EMPAT puluh hari lamanya Kota Tulungagung sepi. Lima buah
bioskop yang ada di kota itu sejak 1 April lalu menyatakan
mogok, tak mau mengadakan pertunjukan. Alasannya: penerapan
Perda (peraturan daerah) sejak 1 Desember tahun lalu tentang
pajak tontonan, memberatkan para pengusaha gambar hidup. Bahkan
rugi. Rata-rata Rp 250.000 tiap bulan.
Dalam Perda itu ditentukan, pajak bioskop dipungut 25% dari
penghasilan per bulan. Dan tidak lagi dengan sistem borongan.
Dengan demikian pendapatan daerah meningkat menjadi Rp 3 juta
sebulan. Sebelumnya dengan sistem borongan pendapatan ini hanya
Rp 710.000 tiap bulan. Bagi Kota Tulungagung, kenaikan
pendapatan ini sangat berarti.
Tapi ternyata 5 bulan setelah peraturan itu berlaku, para
pengusaha bioskop tak kuat lagi. Memang sebelum mogok mereka
mencoba bertahan. Tapi bagi warga kota sebesar Tulungagung harga
karcis Rp 3 50 untuk kelas I sudah terasa berat. Penonton
berkurang. Karena itu dari pada rugi terus menerus, para
pengusaha akhirnya memilih menghentikan pemutaran film secara
serentak.
Pihak Pemda Tulungagung dengan cepat mengancam. "Kalau dalam
waktu 5 hari masih tak memutar film, izin usaha akan dicabut,"
kata Suharjo, kepala dinas pajak setempati "masih banyak yang
mau menggantikan mereka." Ancaman ini disambut dingin oleh para
pengusaha. Sebab kalkulasi mereka menunjukkan pengeluaran: 5%
untuk Ppn, 60% sewa film, sewa gedung Rp 25.000. Jika ditambah
pajak yang 25% itu, maka pendapatan mereka hanya angka nol yang
panjang. Belum lagi untuk membayar karyawan, listerik dan
lain-lain.
SK Menpen
Sewa film yang 60% itu memang cukup keterlaluan. Bahkan S.
Darman, Sekretaris Gabungan Pengusaha Bioskop Jawa Timur,
menilainya sebagai "melanggar SK Menpen." Tapi pendapat ini
segera dibantah Pengurus Persatuan Pengedar Film (Perfida) Jawa
Timur. "Yang jadi masalah pokok, para pengusaha bioskop di
Tulungagung tak punya gedung sendiri, hingga harus menyewa"
begitu alasan pihak Perfida. Namun S. Darman segera menemui
Martawi, Bupati Tulungagung. Dalam pertemuan hampir tak ada
kompromi. Sebab bagi Martawi, kerugian yang dirasakan para
pengusaha bukan karena pajak. Tapi karena terlalu banyak bioskop
di kota ini.
Sayang, persoalan ini belum menunjukkan tanda-tanda terbenahi,
masa jabatan Martawi berakhir akhir April lalu. Ia diganti
bupati baru. Singgih namanya. Dan beberapa hari saja Singgih
menduduki jabatannya, pertengahan bulan lalu ke-5 bioskop tadi
sudah terang benderang, main lagi. Para pengusaha sepakat dengan
Singgih, bahwa pajak film-film impor tetap 25%, sedang film
nasional 15%. Karena rupanya warga kota ini lebih menyukai film
nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini