Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menggugat undangan dan teguran

Gugatan yang masuk ke pengadilan tata usaha negara adalah menyangkut keputusan pejabat pemerintah yang dianggap merugikan rakyat. meskipun banyak gugatan tidak memenuhi syarat, harapan masyarakat besar.

9 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH tiga pekan ini Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) resmi beroperasi. Ternyata, animo dan harapan masyarakat terhadap lembaga yang akan mengadili tindakan sewenang-wenang aparat pemerintah itu begitu besar. Buktinya, kendati beberapa PTUN belum "siap tempur" -- karena baru gedungnya saja yang diresmikan -- mereka sudah beruntun melayangkan gugatan. Menariknya, berbagai ulah pejabat pemerintah yang dianggap menyimpang diperkarakan ke PTUN. Entah itu soal undangan wali kota, pelayanan aparat, bahkan teguran dari atasan. Namun, ternyata, belum semua pencari keadilan memahami per- syaratan dan tata cara mengajukan perkara ke PTUN. Sebab itu, tak heran jika hanya beberapa gugatan saja yang dianggap memenuhi syarat. Pada hari pertama PTUN Jakarta dibuka, Sabtu dua pekan lalu, contohnya, Pengacara O.C. Kaligis menggelar dua gugatan. Yang pertama, soal undangan Wali Kota Jakarta Barat terhadap klien Kaligis, Paulus Djaja Sentosa Tabeta. Pada 14 Januari 1991, Wali Kota mengundang Paulus untuk membicarakan sengketa tanahnya dengan Nyonya Sriyanti. Menurut Kaligis, Wali Kota sama sekali tak berwenang mengundang untuk menyelesaikan masalah tanah kliennya. Kalau memang surat tanah Paulus dan Sriyanti diduga tumpang tindih, katanya, jelas itu wewenang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Begitu pula kalau terjadi sengketa, tentu wewenang pengadilan perdata. Kaligis mengakui gugatan undangan itu semacam uji coba. "Kalaupun gugatan itu ditolak, lain kali saya akan menganjurkan klien saya untuk tidak usah buang-buang waktu menghadiri undangan," katanya. Gugatan Kaligis yang kedua adalah tentang tindakan BPN yang tak kunjung melayani permohonan kliennya, Nyonya Dumatiar Lumbangaol, untuk memperoleh sertifikat tanah. Di Medan salah satu perkara dari dua gugatan yang masuk ke PTUN -- lima hakimnya baru dilantik Senin pekan lalu -- diajukan seorang pegawai Departemen Perdagangan, Ali Amran. Ali memperkarakan teguran atasannya karena ia merasa tak bersalah. Sementara itu, di PTUN Palembang, yang lima hakimnya baru dilantik Rabu pekan lalu, sudah masuk tiga perkara. Yang pertama tentang kasus tanah. Perkara kedua diajukan para pemilik toko di kebun Jahe, yang mempersoalkan keputusan Wali Kota Palembang, tanggal 7 November 1990. Mereka menganggap keputusan Wali Kota -- agar pertokoan itu dibongkar selebar tujuh meter -- sewenang-wenang karena tak dimusyawarahkan lebih dahulu. Sedangkan kasus ketiga, lucunya, menyangkut sebuah perkara yang sudah diputus pengadilan perdata. Si penggugat, rupanya, tak puas atas keputusan itu -- yang mestinya dibanding ke pengadilan tinggi. Berbagai materi gugatan itu jelas berkesan "gado-gado". Padahal, yang bisa digugat ke PTUN hanya menyangkut SK-SK alias keputusan pejabat pemerintah yang dianggap merugikan rakyat. Hal ini tentu berbeda dengan keadaan PTUN di negara lain, Jerman atau Prancis misalnya. Di sana, selain soal keputusan, PTUN juga berwenang mengadili tindakan aparat pemerintah. Di Indonesia, keputusan yang digugat itu pun harus bersifat kongkret, final, dan individual. Contohnya, sebuah keputusan tentang penggusuran harus menyebut secara jelas dan rinci nama-nama orang (pemilik tanah) yang tergusur. Jika tidak, artinya cuma menyebutkan tujuan penggusuran dan lokasinya, "tentu saja keputusan yang bersifat umum itu tak bisa digugat melalui PTUN," kata Wakil Ketua PTUN Surabaya, Risardi Iman. Selain itu, para warga tampaknya belum memahami tata cara mengajukan gugatan ke PTUN. Dua gugatan di PTUN Medan itu, contohnya, tak bisa didaftarkan karena penggugat belum membayar biaya perkara. Sebelumnya, enam gugatan malah dimasukkan masyarakat, padahal PTUN-nya belum siap -- karena baru gedung- nya saja yang diresmikan. Tiga perkara di PTUN Palembang tadi malah baru berupa pengaduan saja -- belum dibuat gugatannya. Begitu juga soal tenggang waktu keputusan yang bisa digugat. Menurut Ketua PTUN Jakarta, Amarullah Salim, hanya keputusan yang dikeluarkan paling lama 90 hari sebelum PTUN beroperasi pada 14 Januari 1991 saja yang bisa diperkarakan. Walhasil, seperti kata Ketua PTUN Surabaya, Benyamin Mangkoedilaga, kebanyakan gugatan yang masuk terhitung "masih ngawur".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus