Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bila hitam menjadi putih

Seorang perempuan negro, eddie mae kearney, 42, kulitnya berubah menjadi putih (bule). tak kuat menanggung sinar matahari dan matanya tak mampu menentang cahaya. (sel)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIDUP tampaknya suram kelabu untuk Eddie Mae Kearney, 42 tahun, sejak musibah yang sangat unik menimpanya. Sudah 24 tahun berlalu. Lihatlah kehidupan macam apa yang dijalaninya sekarang ini. Menyendiri di sepetak ruangan bawah tanah yang disewanya di daerah pinggiran Westbury, hanya sejam berkendaraan mobil dari belantaran pencakar langit Manhattan, New York, AS. "Kamar itu pengap," kata Rachel Griggs yang mengunjungi Eddie Mae, dan melaporkan ihwal perempuan negro itu dalam Sunday Times Magazine, 4 Juli 1982. Sistem pemanas sentral yang menghangatkan seluruh rumah tak henti-hentinya berdesis dan beruap. Pipa-pipa telanjang simpang-serius menghias dinding. Di ruangan atas seseorang sedang merebus kaki babi, baunya merambat sampai ke bawah. Sebuah pintu mengantarkan pengunjung ke kamar tidur yang hanya cukup menampung sebuah dipan dan sebuah pesawat televisi hitam-putih. Di depan pesawat televisi itu Eddie Mae melewatkan hari-harinya menonton sandiwara murahan, satu-satunya jalan melupakan kenyataan hidupnya yang selalu membingungkan. Di belakang pintu terhampar sepetak kebun yang tak terpelihara. Eddie Mae tak bisa membenahi kebun itu, betapa besar pun hasratnya. Kulitnya yang bule tak kuat menanggung sinar matahari. Dan matanya tak mampu menentang cahaya. Kunjungan Rachel tampaknya membersitkan sejemput kegembiraan di kamar itu. Eddie Mae mengeluarkan sejumlah foto kenang-kenangan, menunjukkan potret rumah orang tuanya di Georgia, di selatan yang jauh. Ada pula foto Eddie Mae sendiri ketika berusia belasan tahun, "menarik dan berkulit hitam," seperti layaknya perempuan negro. Kemudian muncullah foto dari tahun yang lebih akhir: Eddie Mae dengan anak-anak perempuannya yang manis. Pada potret yang belakangan ini Eddie Mae sudah berubah: rambut dan kulitnya putih belaka! Tak ada yang tahu pasti kapan musibah itu tepatnya mulai. Pada usia 18 tahun, Eddie Mae harus menjadi langganan rumah sakit untuk pengobatan tuberculosis. Setelah menjalani serangkaian terapi antibiotika, kulitnya mulai bertambah hitam. Eddie Mae kemudian menjalani operasi. Di tengah operasi itulah, jantungnya tiba-tiba berhenti berdenyut. Para dokter berjuang menyelamatkan jiwa perempuan negro itu. Tiga minggu ia dalam keadaan setengah sadar, di ruangan perawatan intensif. Selama masa itu, kulitnya mulai retak dan mengelupas. Di bawah permukaan yang mengelupas itu tampak kulit baru dengan warna yang mencengangkan. "Ketika aku siuman," tutur Eddie Mae mengenang, "yang tampak pertama kali adalah kedua tanganku yang putih. Aku memperhatikan tubuhku. Seluruh permukaan kulitku sudah berubah menjadi putih." Ia menjerit panik. "Para dokter dan perawat tak mau mengambilkan cermin. Mereka malah berusaha membuat aku tidur kembali." Eddie Mae baru berada dalam keadaan sadar sepenuhnya pada 10 November 1959. Dan ia harus berhadapan dengan kenyataan. Seperti yang tercatat pada laporan para dokter di Nassau County Medical Centre, New York: "wanita muda kulit berwarna, penderita TBC, mengalami pengelupasan kulit setelah menjalani pengobatan, kini pasien depigmentasi." Bukan hanya sekedar kulit, rambutnya pun berubah warna menjadi putih. PERISTIWA ini mengejutkan setiap orang," kata Eddie Mae. Tentu maksudnya setiap orang di dalam keluarganya. Ibunya terguncang. Kedua anaknya tiba-tiba tak lagi mengenalinya. Salah seorang saudara perempuannya tak sudi bertemu muka, karena khawatir "penyakit" itu menular. Sedangkan suaminya, yang sebelumnya sudah menceraikannya, tak lagi pernah menampakkan diri. Lebih 20 tahun Eddie Mae bergulat dengan kenyataan yang tak pernah terpikirkan ini. Berusaha menyesuaikan diri sebagai wanita negro berkulit putih. Baru pada beberapa tahun terakhir ia merasa menemukan jalan keluar. Langkah pertama yang diambilnya ialah menyembunyikan diri dari dunia. Ia berhenti bekerja. Jarang keluar rumah, kecuali ke dokter dan rumah sakit, atau menjenguk sanak saudaranya di pedalaman Selatan. Kemudian, ia menudungi dirinya dari kepala sampai tumit. Ia memakai wig, kemudian menyemir rambutnya jadi hitam. Namun semua usaha itu nyaris sia-sia. Anak-anak negro tetap saja memperolok-olokkannya di jalan, orang dewasa tak jarang menghina dan mencerca. Dan ironi itu menjadi komplit tatkala Eddie Mae ditolak masuk sebuah restoran negro di kampung halamannya sendiri, Georgia. "Kami tak menerima tamu kulit putih di sini," kata Eddie Mae menirukan penjaga pintu restoran negro itu. Lama kemudian baru Eddie Mae "berbaikan" kembali dengan dunia, terutama berkat dorongan anak-anak perempuannya. Kadang-kadang ia bahkan kencan dengan teman pria. "Beberapa di antara mereka lelaki kulit putih," kata Eddie Mae bercerita. "Mereka tak sadar saya mempunyai kelainan. Baru setelah melihat anak-anak saya, mereka menjadi bingung." Pada 1979 Eddie Mae hampir terlompat kegirangan. Ia merasa doa yang dipanjatkannya bertubi-tubi selama 20 tahun mendapat jawaban. Bangun tidur pada suatu pagi, ia melihat tangannya agak hitam. Pemeriksaan lanjutan memperbesar harapan. Di sekujur tubuhnya muncul bercak-bercak hitam. Namun bercak itu tidak bertambah besar. Tetap saja begitu, bahkan bagaikan noda hitam. Jari, telapak tangan, dan kakinya menjadi hitam. Tapi dahi, hidung, mulut, pipi, lengan dan betis penuh bercak hitam di atas kulit yang berwarna bule. "Saya tak berani melihat diri saya sendiri di cermin," katanya. "Saya hanya keluar untuk mengunjungi dokter, itu pun setelah menutupi seluruh tubuh saya, tak ubahnya orang Eskimo. Saya betul-betul malu." Tiga tahun lamanya ia bergelut mengatasi akibat perubahan itu. Sementara para dokter di Universitas Yale, New Haven, Connecticut, berusaha menemukan obat penawar yang ampuh. Sebagian besar ahli yang ditemui Eddie Mae berpendapat sama. Bahwa ia menderita vitiligo, suatu kondisi yang menghancurkan pigmen. Boleh jadi juga telah terjadi semacam autoimunitas, situasi yang menyebabkan tubuh melawan dan menghancurkan selnya sendiri. Mungkin juga perubahan itu terjadi akibat alergi. Dalam hal Eddie Mae, kecurigaan dialamatkan kepada antibiotika. Dari sudut lain, perubahan itu bisa juga terjadi lantaran anaemia. Pengaruhnya dapat mengubah warna rambut dan kulit. Namun diagnosanya yang pasti tetap sulit disimpulkan. BAGAIMANAPUN, para ahli Yale setidak-tidaknya berusaha menenangkan Eddie Mae. "Mereka tak tahu apa yang salah pada diri saya," tutur Eddie Mae kepada Rachel Griggs. "Mereka tetap berusaha mencari sebab dan penangkalnya." Terakhir kali Eddie Mae diperiksa, "150 ilmuwan meneliti saya dari atas ke bawah." Mereka kemudian memberikan sejenis krim untuk dicoba. "Krim pemutih" itu bagaikan mukjizat bagi Eddie Mae. Dua bulan setelah mengoleskannya, jari-jemari Eddie Mae mulai berangsur putih kembali. Bercak-bercak hitam itu hilang, sedikit demi sedikit. Tapi bila ia berhenti mengoleskannya, bercak itu kembali muncul di sana-sini. Apa lagi mendapatkan krim itu sendiri bukan perkara gampang. Dari uang santunan yang diterimanya, Eddie Mae harus menyisihkan US$ 11,35 untuk setiap tube krim, yang diperlukannya tiap seminggu. Ada saat-saat Eddie Mae mengalami kesepian yang sangat. Kedua anak perempuannya -- masing-masing 25 dan 26 tahun -- kini bekerja di Angkatan Bersenjata. Hanya tiga dari delapan saudaranya yang mau berhubungan dengan dia. Salah seorang saudara itulah yang bersedia membantu mengubah ruangan di bawah tanah itu menjadi tempat tinggal yang agak layak. Salah seorang saudara perempuannya tetap menganggap "penyakit" itu menular. "Saya memang bisa datang dan menginap di rumah mereka beberapa hari," kata Eddie Mae. "Tapi saya dengar, segera setelah saya pergi mereka mensterilkan semua piring dan sendok garpu yang pernah saya pakai." Sekali waktu hampir saja ia bunuh diri lantaran putus asa. "Cobalah pikir," katanya. "Kedua orang tua saya telah tiada. Anak sendiri hidup di tempat lain. Hidup menjadi sangat sepi." Ia merencanakan meloncat dari tingkat lima sebuah gedung. Ia menangis dan mendoa, sudah siap memegangi ambang jendela. Entah bagaimana, "tiba-tiba saya menemukan diri saya kembali di tempat tidur," Tak seorang sanak pun mau mendekat untuk sekedar mengucapkan "sabarlah, tak apa-apa." Sungguh, katanya, "saya nyaris tak mempunyai kerabat yang bisa diajak berbicara setiap waktu." Kini keadaan memang agak baik. Ada "beberapa nyonya di tingkat atas, sepasang sahabat lama, serta Barbara Castagna dan Josephine Sorrentino di poliklinik. Mereka kadang-kadang berbicara dengan saya, meyakinkan saya supaya tak perlu merasa malu." Dokter negro yang khusus mengobati Eddie Mae sendiri tak bisa berbuat banyak. "Ia realistis," kata Rachel Griggs. Ia hanya bisa "meluangkan waktu setiap beberapa minggu, sekedar untuk berbicara dan menenangkan" sang pasien. Tak ada pengobatan khusus yang diberikan kepada Eddie Mae. Hanya sugesti agar ia menerima kenyataan dan memandang segalanya sedikit lebih cerah. Riset mengenai kelainan ini hampir tak pula dilakukan orang, sebab kasusnya sangat jarang. Tak ada pengobatan khusus depigrhentasi dalam dekade 60-an, misalnya. Padahal kelainan itu justru mengubah hidup seorang seperti Eddie Mae. Di kalangan masyarakat kulit berwarna ia ditolak karena warna kulitnya yang putih, di tengah masyarakat kulit putih ia tentu tak bisa diterima karena jelas keturunan negro. Namun secara berangsur-angsur keadaan tampaknya bertambah baik. "Dia mulai berhasil menyesuaikan diri dengan kenyataan ini," kata Dr. Scheiner. "Perhatian dan kesungguhan yang diperlihatkan dalam meneliti kasusnya telah berhasil menyingkirkan kekhawatirannya. Ia mulai menikmati hidup." Adalah Dr. Scheiner yang menerangkan, perawatan yang diterima Eddie Mae untuk penyakit TBC-nya, serta terapi sinar-X yang dialaminya telah menyebabkan kerusakan hormonal. Semua pigmen sirna dari sel individualnya. "Secara medis," kata Scheiner, "sangat kecil harapan kulitnya bisa menjadi hitam kembali." Scheiner mengamati Eddie Mae sejak kulitnya berubah menjadi bule. "Dan kini kondisinya sudah stabil," kata sang dokter. "Dia sama putihnya dengan saya, dan saya pikir warna kulitnya akan tetap demikian. Saya tak pernah menemukan kasus seperti ini sebelumnya. Betul-betul unik." Di dalam kehidupan ini kita berbicara tentang 'hitam' dan 'putih'. Padahal, kata Rachel Griggs, "dalam realitas hanya para albino yang betul-betul putih." Sisanya memiliki warna kulit yang agak gelap oleh melanin, sebangsa 'gincu' yang tertanam di dalam kulit. Jumlah melanin dan faktor keturunanlah yang menghasilkan pelbagai warna kulit, bervariasi dari warna pucat sampai legam seperti kebanyakan penghuni Afrika. Warna kulit "ras hitam" dipertegas oleh sel-sel hitam yang bernama melanocyte di permukaan kulit. Tapi penjelasan tetek-bengek ini tentu tak ada artinya untuk Eddie Mae Kearney. Ia hanya tahu dulu kulitnya 'hitam' dan sekarang 'putih', tak diterima di kalangan 'hitam' atau 'putih', tapi menarik perhatian orang dari segala warna. Meski warna kulitnya sudah berubah, Eddie Mae tak mungkin mengubah citranya menjadi seorang wanita kulit putih. Ia tetap tinggal di lingkungan masyarakat kulit berwarna. Rekan dan sanak saudaranya tetap orang negro. Ia menyemir rambutnya jadi hitam, dan memakai rias yang membuat warna kulitnya mempunyai kesan gelap. Ia pun selalu mengenakan kacamata hitam, melindungi matanya tak tahan sinar matahari. "Saya merasa asing," katanya. "Saya tak tahu apa yang harus dikatakan kalau orang-orang menyetop saya di jalanan dan bertanyakan keturunan saya. Saya bilang bahwa saya dilahirkan hitam dan tetap hitam sampai sekarang. Tapi mereka tampaknya geli. "Tatkala anak saya masih kecil, orang biasa bertanya apakah saya mengasuh anak-anak itu untuk ibu mereka. Pertanyaan yang sangat menyakitkan hati." Belum lagi menghadapi ulah anak-anak. Sekali waktu, pada hari penembakan Martin Luther King, sekitar 13 anak tanggung negro menguntit Eddie Mae sampai ke depan pintu rumahnya. Mereka mencaci maki dia, dan menyemburkan sejumlah cercaan yang biasa diperuntukkan wanita kulit putih. "Saya bilang pada mereka baha saya negro," kata Eddie Mae. Tapi anak-anak badung itu ketawa. Seorang gadis tanggung malah memukul Eddie Mae. "Saya sampai menangis," katanya. DUA minggu kemudian gadis tanggung itu datang ke rumah Eddie Mae, dibawa kedua anak perempuannya. "Dia tak tahu kalau saya ibu temannya. Saya sebetulnya ingin memukulnya, tapi melihat air mukanya saya tak sampai hati." Kenangan paling buruk buat Eddie Mae adalah pertemuan dengan ayahnya, beberapa tahun setelah kulitnya berubah putih. Orang tua itu tetap tinggal di Georgia. "Dia tampak sangat terkejut," tutur Eddie Mae. "Tapi dia mengulurkan tangannya. Saya menghambur ke dalam pelukannya." Di luar segala usaha pengobatan yang tampaknya tak menjanjikan banyak harapan, Eddie Mae tak kunjung putus berdoa. "Saya tetap berharap akan bangun suatu pagi, dan menemukan diri saya hitam kembali, sama eloknya dengan warna kulit anak dan ibu saya." Sang ibu meninggal beberapa tahun lalu, tetap tersiksa dengan penderitaan yang menimpa diri anaknya. Dengan anak-anaknya sendiri Eddie Mae tak ada soal. Kedua anak perempuan itu memperlihatkan sikap tak berubah terhadap ibu mereka. Ketika masih kecil, mereka memang sering bertanya: "Mommy, mengapa anda putih dan kami hitam?" "Saya tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu," kata Eddie Mae. Kadang-kadang anak-anak itu juga membawa kawan-kawan mereka ke rumah. Tak jarang para tamu kecil itu berbisik-bisik, lalu pulang dengan perasaan aneh. Belakangan ini Eddie Mae beroleh gagasan menjual ceritanya kepada perusahaan televisi. Ia juga agak berbesar hati setelah dihubungi oleh salah seorang produser Hollywood. Namun belum satu pun menjanjikan harapan yang pasti. Sementara itu, Eddie Mae membuka hubungan surat-menyurat dengan seorang pria negro yang sedang mendekam di penjara. Lelaki itu mengenal Eddie Mae dari penampilannya di layar televisi, ketika menceritakan kasusnya. Kepada Rachel Griggs, Eddie Mae memperlihatkan potret sang sahabat pena. "Lelaki berotot, dengan potongan badan yang bagus," kata Rachel dalam tulisannya. Dan pria itu sudah mengajak Eddie Mae menikah, tentu setelah masa hukumannya selesai. Tapi Eddie Mae sendiri tak begitu yakin. "Siapa tahu dia hanya mengharapkan uang saya, dari TV-show yang masih dalam angan-angan itu?" katanya mengajuk. "Lagi pula, cobalah lihat penampilan saya baik-baik. Betulkah ada orang yang secara tulus sudi menyunting saya? "Betulkah?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus