Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

BILA AMPUNAN DITUKAR DOLAR

Keluarga Cendana sepakat akan menukar pengampunan Presiden terhadap Soeharto dengan pengembalian harta. Bukti tidak berdayanya hukum di Indonesia?

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK kesekian kalinya Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan sikapnya dalam menyelesaikan kasus Soeharto. Pemerintah akan memberikan pengampunan politik kepada Soeharto asal saja presiden Indonesia kedua itu mau mengembalikan harta yang selama ini diambilnya dari negara.

Penegasan Abdurrahman itu kembali dikemukakannya dalam pertemuan dengan pengusaha Amerika di New York, Amerika Serikat, Selasa pekan lalu. Namun, berbeda dengan pernyataan sebelumnya, kali ini Abdurrahman memberikan kemajuan konkret. Saat ini, katanya, pemerintah dan Keluarga Cendana sedang bernegosiasi untuk membicarakan bagaimana bentuk kesepakatan antara kedua belah pihak. Keluarga Cendana, menurut Presiden, sudah sepakat mengembalikan harta kekayaan mereka kepada negara. Oleh sejumlah sumber, kekayaan Soeharto ditaksir mencapai US$ 25 miliar atau lebih dari Rp 200 triliun.

Jika jumlah itu bisa diperoleh pemerintah, inilah kemajuan pesat yang telah diraih Abdurrahman Wahid. Kesepakatan ini menyangkut uang yang tak kecil. Dengan duit sebanyak itu, paling tidak 40 persen utang luar negeri Indonesia yang jumlah US$ 65,7 miliar bisa dilunasi. Selain itu, dengan barter tersebut, Keluarga Cendana pun secara tak langsung mengaku telah mengeduk uang negara selama Soeharto menjadi presiden Indonesia.

Namun, pernyataan Abdurrahman Wahid itu masih harus diberi catatan. Pihak Keluarga Cendana tidak mengakui adanya negosiasi dengan pemerintah. Sejumlah menteri pun menyangkal bahwa negosiasi itu telah melahirkan kesepakatan penyerahan uang berjumlah besar tersebut. Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan bahwa negosiasi itu baru pada taraf awal.

Kesepakatan, agaknya, dilakukan memang lewat jalur khusus yang bersifat informal. Presiden Abdurrahman dikabarkan mengutus Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudhoyono sebagai negosiator pemerintah. Adapun pihak Cendana diwakili Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung Soeharto.

Menurut Abdurrahman, Susilo Bambang Yudhoyono dipilih karena piawai berunding. Sebelumnya, dalam menyelesaikan kasus perusakan lingkungan oleh perusahaan tambang Newmont di Sulawesi Utara, Susilo berhasil memaksa perusahaan Amerika itu untuk membayar ganti rugi US$ 4 juta kepada pemerintah setempat. "Orang lain mana ada yang bisa bekerja begitu?" kata Presiden.

Susilo Bambang mungkin orang yang luwes. Menurut Jaksa Agung Marzuki Darusman, dipilihnya Bambang—bukan Jaksa Agung yang terkait langsung dengan masalah ini—juga karena Bambang disukai oleh Cendana. Bambang selama ini memang dekat dengan Tutut, panggilan akrab Siti Hardijanti. Keduanya dikenal ketika sama-sama menjadi anggota Panitia Ad Hoc dalam Sidang Umum MPR tahun 1997 lalu. Siti mewakili Golkar dan Bambang mewakili TNI. Waktu itu hubungan TNI dan Golkar sangat mesra dalam mempertahankan Soeharto dan tatanan politik Orde Baru.

Ketika dikonfirmasi wartawan, mulanya Bambang menolak mengakui negosiasi itu. Baru ketika Abdurrahman mengulangi keterangannya tentang pertemuan tersebut, Bambang akhirnya menyerah. Katanya, dia memang telah dua kali bertemu dengan Keluarga Cendana. Pertemuan pertama empat pekan lalu, dan kedua sekitar 10 hari lalu. Dalam pertemuan itu keluarga Soeharto diwakili Siti Hardijanti dan Bambang Trihatmodjo. Tapi, seperti Marzuki, Susilo Bambang pun menyangkal bahwa negosiasi itu telah menghasilkan kesepakatan penyerahan uang.

Sejumlah pengacara Soeharto yang dikontak TEMPO mengaku tidak tahu-menahu tentang pertemuan tersebut. "Kami tidak diberi tahu Mbak Tutut," kata Muhammad Assegaf, salah seorang pengacara Soeharto, kepada Hendriko L. Wiremmer dari TEMPO. Anton Tabah, sekretaris pribadi Soeharto, pun mendapat jawaban yang negatif ketika mengonfirmasi berita negosiasi itu kepada Siti dan Bambang Tri.

Menurut Jaksa Agung Marzuki, negosiasi itu memang dilakukan di luar jalur hukum. Presiden Abdurrahman tampaknya ingin membedakan jalur hukum dan jalur negosiasi yang dia tempuh. Artinya, jika kesepakatan dapat dirumuskan, Abdurrahman tidak ingin pintu hukum tertutup. Dalam konteks itu wajar jika pengacara tidak diberi tahu. "Pertemuan ini tidak ada urusan dengan pengacara Soeharto," kata Marzuki Darusman.

Presiden Abdurrahman memang berkepentingan dengan suksesnya kesepakatan tersebut. Bagaimanapun, ia mesti menyelamatkan rapornya dalam pertanggungjawaban di depan MPR Agustus nanti. Jika uang barter diperoleh, meskipun belum ada pengadilan terhadap Soeharto, ia akan punya tameng untuk membela diri. "Ide melakukan pendekatan kemanusiaan kepada Keluarga Cendana itu sudah dicetuskan Gus Dur sejak sebelum ia menjadi presiden," kata Arifin Junaidi, anggota DPR asal Partai Kebangkitan Bangsa.

Menurut seorang kerabat dekat almarhum Tien Soeharto, lobi intensif pertama dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan April lalu. Ketika itu Susilo, didampingi salah seorang putri Presiden Abdurrahman, membawa dua pesan Abdurrahman. Pertama, apakah Soeharto bersedia meminta maaf, dan kedua apakah bekas presiden itu mau mengembalikan harta yang diperolehnya lewat jalan tidak sah.

Mulanya, Tutut menolak permintaan tersebut. Katanya, ayahnya tidak bersedia minta maaf karena apa yang dilakukan di masa lalu sudah dipertanggungjawabkan di hadapan MPR. "Lalu, kalau harus mengembalikan harta yang tidak sah, tidak sah dalam hal apa?" kata Tutut ketika itu. Dengan kata lain, dia meminta pemerintah membuktikan di mana letak ketidaksahan harta yang diperoleh Soeharto.

Baru dalam pertemuan selanjutnya, ada lampu hijau dari Cendana. Jaminan Abdurrahman bahwa Soeharto akan diberi pengampunan memuluskan lobi selanjutnya.

Seorang bekas asisten pribadi Abdurrahman memastikan beberapa kali utusan Cendana datang ke Wisma Negara untuk bertemu Presiden Abdurrahman Wahid. "Saya ketemu di sana lebih dari tiga kali. Tapi saya yakin, mereka sering ke sana," kata sumber tersebut.

Perihal negosiasi Abdurrahman itu dibenarkan oleh Nur Muhammad Iskandar S.Q., sahabat Abdurrahman yang juga pimpinan Pondok Pesantren Ash Shiddiqiah Jakarta. Dalam pertemuan silaturahmi beberapa pengurus NU dan PKB di Jalan Irian 7, Jakarta Pusat, beberapa hari sebelum Presiden melawat ke Amerika, Abdurrahman mengatakan sedang melobi keluarga Soeharto agar mau menerima tawaran pengampunan bersyarat yang diajukan pemerintah. Sayang, menurut Nur Muhammad Iskandar, pertemuan itu tidak merinci detail rencana tersebut. Sampai saat ini belum dapat dipastikan apakah uang Cendana ini akan bisa segera masuk ke kantong pemerintah dan berapa jumlahnya.

Meski uang belum masuk, upaya Abdurrahman ini bisa diberi jempol teracung sekaligus jempol terbalik. Jempol teracung karena pemerintah—sekali lagi jika upaya ini berhasil—bisa menambah cadangan devisi dengan uang yang diperoleh dari pundi-pundi Cendana. Jempol terbalik karena pemerintah, lembaga yang bertangggung jawab terhadap terlaksananya penegakan hukum, membalik proses hukum yang semestinya berlaku. Presiden, sejatinya, memang berhak memberikan grasi kepada seseorang. Tapi grasi itu mestinya hanya diberikan kepada mereka yang sudah divonis pengadilan. Dalam kasus kesepakatan dengan Cendana, Abdurrahman memberikan "grasi" bahkan jauh sebelum Soeharto dibawa ke meja hijau.

Tapi Abdurrahman punya argumen. Menurut Arifin Junaidi, sudah lama Presiden menilai kasus Soeharto akan sulit sekali dituntaskan. Selain itu, kinerja Kejaksaan Agung dalam menyelesaikan kasus ini pun senen-kemis. Sebentar menggelegar seperti dalam memberikan status tahanan kota dan tahanan rumah kepada Soeharto, sebentar melempem terutama jika tekanan dari masyarakat melemah. Selain itu, menurut Abdurrahman, toh kesepakatan itu tidak akan menutup pintu bagi penyelesaian hukum.

Tapi hal inilah yang justru mengundang tanda tanya baru. Bagaimana bisa seorang jaksa menetapkan tuntutan—atau seorang hakim memutuskan vonis—yang independen terhadap sebuah kasus yang semua orang sudah tahu akhirnya. Bisa-bisa tuntutan dan keputusan itu ditetapkan secara serampangan saja. "Deal politik ini membuat tuntutan hukum jadi tidak maksimal," kata Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bambang Widjojanto. Padahal, proses pembuktian bahwa Soeharto bersalah atau tidak itulah yang paling penting. Selama ini kesalahan Soeharto hanya dihitung berdasarkan kalkulasi akal sehat dan bukan berdasarkan kalkulasi hukum.

Selain itu, investigasi untuk memastikan berapa besar harta kekayaan Soeharto yang sebenarnya pun akan surut jika kesepakatan ini jadi dilaksanakan. Upaya untuk melakukan investigasi itu bukan tak pernah dilakukan. Menurut praktisi hukum Todung Mulya Lubis, saat ini Kejaksaan Agung sedang terlibat investigasi harta Soeharto dengan menyewa jasa biro detektif swasta luar negeri. "Marzuki juga pernah meminta saya untuk membantu memberikan informasi mengenai harta Soeharto dan kroninya di luar negeri. Investigasi majalah Time bisa menjadi petunjuk tentang harta Soeharto. Tapi ini masih dalam proses pembicaraan," kata Todung.

Tapi dampak paling besar dari tidak adanya pembuktian hukum yang benar tehadap kasus Soeharto adalah pada proses pencatatan sejarah. Tanpa sebuah vonis pengadilan yang memastikan kesalahannya, tidak tertutup kemungkinan Soeharto suatu ketika akan kembali muncul sebagai pahlawan. Sejarah, bagaimanapun, bergantung pada siapa yang berkuasa. Jika itu yang terjadi, rasanya kita perlu menyesali kesepakatan politik yang telah dibuat Presiden Abdurrahman.

Arif Zulkifli, Arif A. Kuswardono, Ardi Bramantyo, Adi Prasetya, Wenseslaus Manggut (Jakarta), Purwani Diyah Prabandari (New York)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus