Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa hanya dicky diadili ?

Dicky iskandar dinata diadili dengan dakwaan korupsi karena permainan valas yang menyebabkan bank duta rugi rp 780 milyar. menurut dicky permainan valas itu sudah diketahui dan disetujui direksi & komisaris.

9 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOYO, pucat, dan masa bodoh. Begitulah kesan orang jika menilik penampilan bekas Wakil Direktur Utama Bank Duta, Dicky Iskandar Di Nata, yang hadir sebagai terdakwa kasus valas US$ 419,6 juta (Rp 780 milyar) di Bank Duta, Sabtu pekan lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Banyak orang sepintas tak percaya bahwa dialah Dicky alias Achmad Sidik Mauladi, 39 tahun, yang dikenal gagah, energetik, dan berprestasi bak roket di dunia perbankan. Pada persidangan pertama itu, sosok dan tingkah laku Dicky memang berbeda 180 derajat dari kebiasaan sehari-harinya, sewaktu menjadi pejabat puncak Bank Duta. Ia mengenakan baju putih bergaris abu-abu lengan panjang, tanpa dasi, dengan celana hitam yang tak tersetrika. Sepatu kulitnya yang berwarna hitam pun tampak tak disemir. Rambutnya yang agak keriting dibiarkan berurai tak rapi di kening lebarnya. Dengan tatapan setengah terpejam dan badan terlonjor di kursi terdakwa, lelaki kelahiran Bandung dan penyandang gelar M.B.A. itu seakan-akan tak begitu peduli dengan dakwaan setebal 10 halaman yang dibacakan Jaksa Ph. Rompas. Sesekali Dicky memandang sayu dan bersuara mendesis lirih, sewaktu ketua majelis hakim, R. Saragih, menanyakan keadaan badannya. Di kursi pengunjung paling depan, istrinya, Nyonya Rita, kadang kala menunjuk-nunjuk ke arah leher suaminya, yang dibalut alat penyangga. Ia sepertinya memberi isyarat kepada majelis hakim bahwa leher suaminya terasa sakit. Sebentar kemudian, Rita kembali menyimak pelan ayat-ayat suci Quran yang tertulis di buku hariannya. Sekitar 125 orang pengunjung -- termasuk puluhan wartawan dan petugas keamanan -- memenuhi ruang sidang. Kasus ini memang menarik perhatian masyarakat, sekaligus membuat orang awam terkagum-kagum. Betapa tidak. Uang sebesar itu -- Rp 780 milyar, sekitar 14 kali anggaran pembangunan sektor hukum RAPBN 1991-92 -- bisa menguap begitu saja selama dua tahun. Inilah rekor tertinggi kasus kejahatan perbankan selama ini. Menurut Jaksa Ph. Rompas, antara Juni 1988 dan Agustus 1990, Dicky telah menggunakan dana Bank Duta secara tidak sah untuk bermain valas di Citibank Jakarta, National Bank of Kuwait Singapore (NBKS), dan lebih dari tujuh bank koresponden lainnya di Singapura. Akibat permainan spekulasi jual beli mata uang asing itu, dalam dakwaan jaksa, Bank Duta rugi US$ 419,6 juta (sekitar Rp 780 milyar). Waktu itu, Dicky, yang menjadi Direktur Bank Duta sejak 22 September 1986 dan menjabat wakil direktur utama 2 Januari 1989, memang bertugas pula mengelola perdagangan valas di Bank Duta. Tapi, kata jaksa, batas maksimum permainan itu sudah ditentukan dalam memo intern Bank Duta tanggal 30 Maret 1988. Persoalannya, begitu dakwaan jaksa, pada Juni 1988 sampai Maret 1989, tanpa diketahui direksi lainnya, Dicky bersama staf treasury Bank Duta, Risanto Sasmoyo, bermain valas di Citibank Jakarta, dengan taruhan melebihi batas. Padahal, dalam permainan itu, Dicky kalah terus sampai US$ 3,2 juta. Untuk menutupi perbuatan itu, Dicky memerintahkan saksi Raikaty Panjilie agar mentransfer dana Bank Duta sebesar US$ 3,5 juta ke Duta International Finance Company (DIFC) Hong Kong. Selanjutnya, dana ini ditransfer lagi ke Citibank Jakarta, melalui Eastide Corp., Hong Kong. Dalam pembukuan Bank Duta, uang penutup kerugian ini tercatat seolah-olah penempatan dana Bank Duta di DIFC. Selain itu, masih menurut jaksa, Dicky bermain valas dengan menggunakan rekening nasabah Bank Duta. Namanya, seperti disebut jaksa, Edwin Boy Adam. Edwin memang tercatat sebagai nasabah valas Bank Duta, berdasarkan perjanjian transaksi valas tanggal 23 September 1988. Hanya saja, kata jaksa, menurut peraturan intern Bank Duta, Dicky tak boleh bermain valas untuk diri sendiri, apalagi memakai nama nasabah. Pada September 1988 sampai Oktober 1989, Dicky memainkan dana Edwin di Bank Duta untuk berdagang valas di NBKS dan beberapa bank koresponden lain di Singapura. Ia sempat menang US$ 10,4 juta. Tapi uang ini, kata jaksa, masuk ke kantungnya sendiri. Selebihnya, Dicky terus membuka transaksi valas tersebut, tanpa menambah jaminan deposito. Padahal, transaksi itu sudah melampaui batas waktu dan trading limit-nya. Bahkan ia pernah membuka transaksi valas senilai US$ 450 juta. Tentu saja, nilai transaksi itu jauh lebih besar ketimbang jaminan deposito Edwin, US$ 2.500. Untuk mencegah kecurigaan Bank Indonesia (BI) atas kenyataan itu, Dicky memerintahkan saksi Endang Sariwening untuk membebani nilai transaksi itu ke jaminan deposito tiga nasabah Bank Duta yang sudah tak aktif lagi. Ketiga nasabah ini disebut jaksa bernama Welly Latief, Benny Irawan Pranata, dan Bambang Muharam. Sampai akhirnya, sewaktu permainan itu ditutup pada Agustus 1990, baru diketahui bahwa Dicky kalah terus. Bank Duta, menurut jaksa, harus menanggung rugi US$ 221,4 juta. Seperti juga permainan Dicky di Citibank, rupanya kerugian ini "diramu" sebagai penempatan dana Bank Duta di NKBS dan bank-bank lainnya itu. Rupanya, sebagaimana diutarakan seorang jaksa yang ikut menangani kasus itu, jika permainan valas ini untung -- seperti pada kasus valas atas nama Edwin Boy Adam -- hasilnya masuk ke kantung Dicky. Sebaliknya, jika kalah, kerugiannya dibebankan pada Bank Duta. Bukan hanya itu saja "kecerdikan" Dicky. Menurut jaksa, sebagai pejabat tingkat manajer, Dicky diperkenankan bermain valas. Hanya saja, sesuai dengan peraturan intern Bank Duta tertanggal 25 Juli 1989, ia hanya boleh main sampai US$ 50 juta, maksimum akumulasi kerugian atau keuntungan per bulan US$ 500 ribu, dan bisa diperpanjang setiap 6 bulan. Ternyata, kata jaksa, Dicky menyalahgunakan wewenang ini. Antara Juli 1989 dan akhir 1989, dalam dakwaan jaksa, bersama Risanto dan Mustari Calam, Dicky bermain valas, antara lain di NBKS. Nilai transaksi sampai US$ 77,18 juta. Ia terus membuka transaksi itu, kendati tak memenuhi ketentuan intern tadi. Padahal, ia kalah lagi. Untuk menutupi kerugian ini, ia menyuruh bawahannya untuk melakukan pinjaman antarbank sebesar US$ 32 juta, yang kemudian ditempatkan di NBKS. Untuk mengelabui pemeriksaan BI, pinjaman antarbank itu dibuat seakan-akan pinjaman beberapa nasabahnya yang sebenarnya sudah tak aktif lagi. Antara lain, sebagaimana dikatakan jaksa, atas nama Welly, Benny, Bambang, dan Peter Frans Gontha. Perbuatan ini, kendati kalah, terus dilakukan Dicky, sampai akhirnya permainan valas itu ditutup pada Agustus 1990. Ternyata, akumulasi kerugian akibat perdagangan valas itu, termasuk permainan sebelumnya yang harus ditanggung Bank Duta, kata jaksa, mencapai US$ 419,6 juta. Sebetulnya, spekulasi transaksi valas -- termasuk sederet permainan Dicky itu, kata sebuah sumber yang sering berhubungan dengan Bank Duta, merupakan hal lumrah yang juga dilakoni para bankir lain di bank-bank devisa. Masalahnya, selain karena Dicky terlalu berani bertaruh, akumulasi kerugiannya juga terlalu spektakuler. Kecuali itu, uang yang dimainkan adalah dana Bank Duta, yang 72,36% sahamnya dimiliki tiga yayasan yang diketuai Presiden Soeharto sendiri. Sialnya lagi, entah kenapa, Direktur Utama Bank Duta, Abdulgani, yang menurut Dicky sebenarnya mengetahui kemelut kerugian itu, pada 15 Agustus 1990 melaporkan kasus itu ke Komisaris Utama Bustanil Arifin. Tiga hari kemudian, Abdulgani dan Bustanil dipanggil Pak Harto. Setelah itu, Mensesneg Moerdiono pun kerja ekstrakeras. Satu per satu pejabat Bank Duta, termasuk para direksinya, diperiksa di Setneg. Yang terjadi kemudian adalah usaha penyelamatan nasib Bank Duta. Termasuk menyetop transaksi valas Dicky itu. Langkah berikutnya adalah memecat para direksi Bank Duta. Pada 4 September 1990, kasus itu pun, yang terhitung sudah lama dipendam, meletup ke masyarakat. Dicky sendiri, yang ditahan Kejaksaan Agung sejak 13 September 1990, hanya bisa menyampaikan pembelaan secara tertulis ke rapat umum pemegang saham (RUPS) Bank Duta pada 4 Oktober 1990. Menurut Dicky, segala permainan valas itu sebenarnya sudah diketahui dan disetujui para direksi dan komisaris. Bahkan manajemen Bank Duta juga memutuskan akan menjaga rahasia kerugian itu, sambil memprioritaskan persiapan menghadapi pemeriksaan BI. Sebab itu, Dicky memprotes keputusan manajemen Bank Duta, yang memberhentikannya dengan tidak hormat. "Saya benar-benar keberatan atas rekayasa sepihak semacam itu, di mana saya tidak diperkenankan hadir secara pribadi dalam RUPS," tulisnya (TEMPO, 13 Oktober 1990). Toh palu Bustanil yang memimpin RUPS, sudah diketok. Kejaksaan Agung juga semakin mengintensifkan penyidikan Dicky. Sementara harta kekayaannya yang disita hanya bernilai sekitar Rp 20 milyar. Sampai akhirnya, ia kini diadili dan dijaring dengan tuduhan "seram", korupsi. Sekitar 53 orang saksi -- termasuk dua saksi ahli dari BI -- akan dihadirkan di persidangan. Para bekas direksi Bank Duta juga berstatus saksi. Namun, "Bukan tak mungkin beberapa dari mereka, yang sudah lama mengetahui kasus itu, nantinya terjaring. Di sidang kan mestinya buka-bukaan," kata seorang jaksa yang ikut menangani kasus itu. Menghadapi kemungkinan itu, bekas Komisaris Utama Bank Duta Bustanil Arifin enggan berkomentar banyak. "Pokoknya, jangan tanya soal itu, deh. Ini belum saatnya saya berkomentar. Saya takut kalau nantinya malah salah," kata Bustanil kepada wartawan TEMPO Iwan Q. Himawan, seusai Rakor Ekuin di Departemen Keuangan, Senin pekan ini. Sewaktu ditanya kenapa para direksi dan komisaris Bank Duta selama ini seakan-akan sepakat melakukan "gerakan tutup mulut" atas kasus itu, Bustanil juga mengutarakan jawaban senada sembari tersenyum lebar dan masuk mobil. Sementara itu, tim pembela Dicky, yang diketuai Harjono Tjitrosoebono, mempersoalkan kesalahan yang ditimpakan pada Dicky seorang. Padahal, "Ia hanya menjalankan policy perusahaan. Apalagi, secara teknisnya, ia hanya mengontrol transaksi valas itu. Dicky sama sekali tak menjalankan permainan valas itu, juga pelaksanaan dealing-nya," kata Harjono, yang juga Ketua Umum Ikadin. Menurut Harjono, sebetulnya Dicky hanya berupaya menutup kerugian akibat transaksi valas, yang sudah ada sebelum ia diserahi tugas mengenai valas itu. Ia memperhitungkan bahwa posisi dolar terhadap mata uang asing, antara lain mark Jerman, bakal naik. "Kalau menang, kan Bank Duta pesta. Tapi kalau meleset, Dicky yang dimaki-maki," ujar Harjono. Sial bagi Dicky. Dolar anjlok terus. Lebih dari itu, tutur Harjono lagi, sebetulnya permainan valas itu sudah diketahui, bahkan diputuskan dalam rapat para direksi. Komisaris juga tahu perkembangan itu. Jadi, "Ndak bisa kalau cuma Dicky seorang yang dijadikan tumbal, seolah-olah one man show. Di bank mana pun, tak ada yang begitu," katanya. Happy Sulistyadi, Wahyu Muryadi, Moebanoe Moera (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus