Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
David Reeve menulis biografi sejarawan Ong Hok Ham
Melihat intelektualitas dan kecintaan Ong Hok Ham pada Indonesia.
Ong Hok Ham bersahaja tapi sangat berwarna.
CUACA mendung. Bangku-bangku kayu panjang sudah disusun rapi di atas hamparan rumput taman, Ahad sore, 16 April lalu. Pelantang suara ditaruh di pojok halaman. Panitia pun sudah bersiap-siap. Namun, apa daya, hujan deras mengguyur disertai gelegar halilintar. Walhasil, acara bincang publik tentang sejarawan Ong Hok Ham yang diadakan Masyarakat Sejawaran Indonesia Komisariat Malang dipindah ke dalam ruang pamer Dialectica Gallery, Jalan Sumbing, Kota Malang, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara tersebut bertema “Keluarga Han di Jawa Timur bagi Sejarawan Ongkhokham” dengan narasumber David Reeve, sejarawan senior dan profesor tidak tetap di University of News South Wales, Australia. David Reeve tahun lalu menerbitkan buku biografi Ong Hok Ham berjudul To Remain Myself (The History of Onghokham). Ia datang ke Malang dan bercerita mengenai keluarga-keluarga besar Ong di Malang dan kota-kola lain di Jawa Timur. Buku itu berisi kisah hidup Ong dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa perang, masa belajar di Amerika, hingga masa kariernya sebagai sejarawan sampai pensiun. Buku ini rencananya akan diterbitkan dalam edisi berbahasa Indonesia tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ong lahir dari keluarga peranakan. Ibunya keturunan keluarga Han Hoo Tong (1859-1919) di Pasuruan dan Tan di Surabaya. Han Hoo Tong dikenal sebagai salah seorang raja gula Indonesia asal Pasuruan. Anggota keluarga Han dan Tan banyak yang menduduki jabatan opsir di Cina. Sementara itu, orang tua ayahnya berasal dari Malang dan Bangil, Pasuruan. David menjelaskan, keluarga Ong berada di Malang selama November 1945-Juli 1947. Mereka adalah bagian dari puluhan ribu pengungsi dari Surabaya pada awal-awal masa pertempuran Surabaya. Keluarga Ong di Malang awalnya tinggal bersama seorang saudara bernama Tante Koppo di sebuah rumah besar di Jalan Celaket (rumah besar ini sekarang berwujud hotel mewah). Dari situ mereka pindah ke kamar kos dekat Stasiun Malang.
Onghokham di kantor redaksi Majalah Tempo, Jakarta, 1983. Tempo/Dodo Karundeng
“Saat itu periode perang banyak ketegangan. Sering terjadi benturan antara orang Republik dan peranakan karena peranakan sering dianggap mata-mata Belanda. Ada perampokan dan kadang-kadang pembunuhan,” tulis Reeve. Pada 1946-1947, Malang menjadi kota Republik terbesar di Jawa Timur sehingga menjadi lokasi kegiatan Republik Indonesia, dari rapat, konferensi, kunjungan pemimpin besar, hingga peliputan wartawan domestik dan asing. “Pada 17 Agustus 1946 dirayakan hari ulang tahun kemerdekaan pertama secara besar-besaran di Kota Malang. Ada pawai besar, makanya banyak petinggi Republik dan wartawan ke Malang,” ucap Reeve.
Kejadian paling besar di Malang saat itu adalah pelaksanaan Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat pada 25 Februari-6 Maret 1947 di Gedung Concordia (sekarang pusat belanja Sarinah). Hampir semua unsur pemerintah Republik ada di Malang. Perjanjian Linggarjati disepakati pada Maret-Juni 1947, tapi keadaan makin menegangkan karena Belanda justru mengingkari Perjanjian Linggarjati yang telah disepakati pada 25 Maret 1947. Bahkan Belanda melancarkan operasi militer di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera pada 21 Juli-5 Agustus 1947, yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. “Akhirnya Kota Malang kembali direbut Belanda dan keluarga Ong dikirim kembali ke Surabaya. Namun kejadian-kejadian di Malang yang dilihat Ong turut membentuk tingginya rasa nasionalisme Ong. Ia jadi sangat mencintai Indonesia. Ia selalu berbicara sebagai warga negara Indonesia, bukan sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa,” ujar Reeve.
•••
DAVID Reeve, 77 tahun, berkenalan dan bersahabat dengan Ong Hok Ham sejak 1975 saat sama-sama mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia—sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya atau FIB. David sekarang adalah honorary associate professor di University of New South Wales. Bagi dia, Ong sejarawan unik karena hidupnya yang nyentrik, bohemian, dengan semua ciri yang sering dimaki-maki di Indonesia (Ong seorang gay dan tidak bertuhan alias ateis).
Ong Hok Ham lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 1 Mei 1933. Ia adalah salah seorang sejarawan Indonesia yang berkonsentrasi pada penelitian masa kolonial. Ia sering dijuluki intelektual publik karena sering menulis di majalah Tempo, majalah Prisma, dan harian Kompas. Ia wafat pada 30 Agustus 2007 dalam usia 74 tahun akibat serangan stroke. Ong terkena stroke pada 2001 yang menyebabkan tangan kirinya lumpuh. Pada masa mengalami stroke inilah Ong tak lagi produktif menulis. Ia sesekali menulis hanya dengan tangan kanan.
Sebagaimana dituturkan David dalam acara diskusi itu, buku To Remain Myself: The History of Onghokham menggambarkan siapa Ong dari berbagai dimensi: keluarga, perjalanan Ong, persahabatannya dengan sejumlah intelektual, dan pemikiran Ong dalam bidang sejarah sosial. David menerangkan, kondisi kesehatan Ong menjadi kendala terbesar saat menggarap buku. Semua wawancara dilakukan David saat Ong menderita stroke. Stroke membuat Ong lebih banyak menghabiskan waktu di kursi roda, kepayahan berbicara, dan omongannya sulit dipahami.
Kesulitan berikutnya, Ong membenci birokrasi sehingga dia meninggalkan sangat sedikit catatan pribadi tentang dirinya sendiri kecuali untuk publikasi artikel-artikel yang ditulisnya. Ong nyaris tidak menyimpan surat-surat pribadi. Surat-surat pribadi Ong yang ada pun sangat tidak teratur penyimpanannya. “Ong sangat frustrasi dan kesal. Sedangkan saya frustrasi dan malu karena bukunya hampir tidak selesai,” tutur Reeve. Penulisan buku itu menghabiskan waktu 20 tahun. Reeve banyak mendapatkan pekerjaan dan proyek lain sehingga rencana lama menggarap buku tentang Ong baru bisa dimulai pada 2002
Untung saja Ong sangat terbuka. Ong ingin kisah lengkap hidupnya ditulis. David sebenarnya tidak yakin betul Ong telah menceritakan semua kisah hidupnya. Mungkin saja ada bagian-bagian kecil kisah hidupnya yang disimpan rapat-rapat dan hanya dia yang tahu. David sangat memakluminya. “Yang penting bagi saya,” Reeve menekankan, “Dia bilang akan memberikan semua informasi yang saya inginkan dan dia tidak akan pengaruhi kesimpulannya. Kesimpulannya terserah saya. Saya boleh menyimpulkan Ong adalah kawan lama, sahabat, dan kolega. Ini sangat memudahkan saya menulis tentang dia.”
Sesuai dengan permintaan Ong, buku To Remain Myself: The History of Onghokham dikerjakan David sebagai buku biografi yang komplet dan sangat jujur. Sisi-sisi kemanusiaan Ong, termasuk suasana batin, dunia emosi, keraguan, ketakutan, dan kebingungan, ditulis. Ong memang ingin bukunya berbeda dari biografi lain dan menetapkan standar baru bagi penulisan biografi Indonesia yang lebih jujur dan terbuka. Pemilihan judul buku mencerminkan keputusan Ong untuk melakoni hidup dengan caranya sendiri dan tetap menjadi diri sendiri. Ia berhasil melakukannya. “Buku yang kutulis ini pun bukan karena kepintaran aku, tapi karena keterbukaan Ong,” kata diplomat di Kedutaan Besar Australia (1968-1972) ini.
Reeve mengawali bukunya dengan menceritakan Han Hoo Tong, raja gula Pasuruan kakek buyut Ong. Dari 1870-an sampai 1920-an ada banyak raja gula, baron teh, dan baron kopi, terutama dalam beberapa keluarga peranakan senior. Di Jawa Timur, selain keluarga Han, ada keluarga Teh dan Tjia yang menguasai segitiga bisnis di Surabaya, Malang, dan Pasuruan. Han Hoo Tong berstatus sosial sangat tinggi berkat kekayaannya. Gaya hidupnya amat glamor, modern, serta dekat sekali dengan tokoh Belanda dan priayi tinggi (pangeran/bupati).
Han Hoo Tong dan istri keduanya, Ong Ik Nio. Dok.Keluarga Han/Buku David Reeve, To Remain Myself The History of Onghokham
“Han Hoo Tong punya banyak cucu, salah satunya adalah ibu Ong (Tan Siang Tjia). Jadi melalui ibunya Ong ada hubungan keluarga langsung dengan raja gula Pasuruan. Waktu Ong kecil ibunya sering sekali bercerita tentang keluarga-keluarga raja gula dengan segala kegiatan dan kemewahannya. Cerita-cerita ini yang ikut menimbulkan minatnya pada sejarah,” ujar David kepada Tempo. Kakek Ong dari pihak ibu, Tan Hie Soe, juga kaya raya. Tan merupakan keturunan pemimpin masyarakat Cina yang disebut kapitein der Chinezen (kapitan Cina). Ia juga seorang pachter, saudagar yang memborong hak usaha tertentu milik pemerintah Hindia Belanda. Bermodal titel-titel itu, keluarga Ong dihormati di daerah tempat tinggalnya.
Boleh dikatakan keluarga besar Ong adalah keluarga konglomerat di masanya. Salah satu bukti kekayaan keluarga Ong adalah mobil buatan Packard Motor Car Company, perusahaan mobil mewah Amerika Serikat yang berlokasi di Detroit, Michigan. Mobil Packard jadi mobil termewah, termahal, dan tercanggih pada zamannya. Pemilik mobil ini dijuluki “kaum Packard” dan keluarga Ong mendapat julukan serupa. Keluarga Ong sangat pro-Belanda atau gila londo menurut David. Keluarga besar Ong memanggil Ong dengan nama Hans. Para pembantu menyapa Ong sebagai Sinyo Hansje. Keluarga Ong sehari-hari berbahasa Belanda. Pendidikan dan budaya Belanda tetap nomor satu sehingga keluarga Ong sangat jauh dari masyarakat Indonesia kebanyakan. Mereka hanya mau bergaul dengan kaum elite Indonesia. Namun Ong menjadi sosok anomali dalam keluarganya.
Ong menjadi sejarawan. Padahal keluarga Ong sangat tidak memedulikan sejarah. Di masa itu, keluarga Ong menganggap profesi sejarawan tidak bisa membuat hidup mapan dan sejahtera. Sejarawan dianggap kalah kelas dibanding ahli hukum, dokter, dan pebisnis. Orang tua Ong sangat menginginkannya jadi sarjana hukum. Sejarah Indonesia masih berupa konsep baru pada masa itu. Karena itu, keluarga Ong menentang keputusan Ong menekuni sejarah Indonesia. Ong sempat belajar hukum di Universitas Indonesia, tapi hanya sebentar karena dia bosan. Pada 1960, Ong kembali ke UI untuk belajar sejarah di Fakultas Sastra.
Ong Hok Ham dengan kursi roda saat menghadiri peluncuran kumpulan cerpen "Kisah Surat dari Legian" karya Sitor Situmorang di Jakarta, Oktober 2003. Dok.Tempo/Hermansyah
Menurut David, Ong sudah tertarik pada sejarah sejak muda. Ong melahap semua buku sejarah ataupun roman sejarah tentang Eropa dalam bahasa Belanda di perpustakaan sekolah. Ketertarikan Ong pada sejarah tersulut oleh kepiawaian Broder Rosarius, guru sejarah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya, pada 1953. “Dari guru sejarahnya itu Ong mendapat dua hal, yaitu api sejarah dan kesadaran tentang kewarganegaraan. Saat kebanyakan remaja lulusan HBS Surabaya melanjutkan pendidikan di luar negeri, Ong justru memilih menjadi warga negara Indonesia dan melanjutkan pendidikan tingginya di jurusan sejarah Indonesia,” kata David Reeve.
Ong kemudian dikenal sebagai sejarawan yang selalu berbicara tentang topik-topik Indonesia dengan aksentuasi sebagai orang Indonesia, bukan sebagai orang Indonesia peranakan Cina. Ia, misalnya, meneliti petani-petani di Jawa dan Gerakan Samin. Minat Ong terhadap Jawa terus membara sampai akhir hidupnya. “Kebanyakan penelitian Ong sesudah itu adalah tentang Jawa. Ini berlangsung terus sampai dia meninggal,” tutur Reeve.
•••
ONG mengalami banyak hal dramatis dalam hidupnya. David Reeve berkisah, Ong pernah mengalami depresi akibat gejolak politik 1964-1965. Ong tertarik pada Partai Sosialis Indonesia kubu Soedjatmoko dan Rosihan Anwar. Ia juga tertarik pada Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Ong ikut kubu “kiri” dan “kanan”. Namun Ong makin tertekan dan mengalami gangguan jiwa setelah kubu “kiri” dan “kanan” kian berjauhan dan bermusuhan. “Pasca-1965, Ong begitu tersentak oleh pembunuhan massal di Jawa Timur. Sekitar awal 1966, Ong mengalami semacam mental breakdown dan mulai teriak, ‘hidup PKI!’, ‘hidup Aidit!’ di jalanan. Ini sesuatu yang tidak begitu bijaksana sesudah PKI (Partai Komunis Indonesia) kalah. Dia mengalami stres politik. Ong akhirnya ditangkap dan dipenjara pada 10 Maret 1966 dan dibebaskan pada September 1966 berkat bantuan Noto (Nugroho Notosusanto),” ucap Reeve. Ia mengatakan Nugroho Notosusanto pada masa itu menjadi Kepala Pusat Sejarah Angkatan Darat dan punya posisi tinggi di Universitas Indonesia.
Ong Hok Ham bersama staf dan mahasiswa Universitas Indonesia di rumah Ong Hok Ham, 1980-an. Dok.Ong Hok Ham/Buku David Reeve, To Remain Myself The History of Onghokham
Ong lalu dikirim ke Amerika Serikat untuk memulihkan diri sekaligus melanjutkan studi sejarah. Ong menemukan kembali dirinya di Universitas Yale. Ong menulis disertasi tentang Keresidenan Madiun pada abad ke-19 yang dibukukan dengan judul Madiun dalam Kemelut Sejarah. Ia meneliti interaksi dan simbiosis kerajaan-kerajaan setempat dengan kolonial Belanda. Ong menyimpulkan raja-raja Jawa ingin menegakkan konsep dewa-raja lewat penjajahan Belanda. Menurut Ong, pemberontakan “Ratu Adil” yang terjadi di Madiun bukan terjadi karena faktor budaya, melainkan faktor pajak dan perihal kepemilikan tanah yang dikontrol sistem kolonial.
Lulus dari Universitas Yale, Ong kembali ke almamaternya di Universitas Indonesia dan menjadi dosen sejarah mulai sekitar Oktober 1970 dan pensiun pada 1989. Ciciek Kemalasari, alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, mengenang Ong sebagai dosen galak alias dosen killer. Ong bisa meluapkan kemarahan secara lisan ataupun melempar barang apabila ada mahasiswa yang dianggapnya tidak disiplin, malas, dan tidak mengerjakan tugas. “Pak Ong memang dosen killer, menakutkan, tapi aslinya orangnya sangat ramah,” kata Ciciek. Reeve membenarkan hal itu. “Kalau sedang merasa jengkel saat mengajar, Ong sering melempar apa saja yang ada di dekatnya ke arah mahasiswa. Ada penghapus, dilempar. Kapur dilempar,” ujar Reeve sambil memperagakan cara Ong melempar benda ke arah mahasiswa.
Berbeda dari sejarawan kampus yang berkutat dengan penelitian dan silabus kuliah, Ong lebih suka mencurahkan gagasan dan kritiknya lewat media massa. Ia banyak menulis sejarah populer Indonesia teraktual di Tempo, Kompas, Prisma, dan Jakarta Post sepanjang 1975-2001. Ong banyak menulis tema sejarah kuliner, seksualitas, dan seni; dari budaya rijsttafel (menghidangkan banyak piring berisi makanan di satu meja), tempe, sampai aliran lukisan Mooi Indie. Menurut Ong Hok Ham, seperti dituturkan David, Mooi Indie menggambarkan desa-desa di negeri Hindia Belanda yang indah, tenang, dan harmonis. Padahal faktanya terbalik. Banyak desa sering bergolak dan resah. “Menurut Ong, Mooi Indie justru kampanye Belanda agar penduduk tidak memberontak dan tanah jajahan gampang diatur.”
Ong Hok Ham di ruang perpustakaan rumahnya, Jakarta, 1985. Dok.Tempo/Wibowo Sumaji
Contoh lain yang unik, Ong adalah sejarawan pertama yang menulis tentang tuyul. Ong pernah diundang menjadi salah satu narasumber seminar bertajuk “Tuyul dan Alam Halus” yang diadakan di Balai Wartawan Semarang, 24-25 Oktober 1985. Menurut Ong, mitos tuyul muncul didasari rasa cemburu dan kecurigaan sosial kaum kelas bawah terhadap kaum pedagang yang mendadak tajir. Dalam esai berjudul "Legitimasi melalui Gaib" yang dipublikasikan koran Kompas edisi 13 November 1985, tuyul didefinisikan sebagai sosok demit yang berbentuk anak kecil, gendut, dan telanjang. “Itu pertama kalinya sejarawan serius menulis tentang tuyul,” tutur Reeve.
Menurut Reeve, Ong memang acap membawa perspektif lain dalam menggali sejarah Indonesia di tengah mewabahnya narasi historiografi ala Orde Baru. “Yang spesial dari Ong adalah minatnya pada kultus Bima di Jawa Timur. Itu yang kemudian seterusnya membuat Ong tertarik mempelajari sejarah kekuasaan di Jawa,” kata Reeve. Ong, misalnya, pernah mengulas Presiden Sukarno dengan pendekatan astrologi alias zodiak lewat artikel berjudul "Sukarno: Mitos dan Realitas". Pendekatan astrologi ini tidak pernah digunakan oleh sejarawan sebelumnya.
Ong juga suka “melawan arus” saat menulis sejarah. Ia membuat terobosan baru dalam penulisan sejarah Indonesia, misalnya, dengan menulis skripsi sarjana berjudul "Runtuhnya Hindia Belanda" (1987). Kebanyakan sejarawan menulis tema ini dengan perspektif Indonesia, Ong melihat periode pergerakan Indonesia dan pendudukan Jepang dari sudut pandang kolonial Belanda. “Tulisan Ong menjadi pintu baru dalam memandang Indonesia dari beragam perspektif,” ujar David.
Ong Hok Ham (kiri) bersama Daniel S Lev (tengah) dan Yap Thiam Hien, di Jakarta, 1984. Dok.Tempo/Nanang Baso
Bagi Ong, manusia adalah subyek utama penulisan sejarah. Ong berpendapat sejarah adalah mengenai orang, bukan struktur, sistem, ataupun institusi. Pedoman ini menjadikan cara berpikir Ong luwes sebagai cendekiawan dan karena ini pula Ong kurang suka pada metodologi. Ong tergolong sejarawan yang berani mengkritik langsung pemerintah Orde Baru. Hal ini berbeda dengan mendiang Sartono Kartodirjo yang menunjukkan ketidaksukaannya pada pemerintah dengan cara diam, tanpa reaksi keras, seperti mengundurkan diri dari tim penulisan Sejarah Nasional Indonesia edisi terakhir.
Bersama Petrus Kanisius Ojong dan Ong Tjong Hay (Sindhunata), Ong mendirikan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa yang kemudian berubah menjadi Badan Komunikasi Penghayat Kesatuan Bangsa atau Bakom PKB. Saat itu Ong getol menyerukan peleburan etnis Cina menjadi warga negara Indonesia. Pada 24 Maret 1960, Ong ikut menandatangani piagam “Menuju Asimilasi yang Wajar.” Ong dan kelompok penyeru asimilasi mendapat perlawanan dari golongan yang memilih integrasi, yang menolak peleburan 100 persen etnis Cina menjadi warga negara. “Itu membuktikan Ong sejak awal sudah sangat nasional. Dia orang Indonesia tulen. Dia suka menolak disebut orang Indonesia keturunan Tionghoa,” tutur Reeve.
•••
ONG Hok Ham adalah pribadi yang sangat menikmati hidup. Ong yang berkepala gundul dan berkacamata tebal bisa gampang dijumpai di terminal dan keluar-masuk pasar Glodok, Petak Sembilan, Pasar Ikan Muara Karang, Pasar Senen, dan Pasar Blok M. Di pasar, ia membeli bahan-bahan makanan yang akan dimasaknya dan untuk disajikan dalam pesta kecil di rumahnya yang berlokasi di kompleks perumahan Persatuan Wartawan Indonesia di Cipinang, Jakarta Timur. Ong kerap mengundang artis, kolega, dan muridnya untuk menghadiri pesta.
Ong Hok Ham (kanan) bersama Pramoedya Ananta Toer (kiri) di Jakarta, 1999. Dok.Tempo/Rully Kesuma
“Ong bukan hanya doyan mangan (makan), tapi dia juga jago masak dan jadi sejarawan Indonesia pertama yang menulis buku tentang sejarah kuliner,” ucap Reeve. Reeve menyebut Ong sebagai orang yang gemar berpesta serta minum wiski atau anggur. Kecintaannya pada kuliner membuat tulisan dan esai-esainya beragam. Ia tak melulu menulis sejarah pergerakan, tapi juga menggarap tema kuliner, seksualitas, dan seni.
Tentang tempe, misalnya, Ong menyebut tempe bersifat demokratis karena disantap raja dan disantap pula oleh tukang becak. Padahal, menurut Ong, kultur Jawa jauh dari kata demokratis. Lebih-lebih dari segi bahasa, bahasa Jawa sangat hierarkis. Karena persoalan tempe pula Ong pernah mempersoalkan ungkapan terkenal Bung Karno: “Jangan menjadi bangsa tempe.” Ong menyimpulkan tempe sebetulnya merupakan simbol bangsa Indonesia yang dijajah Belanda. Bung Karno sebenarnya ingin mengatakan jangan sampai bangsa Indonesia kembali dijajah.
“Bagi Ong, hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup seperti ungkapan yang biasa kita dengar dan ketahui,” ujar Reeve. Ia menyebut Ong sebagai manusia dengan dua sisi. Ong sangat berbakat dalam menulis sejarah, tapi bakatnya sering disia-siakan dengan terlalu banyak berpesta serta menenggak wiski dan anggur. Ong, menurut Reeve, adalah pribadi yang sangat flamboyan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Abdi Purmono dari Malang berkontribusi dalam penulisan artikel ini.