HIDUP tampaknya suram kelabu untuk Eddie Mae Kearney, 42 tahun,
sejak musibah yang sangat unik menimpanya. Sudah 24 tahun
berlalu. Lihatlah kehidupan macam apa yang dijalaninya sekarang
ini. Menyendiri di sepetak ruangan bawah tanah yang disewanya di
daerah pinggiran Westbury, hanya sejam berkendaraan mobil dari
belantaran pencakar langit Manhattan, New York, AS.
"Kamar itu pengap," kata Rachel Griggs yang mengunjungi Eddie
Mae, dan melaporkan ihwal perempuan negro itu dalam Sunday Times
Magazine, 4 Juli 1982. Sistem pemanas sentral yang menghangatkan
seluruh rumah tak henti-hentinya berdesis dan beruap. Pipa-pipa
telanjang simpang-serius menghias dinding. Di ruangan atas
seseorang sedang merebus kaki babi, baunya merambat sampai ke
bawah.
Sebuah pintu mengantarkan pengunjung ke kamar tidur yang hanya
cukup menampung sebuah dipan dan sebuah pesawat televisi
hitam-putih. Di depan pesawat televisi itu Eddie Mae melewatkan
hari-harinya menonton sandiwara murahan, satu-satunya jalan
melupakan kenyataan hidupnya yang selalu membingungkan.
Di belakang pintu terhampar sepetak kebun yang tak terpelihara.
Eddie Mae tak bisa membenahi kebun itu, betapa besar pun
hasratnya. Kulitnya yang bule tak kuat menanggung sinar
matahari. Dan matanya tak mampu menentang cahaya.
Kunjungan Rachel tampaknya membersitkan sejemput kegembiraan di
kamar itu. Eddie Mae mengeluarkan sejumlah foto
kenang-kenangan, menunjukkan potret rumah orang tuanya di
Georgia, di selatan yang jauh.
Ada pula foto Eddie Mae sendiri ketika berusia belasan tahun,
"menarik dan berkulit hitam," seperti layaknya perempuan negro.
Kemudian muncullah foto dari tahun yang lebih akhir: Eddie Mae
dengan anak-anak perempuannya yang manis. Pada potret yang
belakangan ini Eddie Mae sudah berubah: rambut dan kulitnya
putih belaka!
Tak ada yang tahu pasti kapan musibah itu tepatnya mulai. Pada
usia 18 tahun, Eddie Mae harus menjadi langganan rumah sakit
untuk pengobatan tuberculosis. Setelah menjalani serangkaian
terapi antibiotika, kulitnya mulai bertambah hitam.
Eddie Mae kemudian menjalani operasi. Di tengah operasi itulah,
jantungnya tiba-tiba berhenti berdenyut. Para dokter berjuang
menyelamatkan jiwa perempuan negro itu.
Tiga minggu ia dalam keadaan setengah sadar, di ruangan
perawatan intensif. Selama masa itu, kulitnya mulai retak dan
mengelupas. Di bawah permukaan yang mengelupas itu tampak kulit
baru dengan warna yang mencengangkan.
"Ketika aku siuman," tutur Eddie Mae mengenang, "yang tampak
pertama kali adalah kedua tanganku yang putih. Aku memperhatikan
tubuhku. Seluruh permukaan kulitku sudah berubah menjadi putih."
Ia menjerit panik. "Para dokter dan perawat tak mau mengambilkan
cermin. Mereka malah berusaha membuat aku tidur kembali."
Eddie Mae baru berada dalam keadaan sadar sepenuhnya pada 10
November 1959. Dan ia harus berhadapan dengan kenyataan. Seperti
yang tercatat pada laporan para dokter di Nassau County Medical
Centre, New York: "wanita muda kulit berwarna, penderita TBC,
mengalami pengelupasan kulit setelah menjalani pengobatan, kini
pasien depigmentasi." Bukan hanya sekedar kulit, rambutnya pun
berubah warna menjadi putih.
PERISTIWA ini mengejutkan setiap orang," kata Eddie Mae. Tentu
maksudnya setiap orang di dalam keluarganya. Ibunya terguncang.
Kedua anaknya tiba-tiba tak lagi mengenalinya. Salah seorang
saudara perempuannya tak sudi bertemu muka, karena khawatir
"penyakit" itu menular. Sedangkan suaminya, yang sebelumnya
sudah menceraikannya, tak lagi pernah menampakkan diri.
Lebih 20 tahun Eddie Mae bergulat dengan kenyataan yang tak
pernah terpikirkan ini. Berusaha menyesuaikan diri sebagai
wanita negro berkulit putih. Baru pada beberapa tahun terakhir
ia merasa menemukan jalan keluar.
Langkah pertama yang diambilnya ialah menyembunyikan diri dari
dunia. Ia berhenti bekerja. Jarang keluar rumah, kecuali ke
dokter dan rumah sakit, atau menjenguk sanak saudaranya di
pedalaman Selatan. Kemudian, ia menudungi dirinya dari kepala
sampai tumit. Ia memakai wig, kemudian menyemir rambutnya jadi
hitam.
Namun semua usaha itu nyaris sia-sia. Anak-anak negro tetap saja
memperolok-olokkannya di jalan, orang dewasa tak jarang menghina
dan mencerca. Dan ironi itu menjadi komplit tatkala Eddie Mae
ditolak masuk sebuah restoran negro di kampung halamannya
sendiri, Georgia. "Kami tak menerima tamu kulit putih di sini,"
kata Eddie Mae menirukan penjaga pintu restoran negro itu.
Lama kemudian baru Eddie Mae "berbaikan" kembali dengan dunia,
terutama berkat dorongan anak-anak perempuannya. Kadang-kadang
ia bahkan kencan dengan teman pria. "Beberapa di antara mereka
lelaki kulit putih," kata Eddie Mae bercerita. "Mereka tak sadar
saya mempunyai kelainan. Baru setelah melihat anak-anak saya,
mereka menjadi bingung."
Pada 1979 Eddie Mae hampir terlompat kegirangan. Ia merasa doa
yang dipanjatkannya bertubi-tubi selama 20 tahun mendapat
jawaban. Bangun tidur pada suatu pagi, ia melihat tangannya agak
hitam. Pemeriksaan lanjutan memperbesar harapan. Di sekujur
tubuhnya muncul bercak-bercak hitam.
Namun bercak itu tidak bertambah besar. Tetap saja begitu,
bahkan bagaikan noda hitam. Jari, telapak tangan, dan kakinya
menjadi hitam. Tapi dahi, hidung, mulut, pipi, lengan dan betis
penuh bercak hitam di atas kulit yang berwarna bule.
"Saya tak berani melihat diri saya sendiri di cermin," katanya.
"Saya hanya keluar untuk mengunjungi dokter, itu pun setelah
menutupi seluruh tubuh saya, tak ubahnya orang Eskimo. Saya
betul-betul malu."
Tiga tahun lamanya ia bergelut mengatasi akibat perubahan itu.
Sementara para dokter di Universitas Yale, New Haven,
Connecticut, berusaha menemukan obat penawar yang ampuh.
Sebagian besar ahli yang ditemui Eddie Mae berpendapat sama.
Bahwa ia menderita vitiligo, suatu kondisi yang menghancurkan
pigmen. Boleh jadi juga telah terjadi semacam autoimunitas,
situasi yang menyebabkan tubuh melawan dan menghancurkan selnya
sendiri.
Mungkin juga perubahan itu terjadi akibat alergi. Dalam hal
Eddie Mae, kecurigaan dialamatkan kepada antibiotika. Dari sudut
lain, perubahan itu bisa juga terjadi lantaran anaemia.
Pengaruhnya dapat mengubah warna rambut dan kulit. Namun
diagnosanya yang pasti tetap sulit disimpulkan.
BAGAIMANAPUN, para ahli Yale setidak-tidaknya berusaha
menenangkan Eddie Mae. "Mereka tak tahu apa yang salah pada diri
saya," tutur Eddie Mae kepada Rachel Griggs. "Mereka tetap
berusaha mencari sebab dan penangkalnya."
Terakhir kali Eddie Mae diperiksa, "150 ilmuwan meneliti saya
dari atas ke bawah." Mereka kemudian memberikan sejenis krim
untuk dicoba.
"Krim pemutih" itu bagaikan mukjizat bagi Eddie Mae. Dua bulan
setelah mengoleskannya, jari-jemari Eddie Mae mulai berangsur
putih kembali. Bercak-bercak hitam itu hilang, sedikit demi
sedikit.
Tapi bila ia berhenti mengoleskannya, bercak itu kembali muncul
di sana-sini. Apa lagi mendapatkan krim itu sendiri bukan
perkara gampang. Dari uang santunan yang diterimanya, Eddie Mae
harus menyisihkan US$ 11,35 untuk setiap tube krim, yang
diperlukannya tiap seminggu.
Ada saat-saat Eddie Mae mengalami kesepian yang sangat. Kedua
anak perempuannya -- masing-masing 25 dan 26 tahun -- kini
bekerja di Angkatan Bersenjata. Hanya tiga dari delapan
saudaranya yang mau berhubungan dengan dia. Salah seorang
saudara itulah yang bersedia membantu mengubah ruangan di bawah
tanah itu menjadi tempat tinggal yang agak layak.
Salah seorang saudara perempuannya tetap menganggap "penyakit"
itu menular. "Saya memang bisa datang dan menginap di rumah
mereka beberapa hari," kata Eddie Mae. "Tapi saya dengar, segera
setelah saya pergi mereka mensterilkan semua piring dan sendok
garpu yang pernah saya pakai."
Sekali waktu hampir saja ia bunuh diri lantaran putus asa.
"Cobalah pikir," katanya. "Kedua orang tua saya telah tiada.
Anak sendiri hidup di tempat lain. Hidup menjadi sangat sepi."
Ia merencanakan meloncat dari tingkat lima sebuah gedung. Ia
menangis dan mendoa, sudah siap memegangi ambang jendela. Entah
bagaimana, "tiba-tiba saya menemukan diri saya kembali di tempat
tidur," Tak seorang sanak pun mau mendekat untuk sekedar
mengucapkan "sabarlah, tak apa-apa." Sungguh, katanya, "saya
nyaris tak mempunyai kerabat yang bisa diajak berbicara setiap
waktu."
Kini keadaan memang agak baik. Ada "beberapa nyonya di tingkat
atas, sepasang sahabat lama, serta Barbara Castagna dan
Josephine Sorrentino di poliklinik. Mereka kadang-kadang
berbicara dengan saya, meyakinkan saya supaya tak perlu merasa
malu."
Dokter negro yang khusus mengobati Eddie Mae sendiri tak bisa
berbuat banyak. "Ia realistis," kata Rachel Griggs. Ia hanya
bisa "meluangkan waktu setiap beberapa minggu, sekedar untuk
berbicara dan menenangkan" sang pasien. Tak ada pengobatan
khusus yang diberikan kepada Eddie Mae. Hanya sugesti agar ia
menerima kenyataan dan memandang segalanya sedikit lebih cerah.
Riset mengenai kelainan ini hampir tak pula dilakukan orang,
sebab kasusnya sangat jarang. Tak ada pengobatan khusus
depigrhentasi dalam dekade 60-an, misalnya. Padahal kelainan itu
justru mengubah hidup seorang seperti Eddie Mae. Di kalangan
masyarakat kulit berwarna ia ditolak karena warna kulitnya yang
putih, di tengah masyarakat kulit putih ia tentu tak bisa
diterima karena jelas keturunan negro.
Namun secara berangsur-angsur keadaan tampaknya bertambah baik.
"Dia mulai berhasil menyesuaikan diri dengan kenyataan ini,"
kata Dr. Scheiner. "Perhatian dan kesungguhan yang diperlihatkan
dalam meneliti kasusnya telah berhasil menyingkirkan
kekhawatirannya. Ia mulai menikmati hidup."
Adalah Dr. Scheiner yang menerangkan, perawatan yang diterima
Eddie Mae untuk penyakit TBC-nya, serta terapi sinar-X yang
dialaminya telah menyebabkan kerusakan hormonal. Semua pigmen
sirna dari sel individualnya. "Secara medis," kata Scheiner,
"sangat kecil harapan kulitnya bisa menjadi hitam kembali."
Scheiner mengamati Eddie Mae sejak kulitnya berubah menjadi
bule. "Dan kini kondisinya sudah stabil," kata sang dokter. "Dia
sama putihnya dengan saya, dan saya pikir warna kulitnya akan
tetap demikian. Saya tak pernah menemukan kasus seperti ini
sebelumnya. Betul-betul unik."
Di dalam kehidupan ini kita berbicara tentang 'hitam' dan
'putih'. Padahal, kata Rachel Griggs, "dalam realitas hanya para
albino yang betul-betul putih." Sisanya memiliki warna kulit
yang agak gelap oleh melanin, sebangsa 'gincu' yang tertanam di
dalam kulit. Jumlah melanin dan faktor keturunanlah yang
menghasilkan pelbagai warna kulit, bervariasi dari warna pucat
sampai legam seperti kebanyakan penghuni Afrika. Warna kulit
"ras hitam" dipertegas oleh sel-sel hitam yang bernama
melanocyte di permukaan kulit.
Tapi penjelasan tetek-bengek ini tentu tak ada artinya untuk
Eddie Mae Kearney. Ia hanya tahu dulu kulitnya 'hitam' dan
sekarang 'putih', tak diterima di kalangan 'hitam' atau 'putih',
tapi menarik perhatian orang dari segala warna.
Meski warna kulitnya sudah berubah, Eddie Mae tak mungkin
mengubah citranya menjadi seorang wanita kulit putih. Ia tetap
tinggal di lingkungan masyarakat kulit berwarna. Rekan dan sanak
saudaranya tetap orang negro. Ia menyemir rambutnya jadi hitam,
dan memakai rias yang membuat warna kulitnya mempunyai kesan
gelap. Ia pun selalu mengenakan kacamata hitam, melindungi
matanya tak tahan sinar matahari.
"Saya merasa asing," katanya. "Saya tak tahu apa yang harus
dikatakan kalau orang-orang menyetop saya di jalanan dan
bertanyakan keturunan saya. Saya bilang bahwa saya dilahirkan
hitam dan tetap hitam sampai sekarang. Tapi mereka tampaknya
geli.
"Tatkala anak saya masih kecil, orang biasa bertanya apakah saya
mengasuh anak-anak itu untuk ibu mereka. Pertanyaan yang sangat
menyakitkan hati."
Belum lagi menghadapi ulah anak-anak. Sekali waktu, pada hari
penembakan Martin Luther King, sekitar 13 anak tanggung negro
menguntit Eddie Mae sampai ke depan pintu rumahnya. Mereka
mencaci maki dia, dan menyemburkan sejumlah cercaan yang biasa
diperuntukkan wanita kulit putih. "Saya bilang pada mereka baha
saya negro," kata Eddie Mae. Tapi anak-anak badung itu ketawa.
Seorang gadis tanggung malah memukul Eddie Mae. "Saya sampai
menangis," katanya.
DUA minggu kemudian gadis tanggung itu datang ke rumah Eddie
Mae, dibawa kedua anak perempuannya. "Dia tak tahu kalau saya
ibu temannya. Saya sebetulnya ingin memukulnya, tapi melihat air
mukanya saya tak sampai hati."
Kenangan paling buruk buat Eddie Mae adalah pertemuan dengan
ayahnya, beberapa tahun setelah kulitnya berubah putih. Orang
tua itu tetap tinggal di Georgia. "Dia tampak sangat terkejut,"
tutur Eddie Mae. "Tapi dia mengulurkan tangannya. Saya
menghambur ke dalam pelukannya."
Di luar segala usaha pengobatan yang tampaknya tak menjanjikan
banyak harapan, Eddie Mae tak kunjung putus berdoa. "Saya tetap
berharap akan bangun suatu pagi, dan menemukan diri saya hitam
kembali, sama eloknya dengan warna kulit anak dan ibu saya."
Sang ibu meninggal beberapa tahun lalu, tetap tersiksa dengan
penderitaan yang menimpa diri anaknya.
Dengan anak-anaknya sendiri Eddie Mae tak ada soal. Kedua anak
perempuan itu memperlihatkan sikap tak berubah terhadap ibu
mereka. Ketika masih kecil, mereka memang sering bertanya:
"Mommy, mengapa anda putih dan kami hitam?"
"Saya tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu," kata Eddie
Mae. Kadang-kadang anak-anak itu juga membawa kawan-kawan mereka
ke rumah. Tak jarang para tamu kecil itu berbisik-bisik, lalu
pulang dengan perasaan aneh.
Belakangan ini Eddie Mae beroleh gagasan menjual ceritanya
kepada perusahaan televisi. Ia juga agak berbesar hati setelah
dihubungi oleh salah seorang produser Hollywood. Namun belum
satu pun menjanjikan harapan yang pasti.
Sementara itu, Eddie Mae membuka hubungan surat-menyurat dengan
seorang pria negro yang sedang mendekam di penjara. Lelaki itu
mengenal Eddie Mae dari penampilannya di layar televisi, ketika
menceritakan kasusnya.
Kepada Rachel Griggs, Eddie Mae memperlihatkan potret sang
sahabat pena. "Lelaki berotot, dengan potongan badan yang
bagus," kata Rachel dalam tulisannya. Dan pria itu sudah
mengajak Eddie Mae menikah, tentu setelah masa hukumannya
selesai.
Tapi Eddie Mae sendiri tak begitu yakin. "Siapa tahu dia hanya
mengharapkan uang saya, dari TV-show yang masih dalam
angan-angan itu?" katanya mengajuk. "Lagi pula, cobalah lihat
penampilan saya baik-baik. Betulkah ada orang yang secara tulus
sudi menyunting saya? "Betulkah?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini