Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Timur Tengah, sadisme adalah bagian sejarah yang tak pernah mati. Pengikut menantu Nabi, Sayidina Ali bin Abi Thalib, pada masa dinasti Umayyah (661-750), misalnya, harus menyiapkan diri terhadap setidaknya lima model sadisme: disalib di alun-alun, dipancung lehernya dan kepalanya diarak keliling kota, diberi minum madu beracun, dikerangkeng dalam cetakan logam berpaku yang sesuai dengan bentuk-ukuran tubuh si teraniaya, atau dihukum picis.
Mereka kemudian bukan dikuburkan, melainkan dimuseumkan. Dinasti Umayyah membuat gudang khusus untuk menyimpan tengkorak para pembangkang. Agar orang bisa mengambil pelajaran dengan tepat, masing-masing dikasih tanda khusus tentang sejarah hidup pemilik tengkorak: apa latar belakang keluarganya dan apa saja yang telah diperbuatnya.
Seseorang telah menang, dan ia tidak sekadar membutuhkan bukti bahwa musuhnya tersungkur sudah. Ia membutuhkan pentas, drama, atau pertunjukan. Di dalam diri manusia ada sosok misterius, kelam, mungkin warisan turun-temurun dari manusia terdahulu. Bapak psikoanalisis Sigmund Freud menyebutnya thanatos atau insting kematian. Yang terang, sosok gelap itulah yang pada Hari Raya Kurban tahun ini berinisiatif mempertunjukkan kematian bekas diktator Irak, Saddam Hussein, di tiang gantungan.
Dalam sejarah, kita bisa menyaksikan sosok kelam itu juga muncul untuk menunjukkan bahwa suatu kelompok tidak atau belum kalah. Dan itu berlaku di Timur Tengah yang sedang cemas dengan perkembangan hubungan Syiah-Sunni belakangan ini. Menyaksikan ”kemenangan” Hizbullah di medan Libanon, juga kentalnya pengaruh Iran di Irak belakangan ini, Raja Yordania lantas mengingatkan negara-negara Arab Sunni: ”Lihatlah bulan sabit kemenangan Syiah di langit kita.” Dengan nada yang sama kemudian terdengar Presiden Mesir meragukan loyalitas orang Syiah terhadap batas-batas ibu pertiwi.
Dan Syiah ada di mana-mana di Timur Tengah. Mayoritas di Iran, Bahrain, dan Irak, minoritas di Arab Saudi, Libanon, dan Kuwait.
Tapi di Irak yang sedang dibekap konflik sektarian itu, ”ancaman Syiah” ini ditanggapi sesuai dengan tradisi yang telah berlangsung berabad-abad: sadisme. Di Hilla, dua bom bunuh diri meledak di antara iring-iringan orang Syiah yang hendak memperingati hari Assyura, dan korban pun berserak: 90 tewas, 160 luka-luka. Di Bagdad, delapan penduduk Syiah tewas setelah bus yang membawa mereka diberondong orang tak dikenal. Apa yang bisa mencegah orang Syiah membalas ini semua? Bagaimana kita mencegah membesarnya bola api kekerasan?
Di Irak, kita tahu, sejarah merupakan bagian penting dari politik, juga agama. Di Kufah, Sayidina Ali dilukai. Di Najaf, menantu Nabi itu wafat dan dikebumikan. Di Karbala, putranya, Hussein, dibantai secara kejam. Dan bisa dibayangkan, di dunia seperti inilah lahir para martir yang siap menyerahkan nyawanya demi sesuatu yang luhur atau kudus.
Tapi dunia terus berubah, dan politik—bukan ideologi—tetap menjadi panglima dalam konflik Syiah-Sunni. Dan pada akhirnya pertautan sejarah dan politik hanyalah soal pilihan individual untuk mengingat-melupakan peristiwa-peristiwa. Kita tinggal memilih untuk mengingat kepentingan bersama, melupakan kepentingan golongan sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo