Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menggugat undang-undang usang

Seorang dosen fh undip mengusulkan agar uu tpe (undang-undang tindak pidana ekonomi) dicabut karena sistem demokrasi ekonomi telah berkembang. kepala puslitbang kejagung mengatakan perlu penyempurnaan

9 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANGKAT hukum di bidang ekonomi semakin terasa "ketinggalan kereta". Tak heran jika para pelaku ekonomi, juga segenap ahli hukum, menilai undang-undang yang ada tak layak lagi untuk perkembangan dinamisasi ekonomi yang semakin berkembang. Dengan kata lain, perlu peraturan perundangan baru. Salah satu contohnya, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU TPE) tahun 1955. Menurut dosen hukum pidana FH Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Tjipto Soeroso, UU TPE sudah tak cocok lagi untuk iklim ekonomi kini. "Dengan kebijaksanaan sistem demokrasi ekonomi, yang dirasakan lebih liberal dan memberi kelonggaran pada swasta, undang-undang itu semakin tidak efektif," kata Tjipto, 47 tahun, baru-baru ini. Sebab itu, kepada wartawan TEMPO Heddy Lugito, Rabu pekan lalu, ia - mengusulkan agar UU TPE dicabut saja. UU Darurat No. 7/1955 tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi itu sebetulnya merupakan terjemahan dari undang-undang Belanda, Wet op de Economische Delicten. Waktu undang-undang itu dilahirkan, Belanda sedang mengalami masa resesi akibat Perang Dunia II. Sebab itu, peranan pemerintah Belanda sebagai panglima ekonomi sangat menonjol. Kebetulan, pada 1959-1965, keadaan serupa juga terjadi di Indonesia. Ketika itu, pemerintah Indonesia menerapkan sistem ekonomi terpimpin. Walhasil, peranan UU TPE, yang bersifat memaksa (coercive) dan mencantumkan ancaman maksimum hukuman mati, juga sangat efektif. Setiap tahun, setidaknya lebih dari seratus perkara TPE diperiksa dan diputus pengadilan. Namun, sejak kelahiran orde baru hingga kini, demikian ditulis Tjipto Soeroso di harian Kompas 24 Januari 1991, kasus TPE yang masuk ke pengadilan semakin langka. Jika ditilik, perkara ekonomi yang terakhir diperiksa pengadilan terhitung sisa hasil operasi kasus manipulasi sertifikat ekspor -- intensif ekspor yang dihapuskan pemerintah pada 1986. Semua itu, kata Tjipto, tak lain lantaran berubahnya sistem ekonomi kita -- dari ekonomi terpimpin menjadi demokrasi ekonomi. Dengan begitu, campur tangan pemerintah di bidang ekonomi semakin kecil, sebaliknya swasta diberi kelonggaran. Dalam perkembangannya, juga terjadi dekriminalisasi -- apa yang dulu dianggap kriminal sekarang tidak lagi. Sebab itu, Tjipto menilai berbagai muatan dalam UU TPE tak cocok lagi dengan perkembangan sistem demokrasi ekonomi. Buktinya, Pemerintah sudah mencabut ordonansi tentang devisa dalam UU TPE. Sebabnya, dahulu tak bisa sembarang orang memiliki devisa, tetapi sekarang siapa saja boleh membeli dolar. Berdasarkan itu, Tjipto berpendapat perlu dibuat UU TPE baru. UU baru ini, tambahnya, sebaiknya juga sekaligus memayungi kebijaksanaan di bidang hukum pidana ekonomi. Sebagai contoh, undang-undang tentang perpajakan dan perbankan harus bertumpu pada UU baru itu. "Agar sistem hukumnya jelas, tidak tambal sulam," ucapnya. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung, Dr. Andi Hamzah, yang sedang menekuni hukum lingkungan hidup di Belanda, tak sependapat dengan dalil Tjipto. "Sembilan puluh persen isi UU TPE kita masih bagus. Tak perlu sampai dicabut," kata Andi Hamzah melalui saluran telepon internasional kepada Ivan Haris dari TEMPO. Yang diperlukan, katanya, adalah penyempurnaan isi UU TPE. Pengaturan tentang perdagangan tembakau, minyak kayu putih, atau ketela pohon dalam UU itu, misalnya, bisa dibuang. Sebab, tambahnya, selama ini soal itu tak pernah diterapkan. Dengan kata lain, tak ada orang ditangkap karena kasus perdagangan minyak kayu putih, tembakau, dan ketela. Masalah lingkungan hidup dan industri, sambung Andi Hamzah, sudah selayaknya dimasukkan ke dalam UU TPE. Kedua materi ini sebenarnya sudah lama dimasukkan ke dalam UU TPE Belanda. Namun, di Indonesia, soal itu sudah telanjur diundangkan, yakni lewat Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 1982 dan Undang-Undang Perindustrian tahun 1984. Diubah atau disempurnakan, yang penting barangkali harus segera dilakukan langkah-langkah ke arah penyesuaian undang-undang dengan tuntutan zaman. Kalau tidak, lalu untuk apa peraturan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus