SUDAH jadi semacam legenda, Timur Tengah dan Indocina dikenal
sebagai dua titik api peredaran narkotik di dunia. Perang antar
sindikat, penyelundupan, penyergapan dan pengejaran, misalnya,
adalah beberapa bagiannya.
Titik api yang Indocina dikenal dengan nama 'Segitiga Emas'.
Pusatnya terletak di tempat strategis, di perbatasan tiga negara
Muangthai, Laos dan Birma, menjorok sekitar 160 km ke tiga
negara itu. Di daerah yang hampir tak bertuan ini terdapat
beribu hektar tanaman madat, lengkap dengan laboratorium
pengolahannya. Produksi dari pusat narkotik ini dikenal hanya
sampai tingkat heroin. 1 ton bunga madat bisa menghasilkan
kira-kira 100 kilogram jenis itu.
Dikuasai sejumlah tuan tanah yang tak jelas kewarganegaraannya
-- yang sekaligus bertindak sebagai para panglima perang --
gerbang-gerbang kerajaan candu ini adalah Bangkok dan Hongkong.
Dari sinilah narkotik dilempar ke banyak kota besar di Eropa dan
Amerika.
Hingga kini 'Segitiga Emas' masih kukuh -- tak terpengaruh
berbagai perang di Indocina. Selain gempuran pemerintah
Muangthai tahun lalu, kerajaan ini tak banyak mendapat gangguan
yang berarti. Memang berulang kali terbetik berita digulungnya
sejumlah sindikat dan terjaringnya sejumlah penyelundup. Tapi
yang berhasil lolos diduga 10 kali lipat.
Tidak begitu dengan pusat narkotik di Timur Tengah. Di sini,
kebiasaan menanam bunga madat dan menggunakan opium -- sari
bunganya -- sudah dikenal sejak berabad-abad. Konon bahkan
diperkenalkan oleh sementara kaum Sufi di Abad Pertengahan --
yang menggunakannya sebagai salah satu sarana "melupakan dunia"
dan mencapai "kesatuan dengan Tuhan."
Tanaman madat bisa ditemui di hampir semua dataran Timur Tengah.
Konsentrasi terbesar terletak di Afghanistan, Libanon, dan
Turki. Dalam bentuknya yang tradisional, bunga tumbuhan ini
diolah menjadi opium, qat dan hasyisy. Dalam tingkat yang lebih
maju diolah menjadi heroin dan morfin.
Jauh sebelum Revolusi Iran meletus, negara inilah tak lain pintu
keluar kerajaan narkotik Timur Tengah tersebut -- juga tempat
pengolahannya. Kendati Iran sendiri tak punya perkebunan madat
yang berarti, negeri ini tercatat menggaet keuntungannya yang
paling besar. Teheran, ibu kota, punya jalur perhubungan cukup
ramai dengan sejumlah kota besar di Eropa dan Amerika.
Pengangkutan berbagai barang kebutuhan -- yang umumnya jadi
sarana penyelundupan bunga madat -- pun cukup banyak.
Dibanding Afghanistan, Turki dan Libanon, Iran dianggap lebih
mampu dalam fasilitas -- dan karena itu pengolahan madat
dibangun di sana. Sebab untuk mengolah opium -- sari bunga --
menjadi heroin dan morfin, dibutuhkan laboratorium yang cukup
rumit. Pada tingkat pertama, didapat morfin. Dan lewat proses
distilasi sekali lagi, keluar heroin. Untuk tingkat ini
dibutuhkan berbagai bahan kimia, antara lain asam cuka ketat dan
asetil khlorida. Bahan-bahan itu, yang harus diproduksi oleh
industri-industri kimia yang maju, didatangkan dari Eropa --
diselundupkan kebanyakan lewat Prancis dan Jerman Barat.
Jangan heran: yang paling menjadikan Iran tempat ideal -- di
masa kemarin -- tak lain terlibatnya penguasa-penguasa Iran
keluarga bekas Syah. Di sebuah areal ribuan hektar di sekitar
Kota Hamadan, adik bekas Syah, Pangeran Gholam Reza, memiliki
industri raksasa pengolahan candu tersebut. Juga kakak bekas
Syah, Putri Ashraf. Ia tercatat pernah dua kali kepergok membawa
sekoper penuh heroin -- sekali di Zurich dan sekali di Paris.
Pemerintah Iran sendiri waktu itu boleh dikatakan jadi bandarnya
secara tak resmi. Dinas rahasia rezim Syah, Savak, konon
menyediakan dana khusus dengan cap 'narkotik' -- diduga untuk
melindungi para pengedar yang mengumpulkan candu dari seluruh
Iran. Pemeriksaan di perbatasan dikabarkan juga dibikin longgar
bagi tansportasi opium ke Iran.
Maklum, dengan kebijaksanaan menjadi daerah transit itu Iran
mendapat untung luar biasa. Dengan membangun industri-industri
pengolahan, negeri ini mampu mencegat opium beredar di Eropa dan
Amerika sebelum diolah di sana. Harga opium di perbatasan
Afghanistan-Iran dan Turki-lran berkisar sekitar US$ 290 per
kilogram. Setelah menjadi heroin: US$ 17 per gram atau US$
17.000 per kilo. Bila heroin ini mencapai New York, Los Angeles
atau Amsterdam, harganya berlipat menjadi US$ 200.000 per kilo.
Beberapa keguncangan di Timur Tengah memang membuat jalur
narkotik terganggu. Banyak perbatasan dijaga lebih ketat, sedang
pemerintahan-pemerintahan baru kebetulan tak banyak berpihak
pada perdagangan narkotik -- kalau tidak malah memusuhinya.
Menjelang jatuhnya rezim Syah, sejumlah sindikat menyerbu
Iran-berusaha menyelamatkan bubuk berharga itu. Tercatat 114 ton
heroin hilang. Akibatnya harga heroin Timur Tengah jatuh di
pasaran Eropa dan Amerika. Muncul tawaran-tawaran gelap sebagai
saingan. Di Teheran sendiri harganya melonjak naik.
Kemudian datanglah pemerintah baru di Iran. Bisa dipahami dengan
Allahu Akbar, mereka menyatakan perang terhadap narkotik. Dengan
naiknya harga heroin di Iran, terungkap kenyataan: betapa banyak
umat Iran yang ternyata kecanduan. Berdasar perkiraan, seorang
yang ketagihan terpaksa mengeluarkan US$ 75 setiap bulan. Sedang
GNP di Iran berkisar sekitar US$ 100 - US$ 700. Kecanduan itu
sendiri, di masa kehidupan ekonomi sedang menghadapi cobaan,
mengakibatkan berbagai kejahatan muncul.
Koran Revolusi Islam di Teheran memberitakan: daerah Khurasan
adalah provinsi yang paling parah dalam soal kecanduan ini.
Diperkirakan 70% penduduk -- yang rata-rata miskin -- merupakan
pengidap. Sedang Hakim Agung Iran, Ayatullah Khalkhali,
memperkirakan paling tidak 4 juta rakyatnya (di antara 35 juta
penduduk) merupakan langganan itu barang nista. Karena itu ia
bertindak sangat keras: dalam waktu seminggu hakim yang tak
kenal kompromi itu bisa menjatuhkan 200 sampai 300 hukuman mati
bagi para pengedar narkotik -- bahkan orang yang kecanduan.
Hasilnya? Dengar nama narkotik saja, orang bisa merinding
sekarang. Iran dengan begitu bisa dipastikan berhenti jadi
bandar candu. Semua laboratorium pengolahan, berikut tanaman
bunga atau apa pun yang berbau madat, ditumpas,
dihancur-leburkan. Bahkan di masa depan pemerintah Iran sudah
memperkirakan harus mengimpor heroin dan morfin untuk keperluan
pengobatan, dan itu sudah mereka perhitungkan. Lebih baik miskin
daripada melihat rakyat jadi orang-orang gentayangan bermata
kuyu.
Di Libanon, negeri tempat orang bersenang-senang itu, sebaliknya
hukum agak longgar bagi para pecandu narkotik. Juga di Yaman
Utara, yang resminya republik Islam. Di sini bahkan ada yang
aneh: orang diperkenankan mengunyah qat -- sejenis opium -- di
hari Rabu, Jumat dan hari-hari libur. Di hari-hari lain
dinyatakan dilarang. Tak jelas apakah itu merupakan usaha
pelarangan bertahap.
Tapi kini, dilanda perang, narkotik tiba-tiba menghilang dari
Libanon. Padahal di masa lalu negeri ini terkenal sebagai pusat
produksi hasyisy yang antara lain diolah di Iran. Di sini konon
hasyisy dibagikan kepada para prajurit --yang sedang terlibat
dalam perang saudara -- untuk mempermudah memerintah mereka. Tak
tahulah bagaimana kualitas prajurit sana.
Di bagian-bagian lain Timur Tengah narkotik belakangan juga
ramai diperangi. Jangan dibilang Arab Saudi -- lebih lagi.
Kesepakatan dicapai di Kairo: banyak negara mengancam hukuman
mati bagi pengedar narkotik.
Masa keemasan para juragan narkotik di Timur Tengah rupanya
sudah mau berakhir. Bersamanya sebuah kultur -- yang sudah
berusia berabad-abad -- akan pula ikut berakhir. Dengan sabetan
luar biasa pedih, sisa-sisanya dimusnahkan dalam waktu singkat.
"Kami punya dua masalah: narkotik dan Ayatullah Khalkhali.
Karena itu kami mencoba menyatukannya. Sejauh ini kelihatan ada
hasilnya," kata seorang pejabat Iran yang konon tak mau disebut
namanya kepada majalah The Middle East.
Khalkhali, ayatullah berwajah jernih itu, memang dikenal
"kejam". Satu waktu dia bahkan menyatakan ingin mundur dari
jabatan -- berhubung orang mengeritiknya terus menerus sebagai
"sadis". "Padahal saya menjalankan hukum yang benar," katanya
sambil ngambek. Toh ia tidak mundur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini