Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mogok 40 hari

Kota tulungagung menjadi sepi karena 5 buah bioskopnya tidak mau mengadakan pertunjukan. pajak yang dikenakan pemda terlalu tinggi. setelah pergantian bupati, kompromi tercapai. (kt)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT puluh hari lamanya Kota Tulungagung sepi. Lima buah bioskop yang ada di kota itu sejak 1 April lalu menyatakan mogok, tak mau mengadakan pertunjukan. Alasannya: penerapan Perda (peraturan daerah) sejak 1 Desember tahun lalu tentang pajak tontonan, memberatkan para pengusaha gambar hidup. Bahkan rugi. Rata-rata Rp 250.000 tiap bulan. Dalam Perda itu ditentukan, pajak bioskop dipungut 25% dari penghasilan per bulan. Dan tidak lagi dengan sistem borongan. Dengan demikian pendapatan daerah meningkat menjadi Rp 3 juta sebulan. Sebelumnya dengan sistem borongan pendapatan ini hanya Rp 710.000 tiap bulan. Bagi Kota Tulungagung, kenaikan pendapatan ini sangat berarti. Tapi ternyata 5 bulan setelah peraturan itu berlaku, para pengusaha bioskop tak kuat lagi. Memang sebelum mogok mereka mencoba bertahan. Tapi bagi warga kota sebesar Tulungagung harga karcis Rp 3 50 untuk kelas I sudah terasa berat. Penonton berkurang. Karena itu dari pada rugi terus menerus, para pengusaha akhirnya memilih menghentikan pemutaran film secara serentak. Pihak Pemda Tulungagung dengan cepat mengancam. "Kalau dalam waktu 5 hari masih tak memutar film, izin usaha akan dicabut," kata Suharjo, kepala dinas pajak setempati "masih banyak yang mau menggantikan mereka." Ancaman ini disambut dingin oleh para pengusaha. Sebab kalkulasi mereka menunjukkan pengeluaran: 5% untuk Ppn, 60% sewa film, sewa gedung Rp 25.000. Jika ditambah pajak yang 25% itu, maka pendapatan mereka hanya angka nol yang panjang. Belum lagi untuk membayar karyawan, listerik dan lain-lain. SK Menpen Sewa film yang 60% itu memang cukup keterlaluan. Bahkan S. Darman, Sekretaris Gabungan Pengusaha Bioskop Jawa Timur, menilainya sebagai "melanggar SK Menpen." Tapi pendapat ini segera dibantah Pengurus Persatuan Pengedar Film (Perfida) Jawa Timur. "Yang jadi masalah pokok, para pengusaha bioskop di Tulungagung tak punya gedung sendiri, hingga harus menyewa" begitu alasan pihak Perfida. Namun S. Darman segera menemui Martawi, Bupati Tulungagung. Dalam pertemuan hampir tak ada kompromi. Sebab bagi Martawi, kerugian yang dirasakan para pengusaha bukan karena pajak. Tapi karena terlalu banyak bioskop di kota ini. Sayang, persoalan ini belum menunjukkan tanda-tanda terbenahi, masa jabatan Martawi berakhir akhir April lalu. Ia diganti bupati baru. Singgih namanya. Dan beberapa hari saja Singgih menduduki jabatannya, pertengahan bulan lalu ke-5 bioskop tadi sudah terang benderang, main lagi. Para pengusaha sepakat dengan Singgih, bahwa pajak film-film impor tetap 25%, sedang film nasional 15%. Karena rupanya warga kota ini lebih menyukai film nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus