BUKAN hanya kendaraan umum non bis yang memprotes kehadiran bis
kota di Kota Bandung. Dus pekan lalu juga menyusul para
pengemudi beca. Untung tak terjadi kegaduhan seperti di
Surabaya. Tapi kejadian itu cukup menunjukkan bahwa
pengoperasian bis-bis kota di Bandung hendaknya juga dengan cara
lebih banyak memikirkan rezeki kendaraan-kendaraan lainnya.
Hal itu rupanya sudah disadari oleh Pejabat Walikota Bandung,
Husen Wangsaatmaja. "Dengan adanya bis itu tidak boleh merugikan
pihak kendaraan non bis," tutur Husen kepada TEMPO meskipun
ditambahkannya juga "walau bagaimana pun juga bis kota harus
jalan." Ini berarti jalan-jalan dalam kota yang masih serba
sempit akan semakin padat.
Bersaing Bebas
Soal keadaan jalan itu pula yang menyebabkan rencana
pengoperasian 60 buah bis kota itu agak tertunda-tunda selama
ini. Penyebab lain tentulah perhitungan bahwa kenderaan bertubuh
besar itu dapat dianggap akan menyapu calon penumpang
kendaraan-kendaraan lain yang selama ini telah ada. Karena itu
hari peresmian bis kota 17 Mei tadi hampir dilakukan secara
diam-diam, tak banyak diketahui orang.
Dan memang wajar. Kemarahan pertama kali muncul dari para
pengemudi kendaraan umum non bis. Tentu karena mereka merasa
rezeki sudah jauh berkurang sejak bis menderu di jalan raya.
Ahmad, pengemudi Honda pikap yang sehari-hari menjalani rute
Abdul Muis Ujung Berung, menuturkan pendapatannya sehari
rata-rata Rp 8.000 sebelum ada bis kota. Tapi sekarang setelah
bis milik Damri itu beroperasi, pendapatannya hanya sekitar Rp
4.000 sehari. "Setelah menyetor ke pemilik mobil dan beli
minyak, sisanya hanya untuk makan, tak ada yang dibawa pulang,"
kata Ahmad.
Walikota Husen memang menjanjikan tak akan mematikan kendaraan
umum non bis walaupun sudah ada bis kota. Jadi kedua pihak
dibiarkan bersaing bebas. Tapi walikota tak menyinggung soal
kesemrautan lalu-lintas selama ini, lebih-lebih setelah ada bis
kota. Sebab justru karena melihat keadaan lalu-lintas di Bandung
selama ini, kehadiran bis kota tadi mengundang makin banyak
pendapat tak setuju. Upeng Supena, Sekretaris Dewan Pimpinan
Cabang Organda Kotamadya Bandung, misalnya. Katanya: SK Walikota
kan sudah melarang penambahan angkutan umum di Bandung, tapi
mengapa didatangkan lagi bis kota? Menurut Upeng organisasinya
tak pernah diajak pihak Damri untuk membicarakan soal bis kota
itu. Ia menyesalkan hal ini, lebih-lebih karena organisasinya
mengurus 61 pengusaha angkutan dengan armada lebih dari 2.000
buah. Upeng juga mengungkapkan tahun 1968/1969 bis kota swasta
pernah beroperasi di kota ini. "Tapi keok oleh si kecil,"
tambahnya.
Tentang kehadiran kendaraan bertubuh besar itu, 2 pekan sebelum
diresmikan, agaknya juga masih diragukan oleh Kolonel Polisi
Soetrisno llham, Dan Tabes 86 Bandung. "Apa yang baik di kota
lain seperti Jakarta atau Medan atau Surabaya, belum tentu baik
buat Kota Bandung," kata Soetrisno. Alasannya karena sampai
pendaftaran akhir tahun lalu jumlah kendaraan bermesin yang ada
di kota ini sudah mencapai 200 .000 Iebih. Padahal panjang jalan
hanya 375 km. Belum lagi becak yang jumlahnya belasan ribu.
Pihak Balaikota sandung tak banyak memberi komentar. Pegangan
satu-satunya rupanya hasil survey tim ITB, Ditjen Hubungan Darat
dan Pemda Kotamadya Bandung 1976. Hasilnya memastikan, bahwa
kehadiran bis kota cukup mendesak bagi kota ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini