Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IGA Mawarni terheran-heran. Penyanyi yang masuk jalur jazz ini tak menduga acara jumpa persnya begitu meriah, dihadiri belasan wartawan. Ia pun bersemangat bicara ihwal pelanggaran hak cipta di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Di sebelah Iga, masih semeja, duduk Menteri Hamid Awaludin. Tapi Iga dan belasan artis lain sontak kaget ketika para wartawan lari meninggalkan mereka. Hamid mendadak ngeloyor di tengah acara. Para wartawan yang sudah bosan menunggu segera mengejar. Mereka bukan mau bertanya perkara hak cipta, melainkan soal pencairan duit Tommy Soeharto di London.
”Sudah, kalian ikut konferensi pers sana, jangan ikuti saya,” kata mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini kepada beberapa wartawan. Menteri Hamid pekan-pekan ini memang bak main petak umpet. Persisnya sejak departemen yang dipimpinnya terungkap ikut mencairkan duit US$ 10 juta milik Tommy Soeharto di Banque National de Paris and Paribas (BNP Paribas) cabang London pada 2005.
Hamid ikut terbawa-bawa. Dalam perkara ini, ia ternyata menyetujui meminjamkan rekening departemennya untuk proses pencairan duit Motorbike Corporation, perusahaan asal Bahama, Amerika Tengah, milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, terpidana yang kini berstatus bebas bersyarat.
Pada awal pekan lalu, Hamid sempat membuat penjelasan pendek. Ia membolehkan Motorbike menggunakan rekening kantornya karena tahu uang mereka bersih. ”Tidak jadi masalah, uang itu halal,” kata mantan dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, ini.
Uang setara Rp 90 miliar di London itu adalah duit warga negara Indonesia yang diatasnamakan Motorbike. ”Pemiliknya tiga orang Indonesia, yakni Sudjaswin Lubis, Tommy Soeharto, dan Abdulrachman Mulachela,” kata dia. Ketiga nama tersebut dikenal punya kaitan dengan PT Timor Putra Nasional, yang rekeningnya masih dibekukan di Bank Mandiri.
Doktor lulusan Amerika ini menjelaskan, proses pencairan dana ini dimulai pada Februari 2004 dan berakhir pada masa kepemimpinannya tahun 2005. Bank Paribas pernah meminta pengecekan akan status ”kebersihan” uang itu. ”Setelah dicek, memang tidak terkait dengan money laundering,” katanya. ”Setelah itu, Paribas minta mengirim uang tersebut melalui rekening Menteri Kehakiman,” ujar Hamid.
Hamid tak mau ambil risiko. Ia mengaku telah berkirim surat memberi tahu Bank Indonesia dan Departemen Keuangan mengenai setoran duit itu. ”Saya lapor ke BI, ada uang begini, nih. Saya juga menyurati Departemen Keuangan,” ujarnya.
Rupanya, surat Hamid tak terbalas. Ia pun mengecek ulang ke kedua lembaga pemegang otoritas duit negara itu. Anehnya, meski sampai dua kali dia melapor, Departemen Keuangan meng-aku tak tahu surat penting itu. ”Tak pernah ada,” kata Samsuar Said, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan.
Pengakuan ini menambah panjang pertanyaan seputar pencairan duit Tommy yang ”dibantu” Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sepanjang 2004-2005. Mula-mula Motorbike diurus Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, lalu ditangani Hamid Awaludin, sang penerus jabatan menteri. Hamid mengakui telah menyerahkan dana itu kepada Motorbike. ”Karena itu hak mereka,” katanya.
Yusril Ihza Mahendra? Menteri-Sekretaris Negara ini mengaku tahu proses pencairan tersebut. Ia memang mengirim surat ke Bank Paribas, berbekal sejumlah dokumen pendukung dari pelbagai instansi, termasuk Kejaksaan Agung serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Ini dia lakukan atas permintaan Paribas (lihat ”Mereka Kini Saling Cuci Tangan”).
Kisah pencairan dana tak terhenti di ujung surat. Ada sedikit ganjalan dengan Yusril. Tommy, putra bungsu mantan presiden Soeharto, menunjuk Hidayat Achyar, 52 tahun, dari firma hukum Ihza and Ihza, untuk mengurus rekening tersebut. Kantor pengacara Ihza and Ihza diketahui luas sebagian sahamnya dimiliki Yusril.
Tommy, yang kala itu dipenjara di Nusakambangan karena terlibat perkara pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, akhirnya mendapat celah bagus. Syarat kelengkapan pencairan duitnya lancar jaya. Ini juga berkat bantuan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Zulkarnain Yunus, bawahan Menteri Yusril, yang didekati Hidayat. Zulkarnain, bersama tim Hidayat, pun sibuk sampai terbang ke London. Zulkarnain kini meringkuk di ruang tahanan Markas Besar Kepolisian RI. Ia menjadi tersangka kasus proyek pengadaan alat pemindai sidik jari, yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Yusril membantah terlibat tetek-bengek urusan Tommy. Tapi ia mengaku punya banyak alasan untuk setuju menarik duit ”sang Pangeran” yang punya hobi balap mobil itu ke Indonesia. ”Biar Tommy bisa balapan lagi di sini. Itu lebih baik,” kata dia kepada Wahyu Muryadi dari Tempo pekan lalu. Meski Tommy jadi pesakitan, hak perdatanya tak gugur. ”Dia tak pernah dihukum karena perkara korupsi,” ujar doktor dari Universitas Sains Malaysia ini.
Benarkah Yusril tak campur tangan dalam perkara Motorbike? Seorang sumber Tempo yakin Yusril punya peran di balik layar. Menurut sang sumber, Hidayat dan Gamal Resmanto, keduanya rekan atau partner dari kantor hukum Yusril, kerap berdiskusi tentang perkara Tommy dengan pria asal Belitung tersebut. ”Pak Yusril kerap berkunjung ke kantor, dua minggu atau seminggu sekali paling kurang,” kata sumber yang pernah dekat dengan ketiga orang itu.
Di kantor firma tersebut, yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Yusril diberi ruangan khusus—meski secara resmi ia menyatakan mundur karena diangkat sebagai pejabat negara. Selain Hidayat dan Gamal, Yusron Ihza Mahendra—adik kandung Yusril sekaligus managing partner kantor pengacara tersebut—ikut terlibat. Saat itulah, kabarnya, perkara itu diatur, termasuk menghubungi Zulkarnain Yunus.
Tapi Hidayat membantah. Kata dia, Yusril jarang ke kantor. ”Paling tiga bahkan empat bulan sekali,” kata pria asal Surabaya, Jawa Timur, ini. Mereka selalu mengobrol bila sang pemilik duduk di ruangannya, tapi tak pernah membahas kasus. ”Cuma soal-soal politik, sekolah, filsafat, dan agama,” kata pengacara spesialis korporasi ini.
Seorang sumber di Departemen Hukum dan HAM menyatakan firma Yusril ketiban duit besar saat mengurus Motorbike. Sepuluh persen dari jumlah duit itu atau sekitar US$ 1 juta diberikan kepada kedua pihak sebagai success fee dan lawyer fee. Irvan Gading—pemberi order kasus Motorbike ke Ihza and Ihza—menerima success fee US$ 200 ribu (sekitar Rp 1,8 miliar) dan Ihza and Ihza diganjar US$ 800 ribu (sekitar Rp 7,2 miliar).
Bayaran itu seperti durian runtuh bagi firma keluarga Idris Haji Zaini (Ihza) tersebut. Sebab, menurut mantan orang dalam firma tersebut, jarang ada kasus kakap bisa terjala. Kantor yang mempekerjakan 20-an pegawai ini banyak menangani kasus biasa, dengan bayaran US$ 100-300 per jam.
Sejak kantor itu berdiri pada 2001, hanya ada satu kasus yang ditangani dengan bayaran premium US$ 350 per jam. Ongkos tertinggi untuk biaya perkara yang ditangani seorang partner didapat ketika mereka menangani kasus di sebuah perusahaan Jepang yang berada di Gresik, Jawa Timur.
Hidayat mengaku tak ingat berapa dia dibayar. ”Kalau soal duit, saya tidak tahu,” katanya. Sementara itu, Yusron Ihza Mahendra, 49 tahun, membenarkan mereka menerima bayaran dari Motorbike. ”Wajar kami dibayar. Pengacara itu kan bukan Sinterklas atau lembaga amal jariyah,” kata anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat ini dengan lugas. Anggota Partai Bulan Bintang ini juga mengaku lupa berapa jasa pengacara yang diterima untuk kerja sekitar setengah tahun itu. ”Saya sibuk kampanye waktu itu,” kata mantan wartawan ini.
Hidayat menganggap tak ada yang keliru dalam pembelaannya. ”Saya ini salah apa? Semuanya legal, kok,” kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. Aktor intelektual dari semua keributan ini, kata dia, adalah BNP Paribas, karena memaksa menggunakan rekening pemerintah. ”Jika tidak, duitnya tak bisa dicairkan,” kata Hidayat. Sikap ini berlebihan. ”Apa hak dia sampai seperti itu,” kata Hidayat. Ketimbang duit melayang, terpaksa permintaan itu dipenuhi (lihat ”Menerabas Rekening Pelat Merah”).
Padahal Departemen Kehakiman tidak berhak mengeluarkan clearance. Bahkan beberapa dokumen disalahgunakan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyatakan surat mereka tanggal 13 Mei 2004, yang merupakan jawaban surat Dirjen Administrasi Hukum Umum tertanggal 19 April 2004, hanya berisi keterangan berdasarkan pengecekan data administrasi. ” Jadi bukan menyatakan Motorbike tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang,” ujar Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein pekan lalu.
Keterlibatan Departemen Kehakiman untuk menarik dana tersebut ke Indonesia tak berdasar. Suharto, komisaris Timor Putra Nasional, mengaku tak pernah menerima uang tersebut di rekening mereka. ”Kalau ada, saya orang yang paling senang, karena perusahaan saya lagi sekarat,” kata Suharto pekan lalu. Gelontoran duit raksasa itu juga mudah dilacak. Sebab, pemeriksaan pajak atas Timor sangat ketat.
Meskipun nama-nama pemilik Motorbike pernah aktif di Timor, mereka tak lagi punya hubungan. ”Di Timor cuma tinggal Mas Tommy,” ujar dia. Sudjaswin dan Abdulrachman sudah mundur. Menurut seorang sumber Tempo yang dekat dengan Irvan Gading, duit itu tidak disetor ke Indonesia. ”Begitu cair, langsung ditransfer ke rekening Motorbike di Maybank Singapura,” katanya.
Hidayat mengaku hanya berperan meminta pendapat hukum pemerintah. ”Saya cuma minta legal opinion ke pemerintah bahwa tidak ada perkara pidana pada Motorbike dan pengurusnya,” katanya mengelak. ”Pendapat hukum ini diperlukan sebagai bukti BNP Paribas tidak punya hak menahan,” kata Hidayat. Teknis pengambilan diurus Motorbike.
Menurut Hidayat, berdasarkan keterangan pengurus Motorbike, rekening yang dipinjamkan bukanlah rekening resmi Dirjen Administrasi Hukum Umum. Dirjen membuka rekening baru untuk menampung duit tersebut. ”Setelah duit masuk, rekening itu langsung ditutup,” ujar Hidayat. Ia tak tahu di bank mana rekening itu dibuka dan ke mana pula duit itu akhirnya diterbangkan.
Arif A. Kuswardono, Titis Setyaningtyas
Yusril Ihza Mahendra
Bekas Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (kini Menteri-Sekretaris Negara). Peran: Firma hukum milik Yusril, Ihza and Ihza, menjadi kuasa hukum Tommy Soeharto dalam usaha pencairan dana di BNP Paribas, London, Inggris. Pada saat yang sama, departemen yang dipimpin Yusril juga membantu mengusahakan penerbitan surat bebas tindak pidana korupsi untuk Tommy Soeharto dari PPATK dan sejumlah lembaga lain, sebagai syarat pencairan dana.
Ditanggapi oleh...
- Sudhono Iswahyudi, bekas Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Peran: Lembaganya disebut-sebut ikut memberikan surat keterangan bebas tindak pidana korupsi untuk Tommy Soeharto.
- Yunus Husein, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Peran: Lembaganya disebut-sebut ikut memberikan surat keterangan bebas tindak pidana korupsi untuk Tommy Soeharto.
- Bambang Soerjono, juru bicara Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Peran: Lembaganya disebut-sebut ikut memberikan surat keterangan bebas tindak pidana korupsi untuk Tommy Soeharto.
Hamid Awaludin
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peran: Menyetujui penggunaan rekening Departemen Kehakiman untuk menampung uang Tommy dari BNP Paribas dan kemudian mengembalikan uang itu kepada Tommy tanpa melalui verifikasi lebih lanjut.
Ditanggapi oleh...
- Mulia Nasution, Sekjen Departemen Keuangan. Peran: Disebut-sebut sebagai lembaga yang telah mengetahui ada ”peminjaman” rekening pemerintah untuk menerima dana Tommy Soeharto.
- Oey Hoey Tiong, Deputi Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia Peran: Disebut-sebut sebagai lembaga yang telah mengetahui ada ”peminjaman” rekening pemerintah untuk menerima dana Tommy Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo