SOROT mata puluhan pengunjung meredup iba, begitu Dicky Iskandar Di Nata memasuki ruang sidang Pengadilan Jakarta Pusat. Lelaki muda yang dulu segar itu kini tampak kusut, tak bergairah. Langkahnya terseok meski sudah dipapah. Di kursi pesakitan yang empuk itu pun, ayah tiga anak ini tak mampu duduk tegak. Sesekali tangannya memegang decker yang melilit lehernya. Sakitkah Dicky? Tak jelas benar. Tapi soal "sakit" itulah yang kini ramai diperdebatkan. Sampai-sampai ketua majelis hakim H.R. Saragih, pada sidang pertamanya Sabtu pekan lalu, perlu meminta kejelasan pada Jaksa Rompas, ihwal sakitnya Dicky. Mengutip keterangan tim dokter RSCM yang disampaikan pada dokter Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba -- tempat Dicky ditahan -- jaksa menyebut terdakwa mengalami gangguan fisik dan psikis, dan perlu istirahat tiga hari. "Namun, gangguan tersebut tidak menghalangi kemampuan Dicky untuk diperiksa kejaksaan dan pengadilan," demikian Rompas mengutip bunyi surat tertanggal 9 Januari itu. Berbekal keterangan itulah, ketua majelis memutuskan sidang diteruskan, dan surat dakwaan jaksa dibacakan. Tapi, ketika jaksa baru membaca beberapa kalimat, tiba-tiba Harjono Tjitrosoebono, penasihat hukum terdakwa, menginterupsi. "Surat keterangan yang sudah lama itu berbeda dengan kondisi terdakwa sekarang. Demi pemenuhan hak asasi dan kemanusiaan, mohon sidang ditangguhkan satu bulan." Maksudnya, agar Dicky bisa dirawat lebih intensif di luar rutan. Terjadi perdebatan tujuh menit, sebelum hakim memutuskan persidangan jalan terus. Harjono tampak tidak puas. Dalam keterangannya di luar sidang, Harjono menjelaskan bahwa permintaan agar kliennya bisa dirawat di luar bukan mengada-ada. Rujukan itu diambil dari surat rekomendasi yang dibuat dokter rutan, dr. Parda Sibarani, tertanggal 28 Januari 1991, yang menyebut supaya Dicky dirawat kembali oleh tim dokter RSCM yang dulu merawatnya. "Menurut dokter, Dicky menderita sakit pada tulang leher. Kalau tak dioperasi, bisa menimbulkan pengapuran," tutur Harjono. Ihwal sakit atau tidaknya Dicky kemudian memang menjadi polemik tersendiri. Sekretaris Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Murni Rauf, S.H. (dahulu menangani langsung kasus Bank Duta), meragukan "keterangan sakit" yang dibuat dokter rutan. Ia beranggapan, Dicky sudah sembuh. Keyakinan Murni bahwa Dicky sehat memang beralasan. Berdasarkan pengamatannya, selera makan Dicky ternyata bagus, tak menandakan sedang sakit. "Coba lihat pelan-pelan, dia pesan bakmi segala di rutan Salemba," kata Murni. Jika persidangan tertunda terus, menurut Murni, justru akan merugikan Dicky sendiri. "Bagaimanapun, dia harus menghadapi pengadilan. Kalau begini caranya, kesan masyarakat jadi buruk." Sejak Dicky ditahan kejaksaan, 13 September 1990, hari-harinya memang banyak dilewatkan di luar tahanan. Karena ketika baru dua bulan ditahan, Dicky jatuh sakit. Pihak kejaksaan lalu memberi izin Dicky untuk menjalani perawatan di luar. Mula-mula, ia berobat jalan d RS Siaga Raya, Pasar Minggu. Dari sini kemudian ia dipindah ke RS Cikini. Menjelang pemberkasan perkara selesai, kejaksaan minta bantuan Kanwil Depkes DKI, agar bisa meneliti kesehatan Dicky secara obyektif. Kanwil Depkes membentuk tim, dengan ketua Direktur RSCM, dr. Hidayat. Perawatan Dicky pun dioper ke RSCM. Hasil penelitian tim, seperti diucapkan jaksa tadi: pemeriksaan boleh berjalan terus. Atas dasar ini pula, Dicky di-"rutan"-kan pada 23 Januari lalu. Sebenarnya, soal menikmati kebebasan di luar tahanan, dengan memanfaatkan izin berobat, bukan hal baru. Pada 1985, misalnya, Nur Usman, pejabat Pertamina yang dituduh membunuh anak tirinya, malah sampai berbulan-bulan berada di rumah sakit. Jejaknya kemudian ditiru oleh Seno Aji dan Harry Tranggono, terdakwa dalam kasus pembobolan Bank BNI Cabang New York dan American Express Bank. Dalam kedua kasus itu, izin berobat di luar tahanan ternyata dihitung sebagai jumlah masa tahanan yang bisa mengurangi masa hukuman terdakwa. Penyalahgunaan izin rawat seperti itulah yang bikin tahanan kelas teri sakit hati karena yang bisa menikmati kesempatan itu umumnya tahanan kelas berduit. Memang, dalam KUHAP, hak tahanan untuk dirawat di rumah sakit bisa diperhitungkan sebagai masa tahanan. Namun, melihat kasus Nur Usman, banyak pengamat ahli hukum menilai hal itu sebagai kelemahan KUHAP. Diilhami oleh kedua kasus di atas itulah, Mahkamah Agung kemudian, pada April 1989, mengeluarkan surat edaran: memerintahkan peradilan bawahannya agar tak lagi menghitung masa seorang tahanan dirawat di rumah sakit sebagai masa tahanan. Namun, dalam kasus Dicky, apa motivasinya ia memperlambat sidang? Harjono, penasihat hukum Dicky, membantah kalau sakit Dicky disebut sebagai action, atau untuk mencari keuntungan. "Dicky benar-benar sakit. Masa, main-main," katanya. Karena itu, ia bersikeras meminta kliennya supaya bisa ditahan di luar. Sidang Dicky akhirnya hanya ditunda 11 hari. Tapi peluang untuk membawa Dicky ke luar rutan bukan tertutup sama sekali. "Soal kondisi kesehatan Dicky masih kami konsultasikan dengan dokter rutan," kata Monang Siringo-Ringo, salah seorang anggota majelis. Tentang boleh tidaknya dirawat di luar, "Tergantung hasil konsultasi itu." Aries M., Wahyu Muryadi, Ardian T.G., dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini