SEJAK kasus Bank Duta tersiar ke masyarakat, September silam, terdakwa Dicky Iskandar Di Nata sudah disebut-sebut bakal dituduh korupsi. Dan ternyata dakwaan "berat" itu memang ditimpakan Jaksa Ph. Rompas kepada Iskandar Di Nata. Ia dianggap secara tidak sah menggunakan dana Bank Duta untuk melakukan perdagangan valas, sehingga bank swasta itu menderita kerugian sekitar Rp 780 milyar. Dengan begitu, berdasarkan Undang-undang antikorupsi ( Undang-undang No. 3/1971), Dicky bisa diancam hukuman maksimum penjara seumur hidup, dan denda Rp 30 juta, plus uang ganti rugi sebesar kerugian negara akibat perbuatan korupsinya. Persoalannya, di kalangan hukum, terutama para pengacara, sampai kini masih berkembang paham dan pendapat bahwa undang-undang antikorupsi sebetulnya lebih dimaksudkan untuk para pelaku, yang pegawai negeri. Jadi, tepatkah tuduhan korupsi dikenakan terhadap Dicky, pegawai Bank Duta, yang bukan pegawai negeri itu? Tidakkah ia lebih kena jika didakwa dengan KUHP (pasal penggelapan) saja? Ketua tim pembela Dicky, Harjono Tjitrosoebono, pagi-pagi sudah menandaskan bahwa undang-undang antikorupsi itu tak bisa begitu saja diterapkan dalam kasus kliennya. Maksudnya, undang-undang itu, ketika dilahirkan, bertujuan untuk menertibkan aparatur negara (clean government). "Bukan lantas orang seperti Dicky, yang swasta, dieret-eret nggak keruan," kata Harjono. Harjono juga mempertanyakan penafsiran kejaksaan atas unsur "merugikan keuangan negara" dalam undang-undang antikorupsi, yang dipergunakan untuk kasus Dicky. Di satu sisi, selain masih diperdebatkan apa benar uang Bank Duta tu uang negara, berapa persisnya kerugian Bank Duta juga masih tanda tanya. Harjono menunjuk uang Boy Adam, salah seorang nasabah Bank Duta, yang menurut jaksa rekeningnya ikut dimainkan Dicky. "Itu kan bukan uang negara," ucap Harjono, yang tetap mengaku tak habis mengerti mengapa Dicky sampai diajukan sebagai terdakwa tunggal. Di sisi lain, kata Harjono -- yang menangani kasus itu bersama Pengacara Moh. Assegaf dan Hotma Sitompoel -- Bank Duta sudah go public. Berarti sebagian besar dananya milik masyarakat. Nah, "Kalau perusahaan yang sudah go pubic bisa dijaring korupsi, wah, bisa ngeri semua," dalihnya. Yang tak kalah pentingnya, sambung Harjono, kerugian Bank Duta itu kan sudah ditutup dengan hibah murni. Berarti, masyarakat tak dirugikan. Jadi, kalaupun kasus itu mau dituntut secara hukum, ya, si pemberi hibahlah yang mestinya memperkarakan. Hebatnya, Harjono bahkan menilai kasus valas Bank Duta itu paling banter cuma mismanajemen. "Ya, salah hitung, terlalu beranilah," ujarnya. Padahal, menurut Harjono, transaksi valas -- yang ditudingkan terhadap Dicky itu -- tak lepas dari keputusan manajemen Bank Duta. Dengan begitu, seakan-akan Harjono mencoba menggiring kasus itu ke pertanggungjawaban Dicky secara manajerial saja. Artinya, ya, akibat transaksi valas, yang dianggap transaksi perdata itu, Dicky tak bisa dimintakan pertanggungjawaban secara pidana -- apalagi seorang diri. Dalih tim pembela Dicky itu keruan saja dibantah keras oleh kejaksaan. Dari segi organisasi ataupun keuangan, kata Sekretaris Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Murni Rau- f, direksi maupun komisaris Bank Duta bisa saja diminta pertanggungjawabannya. Tapi dari segi pertanggungjawaban pidana, katanya, Ya, Dicky saja. Sebab, "Ini kan manipulasi perdagangan valas," ia menandaskan. Tentang kualitas Dicky selaku subyek korupsi, menurut Jaksa Pengganti Tjokorda M. Ram, juga sudah tepat. Memang, katanya, dalam pasal 1 (I) a. Undang-undang antikorupsi, subyek korupsi disebutkan pegawai negeri. Tapi dalam pasal 1 (I) b. undang-undang itu, tambahnya, rumusan subyek hukumnya tidak harus pegawai negeri. Jadi, "Jangkauan unsur "barang siapa" dalam pasal itu luas. Siapa saja. Bisa pegawai negeri, bisa juga swasta," ujar Tjokorda. Baik Tjokorda maupun Ph. Rompas sangat yakin bahwa unsur "merugikan keuangan negara" dalam undang-undang antikorupsi sudah terpenuhi dalam kasus Dicky. Sebab, dalam penjelasan undang-undang itu disebutkan bahwa kejahatan korupsi bisa pula terhadap badan hukum yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat, dengan dana yang diperoleh dari masyarakat. Nah, kata Tjokorda, Bank Duta jelas memperoleh fasilitas negara, misalnya, kredit likuiditas dari Bank Indonesia. Selain itu, sebagian besar saham Bank Duta adalah milik tiga yayasan, yang nota bene milik masyarakat, sedangkan sisa saham lainnya juga dimiliki masyarakat lewat proses go public. "Uang masyarakat itu kan juga uang negara," Murni Rauf menambahkan. Murni juga tak sependapat dengan argumentasi tim pembela, yang menganggap kasus itu bisa dianggap hapus karena adanya hibah murni. "Apa kalau sudah diberi hibah, lantas bisa bebas?" kata Murni. Menurut Tjokorda, perluasan subyek korupsi hingga mencakup orang swasta ini sebenarnya sudah lama dan sering diterapkan kejaksaan. Sebagian dari tuduhan korupsi dari kejaksaan itu juga dikabulkan hakim. Bahkan beberapa di antaranya sudah menjadi yurisprudensi. Misalnya, keputusan korupsi dari Mahkamah Agung tertanggal 7 Oktober 1981, dalam kasus Kanayodas Venumas Nanwani. Pengusaha swasta EMKU, perusahaan muatan udara, itu dihukum karena tuduhan korupsi. Bahkan dalam kasus kejahatan perbankan, baru-baru ini, tuduhan korupsi dapat digolkan. Dalam kasus itu, terdakwa bekas direktur Bank Perkembangan Asia (BPA), Lee Darmawan, dituduh korupsi sebesar Rp 118 milyar di bank itu. Pada 15 November 1990, Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Lee selama 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, plus ganti rugi Rp 85 milyar. Ahli hukum pidana, Prof. Oemar Senoadji, membenarkan bahwa bisa saja tuduhan korupsi itu dikenakan terhadap pegawai swasta. Memang, dalam penjelasan undang-undang antikorupsi, disebutkan pada umumnya kejahatan korupsi menyangkut aparat negara (pegawai negeri). "Ketentuan itu semula ditujukan kepada para pegawai negeri yang mendadak kaya, tapi dengan cara melawan hukum," ujar Oemar kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Sayangnya, sasaran terhadap "yang mendadak kaya" ini, diakui Oemar, dalam prakteknya belum terlaksana. Jadi, tampaknya, upaya untuk menyeret pegawai swasta ke dalam tuduhan korupsi bakal terus ditempuh kejaksaan. Perkembangan penerapan Undang-undang antikorupsi tampaknya cukup menggambarkan betapa senjata "hebat" itu bagaikan jaring tanpa batas. Buktinya, sebelum Undang-undang Pajak tahun 1983 lahir, tuduhan korupsi berkali-kali ditimpakan terhadap para pengusaha swasta yang disangka memanipulasikan pajak. Bahwa korupsi juga bisa diterapkan untuk kasus perbankan, mungkin juga lantaran Undang-undang Perbankan yang ada (Undang-undang No. 14/1967) memang sudah usang. Bahkan undang-undang perbankan ini terbukti sama sekali tak mampu menjangkau kasus valas Bank Duta. Kendati begitu, dalam catatan sejarah pengadilan pidana, ter- bukti pula bahwa undang-undang antikorupsi terhadap orang swasta tidak selamanya dikabulkan pengadilan. Contohnya, kasus kejahatan komputer di BNI 46. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Maret 1988, membebaskan terdakwa Rudy Demsy dan Seno Adji dari dakwaan korupsi. Soalnya, menurut hakim, di sidang tak terbukti adanya kerja sama antara terdakwa dan pejabat-pejabat di BNI 46. Pengadilan ternyata hanya menghukum terdakwa berdasarkan KUHP (pasal pencurian). Di Pengadilan Negeri Boyolali, Jawa Tengah, Rabu pekan lalu, lebih lucu lagi kasusnya. Seorang pengusaha benih padi, Nyonya Siti Amini Harjanto, 34 tahun, semula didakwa korupsi Rp 1 miIyar. Ia dituduh telah memproduksi dan memasarkan 23,8 ton benih padi palsu, sehingga panen para petani di daerah itu menjadi gagal. Ternyata, pengadilan membebaskan Nyonya Siti dari tuduhan korupsi. Dia cuma dihukum percobaan karena pemalsuan. Toh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Dr. Andi Hamzah, yang kini sedang menekuni hukum lingkungan hidup di Belanda, tetap menganggap Undang-Undang Anti Korupsi cukup efektif untuk menjerat siapa saja yang melakukan kejahatan dan merugikan keuangan negara. "Undang-undang antikorupsi bukan hanya mencantumkan sanksi berat. Tapi uang negara juga dapat balik," kata Andi Hamzah. Nah, soal uang ganti rugi itulah yang tak ada dalam KUHP. Yang jelas, kasus valas ini bakal merupakan suatu kemajuan buat sejarah hukum pidana kita. Sebab, seperti dikatakan Pengacara Minang Warman, yang pernah ikut membela Dicky. "Kasus ini belum jelas betul. Apakah semata-mata risk management atau memang ada pelanggaran hukumnya," kata Minang, yang mengundurkan diri dari kasus ini -- tanpa mau menyebutkan sebabnya. Jika memang risk management, kata Minang, tentu bisa saja tak ada masalah yuridis (pidana). Namun, sambungnya, jika ternyata dana Bank Duta itu terbukti mengalir keluar, tanpa bisa dipertanggungjawabkan dari segi manajemen, tentu bisa dianggap pula sebagai pelanggaran hukum. Namun, yang juga tergambar dari kasus ini adalah sebuah potret "sialnya" Dicky, dan "tertinggalnya" perangkat hukum oleh dinamikanya ekonomi. Kasus ini, akan membuktikan apakah undang-undang anti-korupsi mampu menjaring tertuduh yang bukan pegawai negeri. Happy S., Iwan Q. Himawan (Jakarta), Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini