Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Narkotik ? allahu akbar !

Timur tengah & indocina dikenal sebagai dua titik api peredaran narkotik di dunia. perang antar sindikat, penyelundupan, penyergapan & pengejaran, misalnya, adalah beberapa bagiannya. (sel)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH jadi semacam legenda, Timur Tengah dan Indocina dikenal sebagai dua titik api peredaran narkotik di dunia. Perang antar sindikat, penyelundupan, penyergapan dan pengejaran, misalnya, adalah beberapa bagiannya. Titik api yang Indocina dikenal dengan nama 'Segitiga Emas'. Pusatnya terletak di tempat strategis, di perbatasan tiga negara Muangthai, Laos dan Birma, menjorok sekitar 160 km ke tiga negara itu. Di daerah yang hampir tak bertuan ini terdapat beribu hektar tanaman madat, lengkap dengan laboratorium pengolahannya. Produksi dari pusat narkotik ini dikenal hanya sampai tingkat heroin. 1 ton bunga madat bisa menghasilkan kira-kira 100 kilogram jenis itu. Dikuasai sejumlah tuan tanah yang tak jelas kewarganegaraannya -- yang sekaligus bertindak sebagai para panglima perang -- gerbang-gerbang kerajaan candu ini adalah Bangkok dan Hongkong. Dari sinilah narkotik dilempar ke banyak kota besar di Eropa dan Amerika. Hingga kini 'Segitiga Emas' masih kukuh -- tak terpengaruh berbagai perang di Indocina. Selain gempuran pemerintah Muangthai tahun lalu, kerajaan ini tak banyak mendapat gangguan yang berarti. Memang berulang kali terbetik berita digulungnya sejumlah sindikat dan terjaringnya sejumlah penyelundup. Tapi yang berhasil lolos diduga 10 kali lipat. Tidak begitu dengan pusat narkotik di Timur Tengah. Di sini, kebiasaan menanam bunga madat dan menggunakan opium -- sari bunganya -- sudah dikenal sejak berabad-abad. Konon bahkan diperkenalkan oleh sementara kaum Sufi di Abad Pertengahan -- yang menggunakannya sebagai salah satu sarana "melupakan dunia" dan mencapai "kesatuan dengan Tuhan." Tanaman madat bisa ditemui di hampir semua dataran Timur Tengah. Konsentrasi terbesar terletak di Afghanistan, Libanon, dan Turki. Dalam bentuknya yang tradisional, bunga tumbuhan ini diolah menjadi opium, qat dan hasyisy. Dalam tingkat yang lebih maju diolah menjadi heroin dan morfin. Jauh sebelum Revolusi Iran meletus, negara inilah tak lain pintu keluar kerajaan narkotik Timur Tengah tersebut -- juga tempat pengolahannya. Kendati Iran sendiri tak punya perkebunan madat yang berarti, negeri ini tercatat menggaet keuntungannya yang paling besar. Teheran, ibu kota, punya jalur perhubungan cukup ramai dengan sejumlah kota besar di Eropa dan Amerika. Pengangkutan berbagai barang kebutuhan -- yang umumnya jadi sarana penyelundupan bunga madat -- pun cukup banyak. Dibanding Afghanistan, Turki dan Libanon, Iran dianggap lebih mampu dalam fasilitas -- dan karena itu pengolahan madat dibangun di sana. Sebab untuk mengolah opium -- sari bunga -- menjadi heroin dan morfin, dibutuhkan laboratorium yang cukup rumit. Pada tingkat pertama, didapat morfin. Dan lewat proses distilasi sekali lagi, keluar heroin. Untuk tingkat ini dibutuhkan berbagai bahan kimia, antara lain asam cuka ketat dan asetil khlorida. Bahan-bahan itu, yang harus diproduksi oleh industri-industri kimia yang maju, didatangkan dari Eropa -- diselundupkan kebanyakan lewat Prancis dan Jerman Barat. Jangan heran: yang paling menjadikan Iran tempat ideal -- di masa kemarin -- tak lain terlibatnya penguasa-penguasa Iran keluarga bekas Syah. Di sebuah areal ribuan hektar di sekitar Kota Hamadan, adik bekas Syah, Pangeran Gholam Reza, memiliki industri raksasa pengolahan candu tersebut. Juga kakak bekas Syah, Putri Ashraf. Ia tercatat pernah dua kali kepergok membawa sekoper penuh heroin -- sekali di Zurich dan sekali di Paris. Pemerintah Iran sendiri waktu itu boleh dikatakan jadi bandarnya secara tak resmi. Dinas rahasia rezim Syah, Savak, konon menyediakan dana khusus dengan cap 'narkotik' -- diduga untuk melindungi para pengedar yang mengumpulkan candu dari seluruh Iran. Pemeriksaan di perbatasan dikabarkan juga dibikin longgar bagi tansportasi opium ke Iran. Maklum, dengan kebijaksanaan menjadi daerah transit itu Iran mendapat untung luar biasa. Dengan membangun industri-industri pengolahan, negeri ini mampu mencegat opium beredar di Eropa dan Amerika sebelum diolah di sana. Harga opium di perbatasan Afghanistan-Iran dan Turki-lran berkisar sekitar US$ 290 per kilogram. Setelah menjadi heroin: US$ 17 per gram atau US$ 17.000 per kilo. Bila heroin ini mencapai New York, Los Angeles atau Amsterdam, harganya berlipat menjadi US$ 200.000 per kilo. Beberapa keguncangan di Timur Tengah memang membuat jalur narkotik terganggu. Banyak perbatasan dijaga lebih ketat, sedang pemerintahan-pemerintahan baru kebetulan tak banyak berpihak pada perdagangan narkotik -- kalau tidak malah memusuhinya. Menjelang jatuhnya rezim Syah, sejumlah sindikat menyerbu Iran-berusaha menyelamatkan bubuk berharga itu. Tercatat 114 ton heroin hilang. Akibatnya harga heroin Timur Tengah jatuh di pasaran Eropa dan Amerika. Muncul tawaran-tawaran gelap sebagai saingan. Di Teheran sendiri harganya melonjak naik. Kemudian datanglah pemerintah baru di Iran. Bisa dipahami dengan Allahu Akbar, mereka menyatakan perang terhadap narkotik. Dengan naiknya harga heroin di Iran, terungkap kenyataan: betapa banyak umat Iran yang ternyata kecanduan. Berdasar perkiraan, seorang yang ketagihan terpaksa mengeluarkan US$ 75 setiap bulan. Sedang GNP di Iran berkisar sekitar US$ 100 - US$ 700. Kecanduan itu sendiri, di masa kehidupan ekonomi sedang menghadapi cobaan, mengakibatkan berbagai kejahatan muncul. Koran Revolusi Islam di Teheran memberitakan: daerah Khurasan adalah provinsi yang paling parah dalam soal kecanduan ini. Diperkirakan 70% penduduk -- yang rata-rata miskin -- merupakan pengidap. Sedang Hakim Agung Iran, Ayatullah Khalkhali, memperkirakan paling tidak 4 juta rakyatnya (di antara 35 juta penduduk) merupakan langganan itu barang nista. Karena itu ia bertindak sangat keras: dalam waktu seminggu hakim yang tak kenal kompromi itu bisa menjatuhkan 200 sampai 300 hukuman mati bagi para pengedar narkotik -- bahkan orang yang kecanduan. Hasilnya? Dengar nama narkotik saja, orang bisa merinding sekarang. Iran dengan begitu bisa dipastikan berhenti jadi bandar candu. Semua laboratorium pengolahan, berikut tanaman bunga atau apa pun yang berbau madat, ditumpas, dihancur-leburkan. Bahkan di masa depan pemerintah Iran sudah memperkirakan harus mengimpor heroin dan morfin untuk keperluan pengobatan, dan itu sudah mereka perhitungkan. Lebih baik miskin daripada melihat rakyat jadi orang-orang gentayangan bermata kuyu. Di Libanon, negeri tempat orang bersenang-senang itu, sebaliknya hukum agak longgar bagi para pecandu narkotik. Juga di Yaman Utara, yang resminya republik Islam. Di sini bahkan ada yang aneh: orang diperkenankan mengunyah qat -- sejenis opium -- di hari Rabu, Jumat dan hari-hari libur. Di hari-hari lain dinyatakan dilarang. Tak jelas apakah itu merupakan usaha pelarangan bertahap. Tapi kini, dilanda perang, narkotik tiba-tiba menghilang dari Libanon. Padahal di masa lalu negeri ini terkenal sebagai pusat produksi hasyisy yang antara lain diolah di Iran. Di sini konon hasyisy dibagikan kepada para prajurit --yang sedang terlibat dalam perang saudara -- untuk mempermudah memerintah mereka. Tak tahulah bagaimana kualitas prajurit sana. Di bagian-bagian lain Timur Tengah narkotik belakangan juga ramai diperangi. Jangan dibilang Arab Saudi -- lebih lagi. Kesepakatan dicapai di Kairo: banyak negara mengancam hukuman mati bagi pengedar narkotik. Masa keemasan para juragan narkotik di Timur Tengah rupanya sudah mau berakhir. Bersamanya sebuah kultur -- yang sudah berusia berabad-abad -- akan pula ikut berakhir. Dengan sabetan luar biasa pedih, sisa-sisanya dimusnahkan dalam waktu singkat. "Kami punya dua masalah: narkotik dan Ayatullah Khalkhali. Karena itu kami mencoba menyatukannya. Sejauh ini kelihatan ada hasilnya," kata seorang pejabat Iran yang konon tak mau disebut namanya kepada majalah The Middle East. Khalkhali, ayatullah berwajah jernih itu, memang dikenal "kejam". Satu waktu dia bahkan menyatakan ingin mundur dari jabatan -- berhubung orang mengeritiknya terus menerus sebagai "sadis". "Padahal saya menjalankan hukum yang benar," katanya sambil ngambek. Toh ia tidak mundur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus