Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Imigran baru asia di amerika

Para imigran asia, sebagian dari arus populasi yang sedang mengubah wajah as. di mata orang asia, as adalah tanah impian. sumbangan asia bagi kependudukan as hanya 1,6 %. (sel)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BROADWAY, udik barat Manhattan, New York. Terlihat wajah seorang Korea di belakang meja pajangan toko sayuran dan buah-buahan. Jangan kaget -- di sana dulu anda lihat berdiri seorang Italia. Sebuah kereta 7.56 pagi memasuki Stasiun Hartsdale, Westchester, dalam persinggahan menuju New York City. Gerbong-gerbong penumpang penuh. Tapi jangan tercengang: separuh di antaranya orang Jepang -- dengan seragam serba gelap dan jas jinjing kulit di pangkuan. Di sebuah pabrik di California, beratus Jepang dan Cina sedang melayani mesin-mesin -- yang dulu ditangani sejumlah orang Korea dan Taiwan. Di Orange County, California, begitu banyaknya imigran Asia Tenggara menyerbu, hingga sekolah-sekolah perlu menggaji guru-guru yang paham berbagai bahasa dan dialek Asia. "Para imigran Asia ini adalah sebagian dari arus populasi yang sedang mengubah wajah Amerika," tulis Robert Lindsey dalam The New York Times Magazine. Menurut sensus 1980, orang Asia adalah kelompok etnis di Amerika yang berkembang paling cepat selama 1970-an -- menjadi 3,5 juta orang, atau meningkat sekitar 125%. Pada pertukaran abad dulu, berjuta orang Eropa mengarungi Atlantik untuk menghindari kesewenangan kekuasaan, diskriminasi politik dan rasial. Dan di penghujung abad ini berbagai bangsa Asia -- Korea, Filipina, Cina, Thai, Jepang, Vietnam, Kamboja -- mengikuti jejak bangsa-bangsa Eropa untuk mencari hidup dan kesempatan yang lebih baik. "Dan, kecuali kalau Kongres mengusulkan peraturan pencegahan, imigrasi ke Amerika itu barulah sebuah permulaan," menurut Lindsey. Beberapa peneliti kependudukan memperkirakan, populasi bangsa-bangsa Asia tahun 1980-an rata-rata tumbuh lebih cepat dibanding tahun-tahun 1970-an. Ini disebabkan oleh jumlah angka kelahiran rata-rata di kalangan orang Asia, suatu kebiasaan yang dibawa dari kampung masing-masing. DI mata orang Asia, Amerika adalah tanah impian. Tapi, dengan membanjirnya orang Asia itu, makna apa yang didapat oleh seuah negeri yang begitu dalamnya berakar pada kebudayaan Eropa, baru kini dapat dlduga-duga. Dengan gelombang-gelombang migrasi seperti sekarang ini, 'sumbangan' Asia bagi kependudukan Amerika baru hanya sekitar 1,6%. "Namun pengaruh mereka mulai menyebar dengan cepatnya," tulis Lindsey. "Dari musik konser yang kita dengar, sampai makanan yang kita makan, dan bagaimana kita mempersiapkannya. Dari pakaian yang kita pakai sampai dekorasi rumah yang kita tata. Bahkan sampai selera kehidupan baru yang ditambahkan orang-orang Asia kepada masyarakat kota kita di seluruh negeri. Dan ini: semangat kewiraswastaan yang ulet, yang tidak didapati lagi di Amerika dalam beberapa dasawarsa terakhir." Memang, semangat para koboi dan pionir Amerika kini hanya tersisa dalam film-filmnya saja. Memang, para imigran Asia itu memakai gaya Barat dalam karya seni dan musik mereka sekarang, dan menanggalkan warisan kebudayaan nenek moyangnya. Namun dalam ungkapan-ungkapan yang subtil, yang halus, mungkin tanpa disadari, orang Asia mulai menyelusupi kebudayaan Eropanya orang Amerika dengan citarasa baru yang kaya. Seorang guru musik di Juilliard School, New York, melihat hal itu di dalam "arus dasar musik sejumlah orkestra yang alat-alat musik geseknya dimainkan oleh para pemain Korea dan Cina." Ini, menurut dia, "mewarnai seni kita, yang dengan baiknya di dalam bahasa Jepang disebut dengan shibui." Shibui ini adalah konsep pemungilan, kesederhanaan yang halus yang dicapai dengan menghindari detil-detil tambahan yang tidak perlu. Relatif sama dengan para pendatang Asia dalam hal jumlah, orang Yahudi Eropa di abad lampau datang ke Amerika membawa pengaruh dalam kehidupan kebudayaan, ilmu dan bisnis. Tapi "orang Asia tampaknya membawa pengaruh jauh lebih besar dari jumlah mereka," tulis Lindsey. Beberapa persamaan (tingkah laku, kebiasaan, pengaruh yang dibawa) antara orang Asia dan Yahudi cukup mencengangkan, kata Arthur H. Rosen, Presiden Komite Nasional Hubungan Cina-AS. "Ada persamaan dalam hubungan kekeluargaan yang kuat, dan dorongan pengorbanan yang sama di kalangan para imigran -- yang umumnya tidak berpendidikan tinggi itu -- agar anak-anak mereka dapat menikmati pendidikan setinggi mungkin." Sebagian imigran Asia memang masih takut pada purbasangka laten orang putih terhadap segala sesuatu yang timur, yang secara berkala timbul dalam sejarah Amerika. Namun orang Asia yang telah berada di Amerika beberapa tahun, cenderung memiliki sikap politik yang lebih mantap dibanding beberapa minoritas etnis lain. Sebagai sebuah kelompok, mereka cukup berpendidikan. Juga memperoleh cukup informasi tentang berbagai masalah politik -- dan tampaknya sedang mencoba memainkan peranannya di dalam pemerintahan. "Setelah memperoleh kewarganegaraan, para pendatang baru cenderung memberikan suaranya kepada Partai Demokrat," tulis Lindsey. "Namun wiraswasta Asia-Amerika umumnya adalah konservatif-konservatif yang tangguh." Seperti orang-orang bisnis Amerika, mereka juga menilai Ronald Reagan berani dalam kampanye pemilihan presiden 1980. Jumlah orang Asia yang berhasil dan menjadi makmur di kampung halaman yang baru itu, tergambar dalam statistik yang baru-baru ini diterbitkan Biro Sensus AS. Di situ terlihat, orang Asia rata-rata berpendapatan tertinggi dibanding kelompok etnis mana pun di negeri itu. Yaitu US$ 22.075 berbanding US$19.908 secara nasional sebagai keseluruhan. 19% di antara mereka berpendidikan sekolah menengah, berbanding 69% golongan kulit putih, 51% kulit hitam dan 43% keturunan Spanyol. "Bagaimanapun telah terjadi perubahan mendasar dalam migrasi," kata Kevin F. McCharty. Orang ini adalah ahli demografi yang mengevaluasi imigrasi orang Asia ke Amerika untuk Rand Corporation, sebuah kelompok riset di Santa Monica, California. Para imigran terdahulu, dari Cina maupun Asia Tenggara, lebih terlatih dan ambisius -- bahkan sering orangorang profesional yang berpendidikan. Tapi para pengungsi gelombang kedua, yang tiba dua-tiga tahun terakhir ini, umumnya tak terdidik atau terlatih. "Bahkan dalam bahasa mereka sendiri pun buta huruf," ungkap Lindsey "Amerika harus menghadapi gelombang-gelombang imigran baru ini dengan bertanya pada diri sendiri: apa pengaruhnya terhadap ekonomi?" "Amerika Serikat," kata McCarthy meningkahi, "mempunyai tradisi panjang dalam membuka pintu terhadap para pengungsi akibat tindasan politik di negeri asal mereka. Isu pokok yang harus ditangani di masa datang: mampukah negeri ini menerima berjuta-juta imigran dari negeri-negeri terbelakang, yang datang bukan karena tindasan politik tapi karena mengharap kehidupan yang lebih baik?" Banyak pengungsi yang datang akhir-akhir ini, katanya, muncul sebagai penyebab keresahan sosial-ekonomi. Tindakan-tindakan mereka dalam usaha mencari hidup telah menimbulkan keluhan, bahwa mereka "mulai mengambil bagian pekerjaan orang Amerika sendiri." * * * Tetapi kalau sekarang ini kita berkunjung ke sekitar kawasan yang dihuni mayoritas orang Asia, akan segera kita peroleh gambaran berbagai perbedaan di antara kelompok-kelompok imigran itu. Ada orang bisnis kayaraya asal Seoul yang menjual saham-sahamnya di Korea, dan "duduk di kelas satu pesawat udara, terbang ke Los Angeles dan membeli tunai rumah seharga US$300 ribu dan toko minuman keras seharga US$500 ribu," kata Lindsey. Si Korea yang sudah mapan ini bisa dibandingkan dengan anggota Suku Hmong dari dusunnya yang terpencil dan terkebelakang di Laos, yang datang setelah terapung-apung berhimpitan di dalam perahu yang sempit -- dan buta huruf. Rata-rata imigran Asia punya kekurangan. Stereotip seperti 'suka bekerja keras' dan "gandrung pendidikan', rontok di depan ungkapan-ungkapan 'tak mudah dipahami' dan 'suka mengelompok'. Dan, jika anda dalam suatu kesempatan bertemu mereka di rumah atau di tempat kerja, sebuah kesan segera timbul. Yaitu bahwa mereka masih perlu benar-benar menjadikan diri mereka tangguh, memiliki kekuatan dan ambisi yang besar, agar tetap survive. *** Dalam masa lima tahun terakhir atau lebih, daerah Flushing, Queens, kota New York pinggiran, telah menampung sekitar 10 ribu imigran dari Korea, Cina dan Filipina. Toko-toko milik orang Asia berjejer sepanjang jalan. Kantar-kantor real estate dipapan-namai sekaligus dalam bahasa Korea dan Inggris. Para pengusaha rumah makan menjual makanan daerah asal masing-masing. Berbagai restoran membuat daftar menu dalam dua bahasa dan tulisan: Timur dan Inggris. "Kami baru di Amerika, dan harusbekerja tiga kali lebih keras dari anda," kata Genghis Kim yang tak ada hubungan dengan Ghengis Khan: Ia seorang agen usaha real estate yang tiba di AS dari Seoul 12 tahun lalu, dan sarjana muda dari Universitas Rudgers. "Kami harus saling bantu," katanya. Di pedalaman Orange County, California, terdapat Chi Loi, wanita muda lembut yang tak sempat berdandan. Katanya, ia kabur dari Vietnam Selatan "pada detik-detik terakhir-sungguh, pada detik paling akhir" -- sebelum Saigon jatuh pada 1975. Ia dan suaminya, Dong, masing-masing bekerja di dua bidang pekerjaan sekaligus untuk beberapa tahun lamanya. Mereka ingin membeli sebuah kios di pasar ikan. Dan kios itu bisa dimiliki tahun ini. "Sementara orang Amerika tak menyukai kami," katanya sambil menyikat lantai kiosnya. "Mereka mengira kami datang membawa emas-permata. Saya coba jelaskan, kami bukan orang sekaya itu. Kami bekerja puntang-panting Bung, agar dapat duit." Dan kemudian sambil tersenyum, ia membentangkan lengannya, mempertontonkan tangan wanitanya yang telanjang, kapalan, dan pucat karena selalu terkena air. Kemudahan seperti yang dialami Chi Loi ini belum tentu bisa terjadi terhadap imigran Asia lain. Pada umumnya, apalagi bagi generasi yang lebih awal, mereka harus menghadapi berbagai peraturan keimigrasian yang ketat sebelum benar-benar dapat mendarat. Dan jika berhasil mereka dipaksa menghadapi diskriminasi seru di tempat kerja. "Bagi kebanyakan mereka, itu berarti pencampakan ke jenis-jenis pekerjaan setengah hina sebagai tukang kebun, tukang cuci di restoran atau binatu," tulis Lindsey, kepala biro The Times di Los Angeles itu. Bersama dengan itu, dalam usaha mendirikan kubu perlindungan terhadap kebudayaan dan bahasa asing, mereka cenderung mempraktekkan sejenis separatisme -- mengucilkan diri sendiri. PARA pendatang baru dari Asia acap masih terus memelihara cara hidup berkelompok itu. Banyak di antaranya yang hidup di Amerika dengan cara tinggal di balik pintu tertutup. Toh keadaan sedang berubah, menurut Lindsey. Semakin banyak saja orang Asia yang melarutkan diri dalam arus kehidupan Amerika. Banyak yang malah menempati posisi memimpin di bidang-bidang ilmu, bisnis, musik, seni, arsitektur, busana, teater dan sebagainya. Misalnya Seiji Ozawa. Ia, konduktor Orkes Simfoni Boston, jelas asal Jepang. Yo-Yoma, pemain selo hebat, asal Cina. Myung Whun Chung, yang lahir dan besar di Korea, datang ke Amerika untuk belajar di sekolah musik Julliard, dan kini salah seorang konduktor dan pianis paling menakjubkan. Bisa dilihat, orang Asia telah mulai "menjadi komponen utama musik klasik dunia di Amerika," komentar sang wartawan. Ada sekitar 1.500 seniman Asia bekerja di New York City. Di antara mereka termasuk pelukis-pelukis Arakawa dan Ushio Shinohara, pematung Isamu Noguchi dan pionir senivideo Nam June Paik -- yang dinilai sementara kritikus sebagai juara-juara terbaik masa kini di Amerika. Dalam pada itu I.M. Pei dan Minoru Yamasaki adalah dua nama arsitek yang karya-karyanya paling dipuji di negeri itu. Willa Kim, dibesarkan di tengah keluarga miskin di perkampungan Korea di Los Angeles, tahun lalu memenangkan Tony Award untuk perencanaan kostum pemanggungan Sophisticated Ladies di Broadway. Orang Korea lainnya, Cathy Hardwick (kawin dengan orang Amerika sebelum memulai karir) dihargai sebagai disainer utama pakaian olahraga wanita di wilayah Seventh Avenue, New York. Migrasi juga menghasilkan wiraswasta seperti Dr. An Wang, pendiri Wang Laboratories, pionir pemrosesan kata dengan komputer. Juga para eksekutif seperti MingHsu, yang datang ke Amerika dari Cina di hari-hari akhir Perang Dunia II. Ia merintis karirnya di RCA Corporation, kemudian menjadi salah seorang wakil presidennya. Belakangan wanita ini diangkat menjadi direktur Divisi Perdagangan Internasional untuk Negara Bagian New Jersey. Hiroaki (Rocky) Aokie dalam pada itu membuka sejumlah restoran Jepang. Pada 1976 Amerika memborong semua Hadiah Nobel dan salah seorang di antaranya adalah Dr. Samuel C.C Ting. Ketika ia mengucapkan pidato sambutan, dalam bahasa Inggris, ia mendahuluinya dengan bahasa Cina. "Hanya untuk lucu-lucuan," katanya -- "tapi juga untuk menekankan latar belakang etnisnya yang Cina," komentar Lindsey. Dr. Ting salah seorang di antara beribu-ribu ilmuwan dan pengajar terkemuka asal Asia yang bekerja di lapangan industri dan akademi di Amerika. Itulah kisah sukses orang Asia di Amerika. Belum lagi ribuan lainnya yang suksesnya kurang dramatis: sejak dari pemilik toko grosir sampai pengusaha elektronik yang berhasil. Nyonya Le Thai Hans, misalnya, minggat tujuh tahun lalu dari kampung halamannya yang remuk di Vietnam ke Amerika bagian selatan. Sementara mendekam di sebuah kamp pengungsian di Muangthai, ia bertemu dengan seorang dokter dari pusat pengawasan penyakit yang berpangkalan di Atlanta, AS. Dokter ini berjanji menyeponsori emigrasi keluarganya, juga menjanjikan pekerjaan. Suami Le Thai Hans sendiri, Pruyens, bekas perwira intel Vietnam, tidak bisa berbahasa Inggris. Sesampai di AS ia sulit mcndapat pekerjan, sementara gaji Nyonya Le sendiri tak cukup menopang kehidupan keluarga. "Dan mulailah ia membikin kue telur, yang dijajakannya kepada rekan-rekan sekantor dalam masa santap siang," menurut Lindsey. Sebuah suratkabar kemudian membeberkan kisah perjuangan hidup Le -- termasuk kue telurnya. Pendek cerita, bisnis kue telur ini terkenal -- dan berkembang. Kini ia memiliki dua restoran dan sebuah kios masakan timur di Atlanta. "Sukses saya," kata Nyonya Le, "karena nasib baik, dan hasil kerja 16 jam lebih tiap hari." Dan inilah komentarnya, yang bagai gema impian para imigran masa lalu, dan wasiat pegangan para pengikutnya kini: "Aku percaya, dengan kerja keras anda akan memperoleh apa pun yang anda kehendaki. Pertama-tama anda harus mampu rnenolong diri sendiri." * * * KETIKA para finalis dari Pemandu Bakat Ilmu Westinghouse di tahun 1982 berkumpul di Hotel Mayflower, Washington, sudah tak ada yang heran bahwa 6 dari 40 finalis ternyata keturunan Asia. Padahal jumlah orang Asia hanya secuil persen dari jumlah penduduk Amerika. "Angka ini yang menunjukkan ketidakseimbangan sukses akademis, dianggap sebagai hal yang lumrah," tulis Lindsey. Di sekolah Julliard di dekat Lincoln Center, 15% pendaftar adalah orang Asia. Di kampus Berkeley, Universitas California, sekitar 20% prasarjana kini orang Asia -- kendati mereka hanya 5,3% dari jumlah penduduk setempat. Di fakultas-fakultas ekonomi utama, dari Harvard dan Stanford umpamanya, ketidakseimbangan persentasi antara 'asli' dan 'tidak asli' telah berlangsung hampir satu dasawarsa. SMA Stuyvesant New York adalah 'SMA favorit' -- meminjam istilah sini. Ada 10 ribu pelamar bertarung tahun lalu untuk memperebutkan 750 bangku yang tersedia. Dan "sekitar 20% muridnya adalah Asia," kata Gaspar R. Fabbricante, kepala sekolah. Bagaimana menjelaskan hal ini? tanya sang wartawan. "Ini bertalian dengan budaya dan dukungan keluarga," kata direktur itu. "Orang Asia tampaknya memiliki tradisi keilmuan dan menghargai belajar. Mereka punya daya dorong yang dahsyat". Dengar? Salah seorang finalis Westinghouse bernama Richard Ke-Jen Chang. Senior SMA Stuyvesant ini berusia 17, Cina-Amerika yang datang ke negerinya yang baru itu pada 1973. Ia menggambarkan keluarga Asia begini: "Mereka menghargai tinggi pendidikan. Dan orang-orang tuanya siap mengorbankan hidupnya bagi generasi penerusnya." Entah anda setuju atau tak setuju. Max Watras adalah pemimpin program seni dan musik di Stuyvesant. "Sebagian besar siswa Asia," katanya "saya tahu memiliki anugerah untuk detail dan ketepatan -- yang membuat mereka istimewa berhasil dalam matematika, musik dan seni." "Mereka tidak hanya memiliki naluri disiplin pribadi, tapi juga daya kritis pribadi," katanya lagi. "Mereka tidak mau menurut hanya secara membabi buta, tapi siap memenuhi dengan kritis apa yang kita minta dari mereka. Saya minta mereka menghafal sebuah bab dalam buku sejarah, besoknya mereka sudah ketahui semua tentang bab itu." Seorang guru sains di SMA Bronx, -- SMA favorit lainnya di salah satu wilayah New York, punya jumlah pelajar Asia yang cukup besar Ibu guru itu teringat kembali percakapannya dengan seorang orangtua murid. Si orangtua murid berkata bahwa ketika ia masih muda, ia tidak dapat memutuskan apakah akan bekerja di restoran ataukah menjadi tukang binatu kelak. Ia menyimpulkan: jika bekerja di restoran, banyak waktu habis di luar rumah. Jika bekerja sebagai tukang binatu, katanya, "Saya dapat mengawasi anak-anak dan bertanya: 'Apa yang kalian pelajari hari ini? Tunjukkan padaku'". Ia lalu memutuskan bekerja di binatu, dan dengan begitu "aku mendapatkan seorang dokter dan seorang ahli hukum" -- Yakni anak-anaknya. Orang Asia, dalam jangka waktu lama pernah menghadapi diskriminasi dan eksploitasi di Amerika. Selama abad XIX beribu-ribu buruh Cina diimpor ke AS, untuk memenuhi kebutuhan akan kuli murahan bagi pembabangunan jalan kereta api bagian barat negeri itu. Kendati tidak disebut budak, kenyataannya mereka memanO budak, menurut Lindsey. Dan "mereka mewariskan istilah sinonim untuk buruh yang dipekerjakan tanpa gaji: coolie. Beratus-ratus mereka bekerja untuk sepicis satu hari, tumbang bermatian sepanjang jalan kereta yang mereka bangun sediri." Namun banyak di antara mereka berhasil survive dan kemudian menciptakan masyarakat Cina di San Francisco, Los Angeles, New York dan kota-kota lain. Beberapa di antara turunan mereka kini menjadi saudagar atau bankir dan membantu membina hubungan dagang lebih lanjut dengan Cina, mulai abad XIX. TAHUN-tahun belakangan, sejumlah besar orang Jepang dan Korea datang ke Pantai Barat. Kebanyakan buruh perkebunan, kendati sejumlah di antaranya berjaya di bidang teknik misalnya. Pada 1924, di tengah jeritan emosional tentang "bahaya kuning", Kongres AS mengesahkan Akta Kuota Asing. Akta ini membatasi masuknya imigran Asia dalam jumlah tertentu menurut penjatahan. Bangsa-bangsa Eropa merupakan pengecualian. Setelah pengeboman Pearl Harbor yang mendorong AS terjun ke kancah Perang Dunia II, perasaan anti-Timur kembali menggejolak. Beribu-ribu orang Jepang yang menetap di Pantai Barat dijebloskan kedalam kampkamp tahanan, seperti ditulis Lindsey. Pada 1965, sebagai akibat samping dari gerakan hak-hak sipil, Kongres mencabut Akta 1924 itu -- dan jatah rasial tidak berlaku lagi. Lalu, akankah migran Asia menghadapi pembatasan yang sama seperti rekan-rekannya dari berbagai penjuru angin? Yaitu pembatasan sejumlah 20 ribu setahun per negera, dengan jumlah maksimal keseluruhan (dari semua negeri) 270 ribu per tahun? Peraturan baru malah membuka pintu bagi membanjirnya para imigran dari Jepang, Korea, Taiwan dan negeri-negeri lain. Pintu masuk terbuka lebar pada 1975, saat pemerintah Vietnam Selatan ambruk. Waktu itu AS menyatakan kesediaannya menerima beratus-ratus ribu pengungsi dari Asia Tenggara. Tahun lalu, Kongres setuju memberikan kepada Daratan Cina jahh sebesar 20 ribu per tahun -- sambil tetap mempertahankan kuota kepada Taiwan. Berarti Cina menerima jatah kombinasi sebesar 40 ribu -- "terbesar di antara kelompok etnis mana pun," kata Lindsey. Banyak, jika tidak sebagian terbesar, imigran yang masuk segera setelah akta kuota dicabut itu terdiri dari para profesional yang terlatih atau terdidik di perguruan tinggi. Mereka membawa serta keluarganya -- dari Taiwan, Hongkong dan Korea. Termasuk orang-orang kaya yang ingin menanam modal di bidang perumahan dan perusahaan. Banyak di antara pengungsi Vietnam di awal kejatuhan Saigon yang juga pernah berada di lingkungan pekerjaan profesional di negerinya. Namun tidak yang datang setelah itu, seperti sudah disebut. Khususnya imigran-imigran mutakhir dari daratan Cina maupun "manusia perahu" yang tancap dayungdari Kamboja, Laos, Vietnam dan negeri-negeri Asia Tenggara lain. "Anak-anak Cina dari Daratan yang kami tampung, sama saja dengan anak-anak yang pernah kami peroleh dari Hongkong dan Taiwan," kata kepala SD perkampungan Cina di New York. "Di dalam hal produktivitas, kami melihat anak-anak yang pernah hidup di bawah komunisme ternyata tidak memiliki motivasi. Benar-benar mengejutkan melihat perbedaan itu. Mereka seolah-olah berkata: 'Kami di sini kini. Ajarilah kami'." * * * Di mana pun kini bisa ditengok bukti-bukti membanjirnya pengungsi Asia Tenggara. Juga masalah dan konflik kultural yang dihadapi mereka. Misalnya di Orange County di pinggiran selatan Los Angeles. Akibat membengkaknya jumlah pengungsi di sini (50.000, di antara 2 juta penduduk), sekolah-sekolah umum dan berbagai fasilitas kesehatan mulai membeludak. Lalu, mereka pun dituduh sebagai penyebab menularnya dengan cepat penyakit tbc atau yang lain-lain. Dan sementara itu berbagai fasilitas tersebut telah menimbulkan rasa iri dan dendam di kalangan orang kulit putih berpenghasilan rendah, sebagaimana juga di kalangan kulit hitam dan keturunan Spanyol. Mereka merasa bahwa para pengungsi telah merampas bagian pekerjaan mereka, serta fasilitas perumahan yang seharusnya diperuntukkan bagi mereka. Malah setelah para pengungsi sendiri mengakui, bahwa di negeri asal mereka juga memakan anjing dan kucing, mereka menjadi sasaran tuduhan setelah binatang-binatang piaraan penduduk hilang entah ke mana. Dong Loi, yang membeli kios ikan bersama istriny, memiliki sejumlah toko di Vietnam sebelum mereka ikut hijrah ke Amerika pada 1975. Istrinya putri seorang tukang jahit. Pasangan ini bertemu di tanah pengungsian, kawin, menabung untuk membeli kios, dan membantu terselenggaranya penyeberangan Nhien dan Hiep. "Mereka," kata sang istri tentang kedua adiknya itu, "berjalan melintasi Kamboja. Kini keduanya bekerja di pasar ikan, dan mereka semua hidup bersama anggota keluarga lain yang berjumlah 10 orang, menyewa sebuah rumah dengan dua kamar tidur. NYONYA Loi mengemukakan, ia kadang-kadang takut kepada tuntutan para anggota gang Asia yang meminta imbalan perlindungan yang konon mereka berikan. Ia juga merisaukan sikap tak ramah yang pernah diterimanya dari sementara orang Amerika. Memang ada semacam petisi yang dibuat tahun lewat, yang menuntut dihentikannya penyebaran orang Vietnam yang mempunyai kegiatan usaha, di Kota Westminster, Orange County. "Tapi," katanya, "dengan mengesampingkan ketidakramahtamahan serta masalah lain, kami senang tinggal di Amerika. Kami datang untuk kebebasan." Asia, kata sang pengarang, sebenarnya sejak lama punya pengaruh di Amerika. Yaitu sejak negeri ini tergetar oleh pesona agama dan seni Timur seabad lalu, yang membantu pembentukan arsitektur Frank Lloyd Wright pada 1930-an. Kemudian Asia mengimpor barang-barang dan gagasan Barat, lebih besar dibanding yang telah diekspornya. Namun kini giliran Asia yang melakukan penyusupan. "Kami mengendarai mobil Datsun, berkumpul di depan TV Sony, dan makan dengan barang pecah belah Noritake. Beribu-ribu tak terbilang di antara kami yang belajar karate setiap minggu. Kami bahkan bekerja di bangunan kantor milik investor dari Hongkong atau Tokyo." Dan jika kini mereka makan di luar dengan masakan Timur, itu tidak hanya berarti masakan Kanton. Selera mereka kini dipaksa lebih sophisticated dengan masakan daerah Cina lainnya, Jepang, Korea, Thai dan seterusnya. Di New York, menurut hitungan terakhir ada 269 restoran Jepang Malah beberapa kepala koki Prancis terbaik di New York konon mengakui 'keunggulan' masakan Timur. Ada cita-rasa dan tata-cara tertentu, dalam cara menyajikan, menghias dan memberikan sesuatu sentuhan akhir, hingga yang terhidang di hadapan adalah makanan yang enak dipandang dan enak diganyang. Masyarakat imigran merambat dari Boston sampai ke Seatle. Di sini mereka hidup dalam blok-blok tua dan bejat, mirip di Lower East Side New York atau di pesisir pantai utara San Francisco. Sisi jalan sepanjang Olympic Boulevard di Los Angeles, perkampungan utama orang-orang Korea, berpenghuni 100 ribu. Di salah satu dari sisi utara Chicago, para pedagang Jepang, Korea dan Thai telah mengubah sebuah tempat di Clark Street menjadi kantung orang Timur yang hidup dan semarak. Di Linda Vista, San Diego, hampir sepertiga penghuninya --sekitar 7.500 jiwa -- adalah para pengungsi asal Asia Tenggara. Di Houston ada 4 suratkabar berbahasa Asia. Para peternak dan buruh minyak yang masuk ke kota ini dari bagian selatan, dan melintasi Crystal Palace Mall, akan tercengang-cengang melihat perubahan yang terjadi. Di sana mereka akan dihadang oleh selusin toko, selusin lagi klub malam dan lain-lain fasilitas untuk orang Vietnam. Di sini dan di kota-kota lain, orang-orang Asia telah menjadi unsur penting dalam kehidupan ekonomi setempat. Los Angeles dan New York adalah dua pusat konsentrasi kantor-kantor perusahaan Jepang dan negeri-negeri Asia lain. Di dua kota ini para staf usahawan pendatang tersebut secara bergilir, tiga tahun sekali, kembali ke kantor asal mereka di negeri masing-masing. "Jutaan dollar ditanam oleh mereka di negeri ini per tahun," menurut Lindsey. Emigran-emigran baru dari Asia berperan banyak di dalam bisnis pakaian, hotel dan restoran. Menurut sebuah lembaga hukum Asia di San Francisco sekitar 6 ribu perawat Filipina direkrut saban tahun oleh rumah-rumah sakit Amerika dalam usaha mengatasi kekurangan tenaga perawatan. Tentang gelombang paling akhir para imigran yang compang-camping itu, Ming Hsu, Direktur Perdagangan Internasional New Jersey, meramalkan mereka mungkin memang akan mengalami kesulitan yang lebih dibanding para pendahulu yang berpendidikan lebih baik. "Mereka tak memiliki inisiatif. Tapi saya kira mereka akan tetap memiliki etika kerja Asia. Dan bisa berperan dalam proses pembaruan di pedalaman. Mereka akan hidup di dalam sebuah ghetto dan lalu mencoba berputar di sekitarnya." Orang-orang Asia emigran itu juga berkeinginan memperkaya kehidupan kultural negerinya yang baru. Rangsangan untuk musik, terutama di kalangan remaja Cina dan Korea, telah meletupkan kelahiran kembali para pemain string berkualitas tinggi. Memang masyarakat Asia belum menghasilkan sebiji pun penyanyi klasik top. Malah juga dalam komposisi musik Asia sendiri. Namun sementara orang yakin, dengan begitu banyaknya orang Asia terjun ke panggung musik Amerika, "secara tak terhindarkan akan terpateri juga bebas yang istimewa dalam kehidupan musik kita," seperti Lindsey. Dan ini adalah tanggapan Vincent Persichetti, komposer ternama dan pengajar di sekolah Julliard. "Dulu", katanya, "sebagian besar musisi muda Asia berusaha keras menyerap kebudayaan musik Barat -- dan mungkin menolak musik tanah asal sendiri." Namun ia mengakui adanya pengaruh sublim. "Saya menyimak beberapa pemain string mereka," katanya. "Dan secara bawah sadar, saya kira, beberapa di antaranya memainkan gesekan dengan ungkapan Asia. Mereka memainkan ungkapan-ungkapan tertentu, jauh di bawah permukaan, yang benar-benar indah" Tapi hanya sejumlah seniman Asia yang beremigrasi ke New York yang sebegitu jauh berhasil menggapai sukses. Banyak yang harus menopang dirinya dengan pekerjaan kasar, kalau tidak tergantung pada hasil keringat istrinya. Ini menurut Katsko Suzuki, yang datang ke New York 16 tahun lalu. Ia kini memiliki sebuah galeri di sana dengan spesialisasi di bidang seni kontemporer Jepang. "Mereka tidak berkarya. Saya katakan kepada mereka: "Mengapa tak pulang saja? Jauh lebih mudah di Jepang.' Tapi mereka tetap ingin di New York sini, karena ini ibukota seni dunia. Beberapa ada yang kembali, beberapa bunuh diri, yang lainnya masih tetap mencoba." Kesempatan memang terbuka. Para pembeli hasil seni Amerika, kata seniwati Jepang itu, menunjukkan minat yang meningkat terhadap hasil seni Asia. Malah beberapa kritikus berkata bahwa ada petunjuk-petunjuk pengaruh Jepang pada semester pelukis kontemporer Amerika. Mereka menyebut nama-nama Robert Motherwell dan Franz Klein. Historian seni dari Universitas Southern California lainnya, Dr. Patricia Berger, menekankan adanya 'dunia perbedaan' antara seni Cina, Jepang, Korea dan Filipina -- dan masing-masingnya bisa menanam pengaruhnya terhadap seniman-seniman Amerika dengan caranya masing-masing. Dalam kenyataan, Jepang mempunyai pengaruh terbesar. "Itu bisa dilihat dari disain perabotan rumah tangga dan hasil kerajinan tangan," katanya. Juga disain kebun, atau cukilan kayu gaya Jepang. Malah sampai-sampai pada disain iklan McDonald dan disain toko-toko hamburger. Sungguh, katanya, pengaruh Jepang "Begitu menyatunya, integrated, hingga kita tak bisa mencirikannya lagi. Mereka langsung masuk ke jantung kita, bahkan tanpa kita sadari." Tapi secara keseluruhan memang hampir universal adanya perhatian dan penerimaan terhadap prinsip-prinsip seni Asia. Itu menurut Dr. Susan Larsen, lektor kepala dan pengajar sejarah kesenian di Universitas Southern California. "Subtil. Ini bukan karena mereka melukis bambu dan bunga sakura. Tapi kecenderungan ke arah pemungilan dan pemurnian itu searah dengan pemurnian dalam modernisme. Dan seperti yang lainnya, ia juga mengharapkan pengaruh itu berkembang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus