Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kasus terjemahan hb yassin

Al-quran terjemahan hb yassin mendapat tantangan. hb yassin dianggap kurang kompeten sebagai penterjemah. dia juga tak cukup terdidik dalam bidang agama. tapi masih ada masalah lain yang lebih menarik.

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, terjemahan Alquran yang dilakukan HB. Jassin jadi juga terbit cetakan keduanya. 'Bacaan Mulia', Penerbit Yayasan 23 Januari 1942, Jakarta, 1982, xxxviii + 891 halaman. Cetakan kedua itu terbit di sekitar hari ulang tahun Jassin yang ke-5, menjadi semacam hadiah ulang tahun baginya. Mungkin sebagai persiapan memasuki 'masa pensiun' -- walaupun dalam kenyataan tidak akan pernah ada masa seperti itu bagi orang seperti penerjemah yang satu ini. Tentu juga suara yang menentang dan tidak menyetujui kerja Jassin itu juga akan berkumandang lagi. Walaupun mungkin tidak akan seramai dahulu. Argumentasi demi argumentasi akan dilancarkan, mungkin sebagian besar pengulangan apa yang telah dilontarkan di masa lalu. Tapi masih belum jelas apakah akan mampu semua serangan atas 'Bacaan Mulia' itu menahan beredarnya karya terjemahan itu di tengah-tengah masyarakat. Yang menarik perhatian dalam kasus ini adalah konteksnya: penolakan lembaga-lembaga agama yang telah mapan, atas dasar alasan keagamaan yang bersifat formal, ternyata tidak mampu menghentikan beredarnya sebuah karya yang dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai 'karya agama'. Dengan kata lain, sesuatu yang secara keagamaan formal dinilai 'mbeling', ternyata dapat merebut hati masyarakat. Adapun keberatan yang diajukan terhadap terjemahan Jassin itu menyangkut hal-hal yang prinsipil, dipandang dari sudut ajaran agama Islam. Secara umum, serangan dan keberatan dapat dibagi dua. Pertama serangan yang meragukan kompetensi Jassin sebagai penerjemah. Khususnya menyangkut kemampuannya memahami Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab klassik. Jika kemampuan itu tak cukup, sahkah hasil terjemahannya sebagai sesuatu yang secara formal bersifat keagamaan? Kedua, boleh atau tidakkah seseorang yang secara formal tidak -- dididik untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama Islam, melakukan kerja penerjemahan kitab suci Alquran? Di sini masuk pula sejumlah tuduhan yang menolak kepatutan moral (moral fitness) Jassin pribadi untuk melakukan 'kerja keagamaan' tersebut. Tadinya diharapkan akan terjadi perdebatan terbuka. Sejumlah forum yang akan melakukan dialog seperti itu bahkan telah dipersiapkan. Bahkan penulis kolom ini pun pernah diminta oleh Koordinator Dakwah Islamiyah (KODI) DKI Jakarta Raya untuk mempersiapkan sebuah makalah tentang masalah di atas. Sayang, semua harapan itu tidak terpenuhi sama sekali. Sebab pertama adalah karena tidak adanya perkenan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, tembaga pemerintahan yang diserahi menyelesaikan masalah penerjemahan Alquran oleh Jassin itu. Alasan yang dibisik-bisikkan ialah: kasus ini terlalu sensitif, bisa menimbulkan "gejolak di masyarakat". Masalahnya lalu diserahkan kepada sebuah team peneliti, tanpa diketahui apa yang diperdebatkan di dalamnya. Padahal masalah yang dipersoalkan sebenarnya menyangkut sejumlah hal yang sangat menarik untuk diketahui kejelasannya. Misalnya, bagaimana sesuatu yang indah secara manusiawi harus dihadapkan kepada sikap formal agama? Apakah persyaratan formal yang harus dimiliki seorang penerjemah Alquran menentukan keabsahan setiap karya terjemahan Kitab Suci itu? Dapatkah dilakukan terjemahan tidak langsung atas Alquran tanpa penguasaan mendalam atas bahasa Arab? Adakah pengaruh moralitas dan perilaku pribadi seorang penerjemah terhadap sah atau tidaknya karyanya -- terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan yang dilancarkan terhadap Jassin? Sayang, lepaslah sudah peluang untuk memahami hal-hal tersebut secara mendalam. Padahal secara keseluruhan hal-hal itu dapat juga ditelusuri adanya dalam banyak 'kasus-kasus lain di bidang keagamaan. Sebagaimana setiap kasus yang dipecahkan secara institusional belaka, tanpa perhatian cukup kepada aspek intelektualnya, penanganan 'di bawah tangan' atau 'Bacaan Mulia'-nya H.B. Jassin sebenarnya hanya menunda persoalan belaka. Kemudian hari, toh masih akan ada orang melakukan kerja penerjemahan Alquran, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus