Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JELASLAH sudah, pemerintah tidak punya konsep penyelesaian menyeluruh untuk kasus semburan lumpur di Sidoarjo. Pemerintah memutuskan memperpanjang satu bulan masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo pekan lalu dan baru akan membuat badan permanen sebulan lagi.
Persiapan pembentukan badan permanen pengganti Tim Nasional yang bekerja sejak 2006 itu semestinya sudah berlangsung jauh-jauh hari. Dengan demikian, begitu masa tugas Tim Nasional berakhir 8 Maret lalu, badan yang baru sudah langsung bekerja. Tapi, yang terjadi, pemerintah masih meraba-raba bentuk yang akan dipilih, bahkan larut dalam kebimbangan dalam menentukan status bencana: apakah bencana nasional atau bencana akibat kelalaian pengeboran oleh Lapindo Brantas Inc.
Keputusan membentuk badan permanen datang setelah ilmuwan bilang semburan lumpur baru akan berhenti 31 tahun lagi. Pemerintah terlambat tahu informasi penting ini. Padahal sudah lebih dari tiga bulan lalu para ahli geologi melansir analisis. Para ahli menaksir, selama air yang memasok semburan tersebut—dari Gunung Arjuna dan Gunung Penanggungan, sekitar 10 kilometer dari pusat semburan—masih ada, semburan tak akan pernah berhenti.
Hasil analisis itu seharusnya membuat pemerintah bergerak cepat. Apalagi, kita tahu, Tim Nasional yang dibentuk September tahun lalu tak banyak berkutik. Tim tak diberi kewenangan yang luas dan kuat. Di lapangan, Tim lebih banyak tersandera oleh kepentingan Lapindo, yang amat seret mengeluarkan dana.
Berdasarkan keputusan presiden, pendanaan memang ditanggung Lapindo, tapi jadwal pengeluaran dana oleh Lapindo tak diatur secara rinci. Perusahaan yang masih berkaitan dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie itu pun bisa leluasa menentukan pengeluaran dana.
Tim Nasional juga terbukti gagal mengatasi aksi pemblokiran jalur utama provinsi dan rel kereta api oleh warga yang marah. Tim menolak membayar ganti rugi untuk warga yang tinggal di luar area semburan yang telah dipetakan. Persoalannya, peta yang selesai disusun pada 4 Desember tahun lalu itu hanya menyebut empat kelurahan sebagai area luberan yang harus mendapat ganti rugi. Kini, luberan lumpur itu sudah makin luas, menjarah kawasan yang dulu belum masuk area. Sudah semestinya kawasan ini mendapat ganti kerugian yang sama.
Untuk tugas menghentikan semburan lumpur, Tim Nasional juga tak memperoleh banyak kemajuan. Setelah relief well gagal, usaha menerjunkan bola-bola beton untuk mengurangi volume semburan lumpur juga belum menunjukkan hasil. Begitu pula pompa yang dipakai untuk membuang lumpur ke Sungai Porong hanya punya kapasitas seperseratus jumlah lumpur yang muncrat. Pembangunan kanal ke laut kini mendesak untuk dipikirkan.
Pemerintah tak bisa lagi menunda pembentukan lembaga permanen yang kuat dengan kewenangan penuh untuk bergerak cepat. Disarankan agar segera dibentuk badan otorita lumpur Sidoarjo. Dengan begitu, badan ini akan punya ”gigi” buat menginstruksikan instansi mana pun di negeri ini, termasuk TNI, untuk ambil bagian.
Pekerjaan besar, kalau benar lumpur muncrat selama 31 tahun, telah menanti. Keputusan pemerintah yang mengulur waktu pembentukan badan ini merupakan blunder. Mengulur waktu berarti menambah derita korban bencana lumpur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo