BANYAK kiai memiliki sifat aneh, tetapi yang paling sering
didapati adalah sikap egosentris mereka. Mungkin ini adalah
kompensasi kejiwaan untuk mengimbangi keharusan berpola hidup
serba konformistis dengan sesama kiai. Juga untuk mengimbangi
'larutnya kepribadian' dalam tugas pelayanan mereka yang begitu
total kepada kehidupan masyarakat.
Taruhlah ini semacam 'kemewahan' sikap dalam deretan mendatarnya
pola hidup mereka sendiri: mengajar, beribadat ritual,
konsultasi kepada masyarakat, memimpin beberapa jenis upacara
keagamaan yang berdimensi sosial (kelahiran, khitanan,
perkawinan dan kematian) dan sebagainya.
Justru dalam forum musyawarah hukum agama antara sesama kiai
terletak 'katup pelepas' untuk menunjukkan arti diri mereka
dalam rutin kehidupan serba datar tersebut. Egosentrisme mereka
lalu muncul dalam bentuknya yang paling sedikit berakibat
negatif. Memang cukup banyak yang memperagakan eksentrisitas
watak hanya untuk sekedar tampak aneh saja, sering dirupakan
secara kongkrit dalam bentuk pembicaraan berkepanjangan tentang
definisi sesuatu hal tanpa mampu mencari kerangka sosial yang
lebih sesuai dengan kebutuhan hidup masa kini. Seolah-olah
dominasi pemikiran skolastik menutupi munculnya kesadaran sosial
yang sedang mencari jalannya sendiri memasuki lingkup pemikiran
keagamaan.
Di luar forum musyawarah hukum agama, sedikit sekali tampak
perbedaan pendirian dan pendekatan antara semua kiai itu, karena
fungsi ritual mereka lakukan kurang lebih dalam pola yang hampir
bersamaan. Hanya dalam fungsi mendidik masyarakat melalui dakwah
oral, para kiai telah mulai menunjukkan perbedaan cara berpikir.
Ada yang menekankan pesan-pesan mereka pada penguatan
nilai-nilai moral melalui penolakan atas segala yang bercap
modern, tetapi cukup banyak pula yang memusatkan perhatian pada
masalah-masalah dasar dalam kehidupan masyarakat, seperti
penumbuhan toleransi dan pengembangan sikap berperhitungan
(rechenhaftigkeit, kalau meminjam istilahnya Jan Romein).
Dalam musyawarah hukum agama yang berlangsung ribuan kali
banyaknya di seluruh penjuru tanah air setiap tahunnya,
berlangsung perdebatan sengit antara mereka yang hanya
berkepentingan untuk membatasi diri pada rumusan-rumusan harfiah
yang sesuai dengan landasan berpikir skolastik, dan mereka yang
mencoba mencari relevansi skolastisisme itu sendiri dalam
perkembangan sosial yang berlangsung cepat. Perdebatan antara
mereka yang setuju KB sebagai gagasan dan yang tidak setuju,
yang dapat menerima pemindahan kuburan untuk membuat jalan dan
yang tidak dapat menerimanya dan seribu satu kasus lainnya.
Variasi sangat besar tampak dalam argumentasi yang digunakan
dalam forum-forum tersebut, untuk menunjang pendapat yang saling
berbeda itu. Kaidah yang dipergunakan juga sangat beragam, belum
lagi cara melakukan aplikasi kaidah yang digunakan atas
persoalan yang menjadi pokok pembahasan. Tidak kurang pula
argumentasi murahan dipergunakan, seperti ucapan almarhum Kiai
Wahab Chasbullah kepada almarhum Kiai Abdul Jalil Kudus sewaktu
membahas validitas DPR-GR dari sudut hukum agama dua puluhan
tahun yang lampau: "Kitab yang sampeyan gunakan 'kan cuma
cetakan Kudus, kalau kitab yang menunjang pendapat saya ini
cetakan luar negeri!"
Ada sesuatu yang lebih berharga yang sebenarnya tersimpan dalam
pengemukaan argumentasi langsung seperti itu. Keinginan untuk
memasukkan unsur-unsur kehidupan aktual ke dalam proses
perumusan pendapat agama atas sesuatu persoalan. Keinginan agar
ada perubahan kriteria, betapa halus dan kecilnya sekalipun,
dalam penyusunan postulat-postulat (faradhiyat) logika agama.
Tidak heranlah jika upaya seperti itu pernah membawa kepada
suatu kejadian yang berakibat positif, walaupun menggelikan.
Masalahnya menyangkut diktum mahab Syafi'i tentang larangan
menyelenggarakan dua rombongan sembahyang Jumat di kampung yang
sama. Di Kota Jember timbul persoalan dengan diktum ini, tatkala
guru agama di sebuah SMP yang berdekatan dengan Masjid Agung
bermaksud menyelenggarakan sembahyang Jumat terpisah sebagai
peragaan praktek di sekolah tersebut.
Para kiai pun segera ribut, terlibat dalam perdebatan antara
yang membolehkan dan yang tidak memperkenankan. Perdebatan
segera memasuki persoalan definisi kampung, yang dalam bahasa
Arab kuno disebut balad, dan aplikasinya bagi masa modern dengan
pemisahan wilayah secara administratif. Kelurahankah, atau
pedukuhan?
Dalam suasana demikian, Kiai Rahmat mengemukakan pendapat yang
'nyentrik' juga: "Boleh saja dilakukan. Antara SMP dan Masjid
Agung 'kan sudah berlainan kampung, tidak sama balad-nya.
Bukankah RK-nya berlainan?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini