DI sebuah kuil di daerah Pasarbaru, Jakarta Pusat, pekan lalu, ratusan warga Hindu Sikh mengadakan syukuran atas terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai pemimpin bangsa. Salah satu yang hadir adalah H.S. Dillon. Seusai acara, beberapa orang menghampiri pria bersorban itu dan mengucapkan selamat.
Maklum, pengamat pertanian yang suka bicara ceplas-ceplos itu santer disebut sebagai kandidat kuat di posisi Menteri Pertanian. "Saya tidak surprise jika Gus Dur memilih saya. Saya banyak berdiskusi dengan dia soal pertanian sejak sembilan tahun lalu. Ia menyukai ide-ide saya," kata Dillon kepada TEMPO, saat itu.
Tjahjo Kumolo merasakan hal serupa. Telepon genggamnya terus-menerus berdering. Banyak orang ingin mengucapkan selamat kepada Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPR ini karena namanya disebut sebagai calon jadi di posisi Menteri Perhubungan. Padahal, mantan aktivis Golkar dan bekas Ketua Umum KNPI ini sudah mendapat garansi langsung dari Gus Dur. "Siapa pun yang jadi presiden, nama kamu akan saya rekomendasikan," kata Tjahjo menirukan ucapan kiai Ciganjur itu, dua bulan lalu.
Ternyata, saat Presiden dan Wakil Presiden mengumumkan hasil final penyusunan kabinet, Selasa pekan lalu, nama Dillon serta Tjahjo sama sekali tidak muncul. Begitu juga Baharuddin Lopa, Saparinah Sadli, Marwah Daud, dan sejumlah nama yang sehari sebelumnya masih bertengger di kabinet. Apakah gerangan yang terjadi?
Selasa pagi pekan lalu, beberapa saat sebelum pengumuman, berkumpullah Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Akbar Tandjung, dan Wiranto di Istana Negara. Sumber TEMPO mengungkapkan pada saat itu terjadi ketegangan karena masing-masing ingin memasukkan calonnya pada detik-detik terakhir itu, sedangkan posisi yang ada terbatas.
Amien Rais membawa nama Nur Mahmudi Ismail dan Hasballah M. Saad. Akbar menyorongkan nama Mahadi Sinambela dan Bomer Pasaribu. Megawati menyebut nama Laksamana Sukardi, M. Prakosa, dan Sonny Keraf. Sementara Wiranto menyatakan tidak bisa membuang nama Agum Gumelar dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tawar-menawar pun berlangsung ketat sehingga terjadilah perubahan. Ada yang digeser, ada yang dihapus sama sekali.
Posisi Menteri Tenaga Kerja semula akan ditempati oleh Agum Gumelar. Kemudian ada masukan bahwa posisi itu sebaiknya tidak dijabat oleh orang militer karena akan sulit diterima oleh Organisasi Buruh Internasional. Jabatan itu kemudian ditawarkan ke Akbar Tandjung, yang akhirnya memilih Bomer Pasaribu. Selanjutnya, Agum dipindahkan ke posisi Menteri Perhubungan. Walhasil, nama Tjahjo Kumolo, yang semula sudah mantap, terpaksa dihapus.
Hingga Sabtu malam pekan lalu, nama Dillon masih bercokol di posisi Menteri Pertanian. Namun, keesokan harinya nama pria keturunan India itu terpental. Kendati dirinya tidak kecewa dengan keputusan itu, Dillon mengatakan banyak teman dekatnya yang sedih ketika namanya tidak masuk dalam daftar kabinet. "Mungkin sekarang belum waktunya. Siapa tahu lima tahun lagi," ujar anggota Komnas HAM ini.
Begitu pula dengan Tjahjo. Ia mengaku tidak ambil pusing karena tidak terpilih. Staf Litbang PDI Perjuangan ini menyadari masih banyak orang di partainya yang lebih senior dan lebih pantas menduduki jabatan menteri. Ada kabar, Megawati yang menjegal Tjahjo karena putri Bung Karno itu tersinggung oleh mantan Sekjen KNPI ini, yang "potong kompas" lewat jalur Gus Dur, bukan jalur PDI Perjuangan. "Nggak benar itu," kata Tjahjo. Baginya, "Masuk nominasi menteri saja sudah merupakan suatu penghormatan tersendiri."
Nama Marwah Daud Ibrahim juga disebut-sebut sebagai Menteri Informasi dan Telekomunikasi, pengganti Departemen Penerangan. Namun, menurut sumber di Istana, Gus Dur menolak nama Marwah karena mendapat masukan dari militer bahwa Ketua DPP Golkar itu terkait dengan kegiatan mahasiswa di Sulawesi Selatan yang ingin mendirikan Negara Indonesia Timur.
Anggota Komnas HAM, Saparinah Sadli, tadinya akan ditempatkan di posisi Menteri Urusan Peranan Wanita. Namun, dengan pertimbangan hanya satu orang PKB yang masuk, yaitu Alwi Shihab, Gus Dur akhirnya memilih Khofifah Indar Parawansa untuk jabatan itu. Setelah dibongkar-pasang 11 kali, pagi hari menjelang pengumuman akhirnya disepakati ada 4 menteri koordinator, 19 menteri, dan 6 menteri negara. Inilah upaya kompromi maksimal yang bisa dicapai.
Andari Karina A., Hani Pudjiarti, Lea Tandjung, Edy Budyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini