BROADWAY, udik barat Manhattan, New York. Terlihat wajah seorang
Korea di belakang meja pajangan toko sayuran dan buah-buahan.
Jangan kaget -- di sana dulu anda lihat berdiri seorang Italia.
Sebuah kereta 7.56 pagi memasuki Stasiun Hartsdale, Westchester,
dalam persinggahan menuju New York City. Gerbong-gerbong
penumpang penuh. Tapi jangan tercengang: separuh di antaranya
orang Jepang -- dengan seragam serba gelap dan jas jinjing kulit
di pangkuan.
Di sebuah pabrik di California, beratus Jepang dan Cina sedang
melayani mesin-mesin -- yang dulu ditangani sejumlah orang Korea
dan Taiwan. Di Orange County, California, begitu banyaknya
imigran Asia Tenggara menyerbu, hingga sekolah-sekolah perlu
menggaji guru-guru yang paham berbagai bahasa dan dialek Asia.
"Para imigran Asia ini adalah sebagian dari arus populasi yang
sedang mengubah wajah Amerika," tulis Robert Lindsey dalam The
New York Times Magazine. Menurut sensus 1980, orang Asia adalah
kelompok etnis di Amerika yang berkembang paling cepat selama
1970-an -- menjadi 3,5 juta orang, atau meningkat sekitar 125%.
Pada pertukaran abad dulu, berjuta orang Eropa mengarungi
Atlantik untuk menghindari kesewenangan kekuasaan, diskriminasi
politik dan rasial. Dan di penghujung abad ini berbagai bangsa
Asia -- Korea, Filipina, Cina, Thai, Jepang, Vietnam, Kamboja --
mengikuti jejak bangsa-bangsa Eropa untuk mencari hidup dan
kesempatan yang lebih baik.
"Dan, kecuali kalau Kongres mengusulkan peraturan pencegahan,
imigrasi ke Amerika itu barulah sebuah permulaan," menurut
Lindsey. Beberapa peneliti kependudukan memperkirakan, populasi
bangsa-bangsa Asia tahun 1980-an rata-rata tumbuh lebih cepat
dibanding tahun-tahun 1970-an. Ini disebabkan oleh jumlah angka
kelahiran rata-rata di kalangan orang Asia, suatu kebiasaan yang
dibawa dari kampung masing-masing.
DI mata orang Asia, Amerika adalah tanah impian. Tapi, dengan
membanjirnya orang Asia itu, makna apa yang didapat oleh seuah
negeri yang begitu dalamnya berakar pada kebudayaan Eropa, baru
kini dapat dlduga-duga. Dengan gelombang-gelombang migrasi
seperti sekarang ini, 'sumbangan' Asia bagi kependudukan Amerika
baru hanya sekitar 1,6%.
"Namun pengaruh mereka mulai menyebar dengan cepatnya," tulis
Lindsey. "Dari musik konser yang kita dengar, sampai makanan
yang kita makan, dan bagaimana kita mempersiapkannya. Dari
pakaian yang kita pakai sampai dekorasi rumah yang kita tata.
Bahkan sampai selera kehidupan baru yang ditambahkan orang-orang
Asia kepada masyarakat kota kita di seluruh negeri. Dan ini:
semangat kewiraswastaan yang ulet, yang tidak didapati lagi di
Amerika dalam beberapa dasawarsa terakhir." Memang, semangat
para koboi dan pionir Amerika kini hanya tersisa dalam
film-filmnya saja.
Memang, para imigran Asia itu memakai gaya Barat dalam karya
seni dan musik mereka sekarang, dan menanggalkan warisan
kebudayaan nenek moyangnya. Namun dalam ungkapan-ungkapan yang
subtil, yang halus, mungkin tanpa disadari, orang Asia mulai
menyelusupi kebudayaan Eropanya orang Amerika dengan citarasa
baru yang kaya.
Seorang guru musik di Juilliard School, New York, melihat hal
itu di dalam "arus dasar musik sejumlah orkestra yang alat-alat
musik geseknya dimainkan oleh para pemain Korea dan Cina." Ini,
menurut dia, "mewarnai seni kita, yang dengan baiknya di dalam
bahasa Jepang disebut dengan shibui." Shibui ini adalah konsep
pemungilan, kesederhanaan yang halus yang dicapai dengan
menghindari detil-detil tambahan yang tidak perlu.
Relatif sama dengan para pendatang Asia dalam hal jumlah, orang
Yahudi Eropa di abad lampau datang ke Amerika membawa pengaruh
dalam kehidupan kebudayaan, ilmu dan bisnis. Tapi "orang Asia
tampaknya membawa pengaruh jauh lebih besar dari jumlah mereka,"
tulis Lindsey.
Beberapa persamaan (tingkah laku, kebiasaan, pengaruh yang
dibawa) antara orang Asia dan Yahudi cukup mencengangkan, kata
Arthur H. Rosen, Presiden Komite Nasional Hubungan Cina-AS. "Ada
persamaan dalam hubungan kekeluargaan yang kuat, dan dorongan
pengorbanan yang sama di kalangan para imigran -- yang umumnya
tidak berpendidikan tinggi itu -- agar anak-anak mereka dapat
menikmati pendidikan setinggi mungkin."
Sebagian imigran Asia memang masih takut pada purbasangka laten
orang putih terhadap segala sesuatu yang timur, yang secara
berkala timbul dalam sejarah Amerika. Namun orang Asia yang
telah berada di Amerika beberapa tahun, cenderung memiliki sikap
politik yang lebih mantap dibanding beberapa minoritas etnis
lain.
Sebagai sebuah kelompok, mereka cukup berpendidikan. Juga
memperoleh cukup informasi tentang berbagai masalah politik --
dan tampaknya sedang mencoba memainkan peranannya di dalam
pemerintahan. "Setelah memperoleh kewarganegaraan, para
pendatang baru cenderung memberikan suaranya kepada Partai
Demokrat," tulis Lindsey. "Namun wiraswasta Asia-Amerika umumnya
adalah konservatif-konservatif yang tangguh." Seperti
orang-orang bisnis Amerika, mereka juga menilai Ronald Reagan
berani dalam kampanye pemilihan presiden 1980.
Jumlah orang Asia yang berhasil dan menjadi makmur di kampung
halaman yang baru itu, tergambar dalam statistik yang baru-baru
ini diterbitkan Biro Sensus AS. Di situ terlihat, orang Asia
rata-rata berpendapatan tertinggi dibanding kelompok etnis mana
pun di negeri itu. Yaitu US$ 22.075 berbanding US$19.908 secara
nasional sebagai keseluruhan. 19% di antara mereka berpendidikan
sekolah menengah, berbanding 69% golongan kulit putih, 51% kulit
hitam dan 43% keturunan Spanyol.
"Bagaimanapun telah terjadi perubahan mendasar dalam migrasi,"
kata Kevin F. McCharty. Orang ini adalah ahli demografi yang
mengevaluasi imigrasi orang Asia ke Amerika untuk Rand
Corporation, sebuah kelompok riset di Santa Monica, California.
Para imigran terdahulu, dari Cina maupun Asia Tenggara, lebih
terlatih dan ambisius -- bahkan sering orangorang profesional
yang berpendidikan. Tapi para pengungsi gelombang kedua, yang
tiba dua-tiga tahun terakhir ini, umumnya tak terdidik atau
terlatih. "Bahkan dalam bahasa mereka sendiri pun buta huruf,"
ungkap Lindsey "Amerika harus menghadapi gelombang-gelombang
imigran baru ini dengan bertanya pada diri sendiri: apa
pengaruhnya terhadap ekonomi?"
"Amerika Serikat," kata McCarthy meningkahi, "mempunyai tradisi
panjang dalam membuka pintu terhadap para pengungsi akibat
tindasan politik di negeri asal mereka. Isu pokok yang harus
ditangani di masa datang: mampukah negeri ini menerima
berjuta-juta imigran dari negeri-negeri terbelakang, yang datang
bukan karena tindasan politik tapi karena mengharap kehidupan
yang lebih baik?"
Banyak pengungsi yang datang akhir-akhir ini, katanya, muncul
sebagai penyebab keresahan sosial-ekonomi. Tindakan-tindakan
mereka dalam usaha mencari hidup telah menimbulkan keluhan,
bahwa mereka "mulai mengambil bagian pekerjaan orang Amerika
sendiri."
* * *
Tetapi kalau sekarang ini kita berkunjung ke sekitar kawasan
yang dihuni mayoritas orang Asia, akan segera kita peroleh
gambaran berbagai perbedaan di antara kelompok-kelompok imigran
itu. Ada orang bisnis kayaraya asal Seoul yang menjual
saham-sahamnya di Korea, dan "duduk di kelas satu pesawat udara,
terbang ke Los Angeles dan membeli tunai rumah seharga US$300
ribu dan toko minuman keras seharga US$500 ribu," kata Lindsey.
Si Korea yang sudah mapan ini bisa dibandingkan dengan anggota
Suku Hmong dari dusunnya yang terpencil dan terkebelakang di
Laos, yang datang setelah terapung-apung berhimpitan di dalam
perahu yang sempit -- dan buta huruf.
Rata-rata imigran Asia punya kekurangan. Stereotip seperti 'suka
bekerja keras' dan "gandrung pendidikan', rontok di depan
ungkapan-ungkapan 'tak mudah dipahami' dan 'suka mengelompok'.
Dan, jika anda dalam suatu kesempatan bertemu mereka di rumah
atau di tempat kerja, sebuah kesan segera timbul. Yaitu bahwa
mereka masih perlu benar-benar menjadikan diri mereka tangguh,
memiliki kekuatan dan ambisi yang besar, agar tetap survive.
***
Dalam masa lima tahun terakhir atau lebih, daerah Flushing,
Queens, kota New York pinggiran, telah menampung sekitar 10 ribu
imigran dari Korea, Cina dan Filipina. Toko-toko milik orang
Asia berjejer sepanjang jalan. Kantar-kantor real estate
dipapan-namai sekaligus dalam bahasa Korea dan Inggris. Para
pengusaha rumah makan menjual makanan daerah asal masing-masing.
Berbagai restoran membuat daftar menu dalam dua bahasa dan
tulisan: Timur dan Inggris.
"Kami baru di Amerika, dan harusbekerja tiga kali lebih keras
dari anda," kata Genghis Kim yang tak ada hubungan dengan
Ghengis Khan: Ia seorang agen usaha real estate yang tiba di AS
dari Seoul 12 tahun lalu, dan sarjana muda dari Universitas
Rudgers. "Kami harus saling bantu," katanya.
Di pedalaman Orange County, California, terdapat Chi Loi, wanita
muda lembut yang tak sempat berdandan. Katanya, ia kabur dari
Vietnam Selatan "pada detik-detik terakhir-sungguh, pada detik
paling akhir" -- sebelum Saigon jatuh pada 1975. Ia dan
suaminya, Dong, masing-masing bekerja di dua bidang pekerjaan
sekaligus untuk beberapa tahun lamanya. Mereka ingin membeli
sebuah kios di pasar ikan. Dan kios itu bisa dimiliki tahun ini.
"Sementara orang Amerika tak menyukai kami," katanya sambil
menyikat lantai kiosnya. "Mereka mengira kami datang membawa
emas-permata. Saya coba jelaskan, kami bukan orang sekaya itu.
Kami bekerja puntang-panting Bung, agar dapat duit."
Dan kemudian sambil tersenyum, ia membentangkan lengannya,
mempertontonkan tangan wanitanya yang telanjang, kapalan, dan
pucat karena selalu terkena air.
Kemudahan seperti yang dialami Chi Loi ini belum tentu bisa
terjadi terhadap imigran Asia lain. Pada umumnya, apalagi bagi
generasi yang lebih awal, mereka harus menghadapi berbagai
peraturan keimigrasian yang ketat sebelum benar-benar dapat
mendarat. Dan jika berhasil mereka dipaksa menghadapi
diskriminasi seru di tempat kerja.
"Bagi kebanyakan mereka, itu berarti pencampakan ke jenis-jenis
pekerjaan setengah hina sebagai tukang kebun, tukang cuci di
restoran atau binatu," tulis Lindsey, kepala biro The Times di
Los Angeles itu. Bersama dengan itu, dalam usaha mendirikan kubu
perlindungan terhadap kebudayaan dan bahasa asing, mereka
cenderung mempraktekkan sejenis separatisme -- mengucilkan diri
sendiri.
PARA pendatang baru dari Asia acap masih terus memelihara cara
hidup berkelompok itu. Banyak di antaranya yang hidup di Amerika
dengan cara tinggal di balik pintu tertutup. Toh keadaan sedang
berubah, menurut Lindsey. Semakin banyak saja orang Asia yang
melarutkan diri dalam arus kehidupan Amerika. Banyak yang malah
menempati posisi memimpin di bidang-bidang ilmu, bisnis, musik,
seni, arsitektur, busana, teater dan sebagainya.
Misalnya Seiji Ozawa. Ia, konduktor Orkes Simfoni Boston, jelas
asal Jepang. Yo-Yoma, pemain selo hebat, asal Cina. Myung Whun
Chung, yang lahir dan besar di Korea, datang ke Amerika untuk
belajar di sekolah musik Julliard, dan kini salah seorang
konduktor dan pianis paling menakjubkan. Bisa dilihat, orang
Asia telah mulai "menjadi komponen utama musik klasik dunia di
Amerika," komentar sang wartawan.
Ada sekitar 1.500 seniman Asia bekerja di New York City. Di
antara mereka termasuk pelukis-pelukis Arakawa dan Ushio
Shinohara, pematung Isamu Noguchi dan pionir senivideo Nam June
Paik -- yang dinilai sementara kritikus sebagai juara-juara
terbaik masa kini di Amerika.
Dalam pada itu I.M. Pei dan Minoru Yamasaki adalah dua nama
arsitek yang karya-karyanya paling dipuji di negeri itu. Willa
Kim, dibesarkan di tengah keluarga miskin di perkampungan Korea
di Los Angeles, tahun lalu memenangkan Tony Award untuk
perencanaan kostum pemanggungan Sophisticated Ladies di
Broadway. Orang Korea lainnya, Cathy Hardwick (kawin dengan
orang Amerika sebelum memulai karir) dihargai sebagai disainer
utama pakaian olahraga wanita di wilayah Seventh Avenue, New
York.
Migrasi juga menghasilkan wiraswasta seperti Dr. An Wang,
pendiri Wang Laboratories, pionir pemrosesan kata dengan
komputer. Juga para eksekutif seperti MingHsu, yang datang ke
Amerika dari Cina di hari-hari akhir Perang Dunia II. Ia
merintis karirnya di RCA Corporation, kemudian menjadi salah
seorang wakil presidennya. Belakangan wanita ini diangkat
menjadi direktur Divisi Perdagangan Internasional untuk Negara
Bagian New Jersey. Hiroaki (Rocky) Aokie dalam pada itu membuka
sejumlah restoran Jepang.
Pada 1976 Amerika memborong semua Hadiah Nobel dan salah seorang
di antaranya adalah Dr. Samuel C.C Ting. Ketika ia mengucapkan
pidato sambutan, dalam bahasa Inggris, ia mendahuluinya dengan
bahasa Cina. "Hanya untuk lucu-lucuan," katanya -- "tapi juga
untuk menekankan latar belakang etnisnya yang Cina," komentar
Lindsey. Dr. Ting salah seorang di antara beribu-ribu ilmuwan
dan pengajar terkemuka asal Asia yang bekerja di lapangan
industri dan akademi di Amerika.
Itulah kisah sukses orang Asia di Amerika. Belum lagi ribuan
lainnya yang suksesnya kurang dramatis: sejak dari pemilik toko
grosir sampai pengusaha elektronik yang berhasil.
Nyonya Le Thai Hans, misalnya, minggat tujuh tahun lalu dari
kampung halamannya yang remuk di Vietnam ke Amerika bagian
selatan. Sementara mendekam di sebuah kamp pengungsian di
Muangthai, ia bertemu dengan seorang dokter dari pusat
pengawasan penyakit yang berpangkalan di Atlanta, AS. Dokter ini
berjanji menyeponsori emigrasi keluarganya, juga menjanjikan
pekerjaan.
Suami Le Thai Hans sendiri, Pruyens, bekas perwira intel
Vietnam, tidak bisa berbahasa Inggris. Sesampai di AS ia sulit
mcndapat pekerjan, sementara gaji Nyonya Le sendiri tak cukup
menopang kehidupan keluarga. "Dan mulailah ia membikin kue
telur, yang dijajakannya kepada rekan-rekan sekantor dalam masa
santap siang," menurut Lindsey. Sebuah suratkabar kemudian
membeberkan kisah perjuangan hidup Le -- termasuk kue telurnya.
Pendek cerita, bisnis kue telur ini terkenal -- dan berkembang.
Kini ia memiliki dua restoran dan sebuah kios masakan timur di
Atlanta. "Sukses saya," kata Nyonya Le, "karena nasib baik, dan
hasil kerja 16 jam lebih tiap hari."
Dan inilah komentarnya, yang bagai gema impian para imigran masa
lalu, dan wasiat pegangan para pengikutnya kini: "Aku percaya,
dengan kerja keras anda akan memperoleh apa pun yang anda
kehendaki. Pertama-tama anda harus mampu rnenolong diri
sendiri."
* * *
KETIKA para finalis dari Pemandu Bakat Ilmu Westinghouse di
tahun 1982 berkumpul di Hotel Mayflower, Washington, sudah tak
ada yang heran bahwa 6 dari 40 finalis ternyata keturunan Asia.
Padahal jumlah orang Asia hanya secuil persen dari jumlah
penduduk Amerika. "Angka ini yang menunjukkan ketidakseimbangan
sukses akademis, dianggap sebagai hal yang lumrah," tulis
Lindsey.
Di sekolah Julliard di dekat Lincoln Center, 15% pendaftar
adalah orang Asia. Di kampus Berkeley, Universitas California,
sekitar 20% prasarjana kini orang Asia -- kendati mereka hanya
5,3% dari jumlah penduduk setempat. Di fakultas-fakultas ekonomi
utama, dari Harvard dan Stanford umpamanya, ketidakseimbangan
persentasi antara 'asli' dan 'tidak asli' telah berlangsung
hampir satu dasawarsa.
SMA Stuyvesant New York adalah 'SMA favorit' -- meminjam istilah
sini. Ada 10 ribu pelamar bertarung tahun lalu untuk
memperebutkan 750 bangku yang tersedia. Dan "sekitar 20%
muridnya adalah Asia," kata Gaspar R. Fabbricante, kepala
sekolah. Bagaimana menjelaskan hal ini? tanya sang wartawan.
"Ini bertalian dengan budaya dan dukungan keluarga," kata
direktur itu. "Orang Asia tampaknya memiliki tradisi keilmuan
dan menghargai belajar. Mereka punya daya dorong yang dahsyat".
Dengar?
Salah seorang finalis Westinghouse bernama Richard Ke-Jen Chang.
Senior SMA Stuyvesant ini berusia 17, Cina-Amerika yang datang
ke negerinya yang baru itu pada 1973. Ia menggambarkan keluarga
Asia begini: "Mereka menghargai tinggi pendidikan. Dan
orang-orang tuanya siap mengorbankan hidupnya bagi generasi
penerusnya." Entah anda setuju atau tak setuju.
Max Watras adalah pemimpin program seni dan musik di Stuyvesant.
"Sebagian besar siswa Asia," katanya "saya tahu memiliki
anugerah untuk detail dan ketepatan -- yang membuat mereka
istimewa berhasil dalam matematika, musik dan seni."
"Mereka tidak hanya memiliki naluri disiplin pribadi, tapi juga
daya kritis pribadi," katanya lagi. "Mereka tidak mau menurut
hanya secara membabi buta, tapi siap memenuhi dengan kritis apa
yang kita minta dari mereka. Saya minta mereka menghafal sebuah
bab dalam buku sejarah, besoknya mereka sudah ketahui semua
tentang bab itu."
Seorang guru sains di SMA Bronx, -- SMA favorit lainnya di salah
satu wilayah New York, punya jumlah pelajar Asia yang cukup
besar Ibu guru itu teringat kembali percakapannya dengan seorang
orangtua murid. Si orangtua murid berkata bahwa ketika ia masih
muda, ia tidak dapat memutuskan apakah akan bekerja di restoran
ataukah menjadi tukang binatu kelak. Ia menyimpulkan: jika
bekerja di restoran, banyak waktu habis di luar rumah. Jika
bekerja sebagai tukang binatu, katanya, "Saya dapat mengawasi
anak-anak dan bertanya: 'Apa yang kalian pelajari hari ini?
Tunjukkan padaku'". Ia lalu memutuskan bekerja di binatu, dan
dengan begitu "aku mendapatkan seorang dokter dan seorang ahli
hukum" -- Yakni anak-anaknya.
Orang Asia, dalam jangka waktu lama pernah menghadapi
diskriminasi dan eksploitasi di Amerika. Selama abad XIX
beribu-ribu buruh Cina diimpor ke AS, untuk memenuhi kebutuhan
akan kuli murahan bagi pembabangunan jalan kereta api bagian
barat negeri itu. Kendati tidak disebut budak, kenyataannya
mereka memanO budak, menurut Lindsey. Dan "mereka mewariskan
istilah sinonim untuk buruh yang dipekerjakan tanpa gaji:
coolie. Beratus-ratus mereka bekerja untuk sepicis satu hari,
tumbang bermatian sepanjang jalan kereta yang mereka bangun
sediri."
Namun banyak di antara mereka berhasil survive dan kemudian
menciptakan masyarakat Cina di San Francisco, Los Angeles, New
York dan kota-kota lain. Beberapa di antara turunan mereka kini
menjadi saudagar atau bankir dan membantu membina hubungan
dagang lebih lanjut dengan Cina, mulai abad XIX.
TAHUN-tahun belakangan, sejumlah besar orang Jepang dan Korea
datang ke Pantai Barat. Kebanyakan buruh perkebunan, kendati
sejumlah di antaranya berjaya di bidang teknik misalnya. Pada
1924, di tengah jeritan emosional tentang "bahaya kuning",
Kongres AS mengesahkan Akta Kuota Asing. Akta ini membatasi
masuknya imigran Asia dalam jumlah tertentu menurut penjatahan.
Bangsa-bangsa Eropa merupakan pengecualian.
Setelah pengeboman Pearl Harbor yang mendorong AS terjun ke
kancah Perang Dunia II, perasaan anti-Timur kembali menggejolak.
Beribu-ribu orang Jepang yang menetap di Pantai Barat
dijebloskan kedalam kampkamp tahanan, seperti ditulis Lindsey.
Pada 1965, sebagai akibat samping dari gerakan hak-hak sipil,
Kongres mencabut Akta 1924 itu -- dan jatah rasial tidak berlaku
lagi. Lalu, akankah migran Asia menghadapi pembatasan yang sama
seperti rekan-rekannya dari berbagai penjuru angin? Yaitu
pembatasan sejumlah 20 ribu setahun per negera, dengan jumlah
maksimal keseluruhan (dari semua negeri) 270 ribu per tahun?
Peraturan baru malah membuka pintu bagi membanjirnya para
imigran dari Jepang, Korea, Taiwan dan negeri-negeri lain. Pintu
masuk terbuka lebar pada 1975, saat pemerintah Vietnam Selatan
ambruk. Waktu itu AS menyatakan kesediaannya menerima
beratus-ratus ribu pengungsi dari Asia Tenggara.
Tahun lalu, Kongres setuju memberikan kepada Daratan Cina jahh
sebesar 20 ribu per tahun -- sambil tetap mempertahankan kuota
kepada Taiwan. Berarti Cina menerima jatah kombinasi sebesar 40
ribu -- "terbesar di antara kelompok etnis mana pun," kata
Lindsey.
Banyak, jika tidak sebagian terbesar, imigran yang masuk segera
setelah akta kuota dicabut itu terdiri dari para profesional
yang terlatih atau terdidik di perguruan tinggi. Mereka membawa
serta keluarganya -- dari Taiwan, Hongkong dan Korea. Termasuk
orang-orang kaya yang ingin menanam modal di bidang perumahan
dan perusahaan. Banyak di antara pengungsi Vietnam di awal
kejatuhan Saigon yang juga pernah berada di lingkungan pekerjaan
profesional di negerinya.
Namun tidak yang datang setelah itu, seperti sudah disebut.
Khususnya imigran-imigran mutakhir dari daratan Cina maupun
"manusia perahu" yang tancap dayungdari Kamboja, Laos, Vietnam
dan negeri-negeri Asia Tenggara lain.
"Anak-anak Cina dari Daratan yang kami tampung, sama saja dengan
anak-anak yang pernah kami peroleh dari Hongkong dan Taiwan,"
kata kepala SD perkampungan Cina di New York. "Di dalam hal
produktivitas, kami melihat anak-anak yang pernah hidup di bawah
komunisme ternyata tidak memiliki motivasi. Benar-benar
mengejutkan melihat perbedaan itu. Mereka seolah-olah berkata:
'Kami di sini kini. Ajarilah kami'."
* * *
Di mana pun kini bisa ditengok bukti-bukti membanjirnya
pengungsi Asia Tenggara. Juga masalah dan konflik kultural yang
dihadapi mereka. Misalnya di Orange County di pinggiran selatan
Los Angeles.
Akibat membengkaknya jumlah pengungsi di sini (50.000, di antara
2 juta penduduk), sekolah-sekolah umum dan berbagai fasilitas
kesehatan mulai membeludak. Lalu, mereka pun dituduh sebagai
penyebab menularnya dengan cepat penyakit tbc atau yang
lain-lain. Dan sementara itu berbagai fasilitas tersebut telah
menimbulkan rasa iri dan dendam di kalangan orang kulit putih
berpenghasilan rendah, sebagaimana juga di kalangan kulit hitam
dan keturunan Spanyol.
Mereka merasa bahwa para pengungsi telah merampas bagian
pekerjaan mereka, serta fasilitas perumahan yang seharusnya
diperuntukkan bagi mereka. Malah setelah para pengungsi sendiri
mengakui, bahwa di negeri asal mereka juga memakan anjing dan
kucing, mereka menjadi sasaran tuduhan setelah binatang-binatang
piaraan penduduk hilang entah ke mana.
Dong Loi, yang membeli kios ikan bersama istriny, memiliki
sejumlah toko di Vietnam sebelum mereka ikut hijrah ke Amerika
pada 1975. Istrinya putri seorang tukang jahit. Pasangan ini
bertemu di tanah pengungsian, kawin, menabung untuk membeli
kios, dan membantu terselenggaranya penyeberangan Nhien dan
Hiep. "Mereka," kata sang istri tentang kedua adiknya itu,
"berjalan melintasi Kamboja. Kini keduanya bekerja di pasar
ikan, dan mereka semua hidup bersama anggota keluarga lain yang
berjumlah 10 orang, menyewa sebuah rumah dengan dua kamar tidur.
NYONYA Loi mengemukakan, ia kadang-kadang takut kepada tuntutan
para anggota gang Asia yang meminta imbalan perlindungan yang
konon mereka berikan. Ia juga merisaukan sikap tak ramah yang
pernah diterimanya dari sementara orang Amerika. Memang ada
semacam petisi yang dibuat tahun lewat, yang menuntut
dihentikannya penyebaran orang Vietnam yang mempunyai kegiatan
usaha, di Kota Westminster, Orange County.
"Tapi," katanya, "dengan mengesampingkan ketidakramahtamahan
serta masalah lain, kami senang tinggal di Amerika. Kami datang
untuk kebebasan."
Asia, kata sang pengarang, sebenarnya sejak lama punya pengaruh
di Amerika. Yaitu sejak negeri ini tergetar oleh pesona agama
dan seni Timur seabad lalu, yang membantu pembentukan arsitektur
Frank Lloyd Wright pada 1930-an.
Kemudian Asia mengimpor barang-barang dan gagasan Barat, lebih
besar dibanding yang telah diekspornya.
Namun kini giliran Asia yang melakukan penyusupan. "Kami
mengendarai mobil Datsun, berkumpul di depan TV Sony, dan makan
dengan barang pecah belah Noritake. Beribu-ribu tak terbilang di
antara kami yang belajar karate setiap minggu. Kami bahkan
bekerja di bangunan kantor milik investor dari Hongkong atau
Tokyo."
Dan jika kini mereka makan di luar dengan masakan Timur, itu
tidak hanya berarti masakan Kanton. Selera mereka kini dipaksa
lebih sophisticated dengan masakan daerah Cina lainnya, Jepang,
Korea, Thai dan seterusnya. Di New York, menurut hitungan
terakhir ada 269 restoran Jepang Malah beberapa kepala koki
Prancis terbaik di New York konon mengakui 'keunggulan' masakan
Timur. Ada cita-rasa dan tata-cara tertentu, dalam cara
menyajikan, menghias dan memberikan sesuatu sentuhan akhir,
hingga yang terhidang di hadapan adalah makanan yang enak
dipandang dan enak diganyang.
Masyarakat imigran merambat dari Boston sampai ke Seatle. Di
sini mereka hidup dalam blok-blok tua dan bejat, mirip di Lower
East Side New York atau di pesisir pantai utara San Francisco.
Sisi jalan sepanjang Olympic Boulevard di Los Angeles,
perkampungan utama orang-orang Korea, berpenghuni 100 ribu.
Di salah satu dari sisi utara Chicago, para pedagang Jepang,
Korea dan Thai telah mengubah sebuah tempat di Clark Street
menjadi kantung orang Timur yang hidup dan semarak. Di Linda
Vista, San Diego, hampir sepertiga penghuninya --sekitar 7.500
jiwa -- adalah para pengungsi asal Asia Tenggara.
Di Houston ada 4 suratkabar berbahasa Asia. Para peternak dan
buruh minyak yang masuk ke kota ini dari bagian selatan, dan
melintasi Crystal Palace Mall, akan tercengang-cengang melihat
perubahan yang terjadi. Di sana mereka akan dihadang oleh
selusin toko, selusin lagi klub malam dan lain-lain fasilitas
untuk orang Vietnam. Di sini dan di kota-kota lain, orang-orang
Asia telah menjadi unsur penting dalam kehidupan ekonomi
setempat.
Los Angeles dan New York adalah dua pusat konsentrasi
kantor-kantor perusahaan Jepang dan negeri-negeri Asia lain. Di
dua kota ini para staf usahawan pendatang tersebut secara
bergilir, tiga tahun sekali, kembali ke kantor asal mereka di
negeri masing-masing. "Jutaan dollar ditanam oleh mereka di
negeri ini per tahun," menurut Lindsey.
Emigran-emigran baru dari Asia berperan banyak di dalam bisnis
pakaian, hotel dan restoran. Menurut sebuah lembaga hukum Asia
di San Francisco sekitar 6 ribu perawat Filipina direkrut saban
tahun oleh rumah-rumah sakit Amerika dalam usaha mengatasi
kekurangan tenaga perawatan.
Tentang gelombang paling akhir para imigran yang compang-camping
itu, Ming Hsu, Direktur Perdagangan Internasional New Jersey,
meramalkan mereka mungkin memang akan mengalami kesulitan yang
lebih dibanding para pendahulu yang berpendidikan lebih baik.
"Mereka tak memiliki inisiatif. Tapi saya kira mereka akan tetap
memiliki etika kerja Asia. Dan bisa berperan dalam proses
pembaruan di pedalaman. Mereka akan hidup di dalam sebuah ghetto
dan lalu mencoba berputar di sekitarnya."
Orang-orang Asia emigran itu juga berkeinginan memperkaya
kehidupan kultural negerinya yang baru. Rangsangan untuk musik,
terutama di kalangan remaja Cina dan Korea, telah meletupkan
kelahiran kembali para pemain string berkualitas tinggi.
Memang masyarakat Asia belum menghasilkan sebiji pun penyanyi
klasik top. Malah juga dalam komposisi musik Asia sendiri. Namun
sementara orang yakin, dengan begitu banyaknya orang Asia terjun
ke panggung musik Amerika, "secara tak terhindarkan akan
terpateri juga bebas yang istimewa dalam kehidupan musik kita,"
seperti Lindsey.
Dan ini adalah tanggapan Vincent Persichetti, komposer ternama
dan pengajar di sekolah Julliard. "Dulu", katanya, "sebagian
besar musisi muda Asia berusaha keras menyerap kebudayaan musik
Barat -- dan mungkin menolak musik tanah asal sendiri." Namun ia
mengakui adanya pengaruh sublim. "Saya menyimak beberapa pemain
string mereka," katanya. "Dan secara bawah sadar, saya kira,
beberapa di antaranya memainkan gesekan dengan ungkapan Asia.
Mereka memainkan ungkapan-ungkapan tertentu, jauh di bawah
permukaan, yang benar-benar indah"
Tapi hanya sejumlah seniman Asia yang beremigrasi ke New York
yang sebegitu jauh berhasil menggapai sukses. Banyak yang harus
menopang dirinya dengan pekerjaan kasar, kalau tidak tergantung
pada hasil keringat istrinya. Ini menurut Katsko Suzuki, yang
datang ke New York 16 tahun lalu. Ia kini memiliki sebuah galeri
di sana dengan spesialisasi di bidang seni kontemporer Jepang.
"Mereka tidak berkarya. Saya katakan kepada mereka: "Mengapa tak
pulang saja? Jauh lebih mudah di Jepang.' Tapi mereka tetap
ingin di New York sini, karena ini ibukota seni dunia. Beberapa
ada yang kembali, beberapa bunuh diri, yang lainnya masih tetap
mencoba."
Kesempatan memang terbuka. Para pembeli hasil seni Amerika, kata
seniwati Jepang itu, menunjukkan minat yang meningkat terhadap
hasil seni Asia. Malah beberapa kritikus berkata bahwa ada
petunjuk-petunjuk pengaruh Jepang pada semester pelukis
kontemporer Amerika. Mereka menyebut nama-nama Robert Motherwell
dan Franz Klein.
Historian seni dari Universitas Southern California lainnya, Dr.
Patricia Berger, menekankan adanya 'dunia perbedaan' antara seni
Cina, Jepang, Korea dan Filipina -- dan masing-masingnya bisa
menanam pengaruhnya terhadap seniman-seniman Amerika dengan
caranya masing-masing. Dalam kenyataan, Jepang mempunyai
pengaruh terbesar. "Itu bisa dilihat dari disain perabotan rumah
tangga dan hasil kerajinan tangan," katanya. Juga disain kebun,
atau cukilan kayu gaya Jepang. Malah sampai-sampai pada disain
iklan McDonald dan disain toko-toko hamburger.
Sungguh, katanya, pengaruh Jepang "Begitu menyatunya,
integrated, hingga kita tak bisa mencirikannya lagi. Mereka
langsung masuk ke jantung kita, bahkan tanpa kita sadari."
Tapi secara keseluruhan memang hampir universal adanya perhatian
dan penerimaan terhadap prinsip-prinsip seni Asia. Itu menurut
Dr. Susan Larsen, lektor kepala dan pengajar sejarah kesenian di
Universitas Southern California. "Subtil. Ini bukan karena
mereka melukis bambu dan bunga sakura. Tapi kecenderungan ke
arah pemungilan dan pemurnian itu searah dengan pemurnian dalam
modernisme. Dan seperti yang lainnya, ia juga mengharapkan
pengaruh itu berkembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini