit tahun ini juga. Tinggal satu soal. Sudikah
Singk Point atau kelompok penculik lain, berpangku tangan?
Perang tak habis-habis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini