ADA ribut-ribut lagi di Jawa Timur, terutama di Kabupaten Jember
dan Bondowoso. Terbetik berita, sejak bulan puasa lalu beberapa
sosok mayat ditemukan di sawah atau hanyut di sungai. Penduduk
yang menyaksikan memperkirakan mayat-mayat itu adalah para
bromocorah (residivis) dan beberapa di antaranya tukang santet
(tenung). Sumber TEMPO menyebut jumlah mayat itu mencapai 30
hingga 40.
Ini mengingatkan orang pada kejadian tahun lalu. Menurut
keterangan resmi Laksuda Ja-Tim waktu itu, 15 bromocorah dan 12
tukang santet menjadi korban. Sebagian karena dikeroyok massa,
lainnya oleh peluru petugas karena mereka melawan atau melarikan
diri ketika hendak ditangkap.
Kali ini pun agaknya hampir serupa. Cerita itu bermula dari
peristiwa perampokan di rumah H. Gaffar, penduduk Desa
Kedunglangkap, Kecamatan Kencong, Jember, dinihari 27 Juni lalu.
Pada malam bulan puasa itu, seorang penduduk memergoki sekawanan
perampok mendobrak pintu rumah H. Gaffar. Kentongan segera
dipukul, yang lalu disambut riuh oleh masyarakat yang sudah
mengenal siskamling (sistem keamanan lingkungan). Penjahat yang
baru berhasil menyabet uang Rp 3 5 ribu, berlari sembari merusak
perabotan di rumah itu.
Masyarakat, petugas Koramil dan Kosek setempat yang dilapori,
segera mengejar. Kawanan penjahat itu rupanya sembunyi di daerah
rawa di pedukuhan Jatisari. Koptu M. Choiri dari Koramil yang
lebih dulu tiba di daerah rawa, tiba-tiba diserang hingga tulang
punggungnya patah dan perutnya kena clurit. Ia meninggal di
tempat kejadian. Serka Pol. Meoji dari Kosek segera melepas
tembakan peringatan. Tapi dia malahan diserang pula, hingga
terpaksa melepas tembakan yang melukai tiga penjahat. Dia
sendiri terluka kepala dan lengannya.
Pada beberapa bulan terakhir, Kecamatan Kencong yang berpenduduk
120 ribu jiwa itu memang kurang aman. "Kami sering dag dig dug,
takut mendapat giliran sasaran penjahat," kata Masykur, seorang
tokoh masyarakat di Kencong. Yang meresahkan adalah karena
bromocorah yang kebanyakan sudah dikenali identitasnya oleh
penduduk itu, terkadang secara terang-terangan menjalankan
aksinya. Tak hanya merampok, bila ada yang menghalangi mereka
konon juga tak segan-segan membunuh atau memperkosa korbannya.
Aparat keamanan bukannya tak unggap. Tapi setiap petugas terjun
ke suatu daerah penjahat beroperasi di sempat lain Medan di
daerah Jember dan Bondowoso yang sering dikacau penjahat itu
memang tak menguntungkan. Dikelilingi hutan, perkebunan atau
rawarawa. Lokasinya juga jauh dari pusat kota.
Maka ketika di Kencong pada malam takbiran rumah Mukti, 45
tahun, didatangi sekawanan orang bersepeda motor, mengenakan
jaket blujin dan berambut gondrong, penduduk tak segera bisa
menghubungi polisi. Mukti yang dulunya dikenal sebagai
bromocorah itu, esok harinya kedapatan sudah menjadi mayat. Ia
tergeletak di sawah, tak berapa jauh dari rumahnya, dengan luka
di dada.
Di malam yang sama, Sunar, 55 tahun, yang juga dikenal sebagai
bromocorah mayatnya kedapatan terapung di sungai. Sampai kini,
belum jelas, siapa sebenarnya sekawanan orang bersepeda motor
yang membunuh Mukti dan Sunar itu.
Tapi Danres 1033 Jember, Letkol Pol. Soekirno Hs, dalam acara
syukuran dua pekan lalu merasa lega. "Penduduk Jember sekarang
boleh tidur nyenyak," katanya. Menurut dia, kamtibmas di Jember
kini jauh lebih baik ketimbang beberapa bulan lalu.
Juga angka kriminalitas di sondowoso jauh menurun. Sampai Juli
lalu hanya terjadi sekitar Soo kasus, padahal tahun lalu terjadi
2.545 kasus. Namun Danres 1031 Bondowoso, Letkol Pol. Eddy
Soetjipto, mengakui mutu kriminalitas kali ini meningkat.
Seperti pengeroyokan oleh penduduk terhadap seorang yang diduga
tukang santet, belum lama ini.
Komandan Kores 1031 yang berperawakan seperti petinju Mohammad
Ali itu membenarkan ditemukannya sesosok mayat bromocorah di
Kecamatan Tamanan beberapa waktu lalu. Tapi, katanya, mayat itu
nampaknya berasal dari daerah lain. Ditaruh di Tamanan "mungkin
supaya timbul anggapan bahwa daerah Bondowoso tidak aman," kata
Soetjipto. Ia juga membenarkan soal tertembak matinya seorang
bromocorah di bilangan Cerme, karena ia mencoba melarikan diri
ketika disergap petugas. "Masalahnya kini sedang diselesaikan
secara hukum," katanya.
Berapa persisnya bromocorah dan tukang santet yang mati beberapa
bulan terakhir ini, sulit diketahui. Ada yang menyebut angka 30
sampai 40. Tapi Kadapol X Jawa Timur, Mayjen Pol. Pamoedji, dua
pekan lalu menyatakan angka itu kelewat dibesar-besarkan. Isu
itu, katanya, mungkin dilontarkan oleh keluarga bromocorah
dengan tujuan agar polisi menghentikan operasinya menumpas
penjahat. "Tapi kami tak akan berhenti hanya karena isu semacam
itu," kata Pamoedji.
Menurut Pamoedji, kalau benar bromocorah yang rnati mencapai
angka 40, berarti tahun ini sudah ada 63 orang pelaku tindak
kriminal yang ditembak petugas (tidak sampai mati) karena
mencoba melawan. Namun Pamoedji membenarkan ditemukannya lima
mayat di daerah Besuki. Tak ada bekas luka tembak di tubuh
mereka. Dua di antaranya sudah jelas diketahui karena
pengeroyokan massa. Yang lain tambah Pamoedji, diperkirakan
mayat gelandangan yang mati terlantar atau karena tenggelam di
sungai.
Memang diakui ada bromocorah yang terkena tembakan polisi karena
melawan waktu akan ditangkap. Jumlahnya tujuh orang. "Tapi
mereka tak sampai meninggal, hanya luka-luka saja," kata
Pamoedji lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini