Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAFATNYA Siti Hindun membawa kesibukan bagi Hatta Rajasa. Mantan Menteri Koordinator Perekonomian itu mondar-mandir menerima tamu yang melayat ke rumah duka di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Siti Hindun tak lain ibu dari Muhammad Riza Chalid, pengusaha minyak dan gas, yang menjadi sosok kunci dalam hasil audit forensik Petral, anak usaha Pertamina.
Tamu yang datang ke rumah duka pada Senin pekan lalu itu antara lain Aburizal Bakrie dan Idrus Marham. Keduanya masing-masing ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Golkar versi musyawarah nasional di Bali. Idrus pula yang memimpin upacara pemakaman. Hatta juga terlihat menyambut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon dari Partai Gerindra, dan Fahri Hamzah dari Partai Keadilan Sejahtera di ruang tengah.
Kedekatan Riza dan Hatta sudah terjalin lama. Hatta, misalnya, menjadi saksi saat Riza menikahkan anaknya, Juli tahun lalu. Tapi bekas Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini mengatakan kedekatannya dengan Riza sebatas teman. "Saya tidak pernah berbicara bisnis dengan dia," ujarnya.
Kedekatan Riza dengan sejumlah tokoh selama ini hanya menjadi bahan pergunjingan. Tapi kesibukan Hatta dan kedatangan sejumlah tamu menegaskan pertalian di antara mereka. Tempo, yang siang itu berada di dalam rumah duka, juga melihat bekas Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Muhammad Afdal Bahaudin serta bekas Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya di sana. Hadir pula mantan Komisaris Utama Pertamina Martiono Hadianto, bekas Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi R. Priyono, serta mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Bukan cuma politikus dan bekas pejabat di sektor minyak dan gas, Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan Kepala Badan Narkotika Nasional—yang juga mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri—Komisaris Jenderal Budi Waseso pun melayat ke rumah duka. Kedua jenderal ini diantar Riza hingga ke depan pintu saat berpamitan pulang.
PERTEMANAN Riza dengan sejumlah tokoh politik terlihat menjelang pemilihan presiden tahun lalu. Riza, misalnya, kerap mondar-mandir di Rumah Polonia, markas pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, di kawasan Cipinang, Jakarta Timur.
Seorang petinggi Partai Amanat Nasional mengatakan Riza bisa masuk ke kubu Prabowo-Hatta karena kedekatannya dengan Hatta. Menurut dia, Riza kerap hadir di rumah Hatta di Cilandak Barat, Jakarta Selatan. "Saat rapat membahas strategi politik, Riza beberapa kali nimbrung," ujarnya.
Menurut sumber itu, Riza juga datang pada suatu rapat saat Hatta mengukur peluang bergabung dengan Joko Widodo sebelum merapat ke Prabowo. Pada saat menyusun strategi komunikasi politik inilah Riza kerap hadir. "Riza juga berperan sebagai donatur," katanya.
Hatta membantah kabar bahwa Riza kerap hadir ke rumahnya. Ia juga mengatakan kabar yang menyebutkan Rumah Polonia dibiayai Riza cuma isapan jempol. Menurut dia, Rumah Polonia dibiayai Harris, Ketua Majelis Dzikir SBY.
Ditemui dua pekan lalu, mantan Menteri Perhubungan itu juga membantah cerita bahwa Riza terlibat aktif dalam aktivitas politik Partai Amanat Nasional, apalagi sampai ikut rapat menyusun strategi politik di rumahnya. "Sejengkal jari pun ia tak pernah ke rumah," ujarnya.
PENGARUH Riza Chalid dalam bisnis impor minyak bukan muncul tiba-tiba. Inaz Nasrullah, anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan, sebelum merintis bisnis, Riza bergabung dengan Perta Oil, cikal-bakal Petral. Saat itu, Riza tak langsung mengurus komoditas minyak. Ia justru ditugasi mengurusi ekspedisi. "Saya tahu persis saat itu Riza jadi broker surat-surat kapal dan surat izin di perhubungan," ujarnya.
Seorang pengusaha Indonesia yang sering berbisnis di Singapura mengatakan Riza dikenal ulet dan pekerja keras. Seorang pengusaha minyak asal Jepang bahkan pernah memuji kegigihan Riza dalam menjalin hubungan bisnis. "Dia selalu datang dan menepati janji setiap kali diminta bertemu, kapan pun waktunya," ujarnya.
Tak aneh bila nama Riza melejit dan mulai diperbincangkan di kalangan pedagang minyak, terutama di era Menteri Pertambangan dan Energi Purnomo Yusgiantoro. Nama Riza, misalnya, ramai dibicarakan setelah tersandung kasus impor minyak Zatapi pada 2008. Saat itu, Petral membeli minyak campuran—diberi nama Zatapi—melalui Global Resources Energy dan Gold Manor, dua perusahaan yang terafiliasi dengan Riza. Satu transaksi itu menyebabkan Pertamina tekor Rp 65 miliar. Kasus ini belakangan dihentikan Markas Besar Kepolisian RI karena dinilai tidak ada kerugian negara. Laporan Kajian Restrukturisasi Pertamina delapan tahun lalu menyebutkan Global Energy merupakan pemasok terbesar (33,3 persen) minyak mentah ke Pertamina Energy Services Ltd.
Sejak itu, Riza seperti tak tersentuh. Tak hanya pandai merangkul politikus, Riza juga akrab dengan pejabat tinggi Badan Intelijen Negara, pejabat auditor negara, dan aparat hukum. "Nama Riza tak tersentuh dalam audit di lembaga negara mana pun," kata auditor di salah satu lembaga negara.
Seorang mantan pengurus Partai Amanat Nasional mengatakan kedekatan Riza dengan PAN terjadi ketika anggota Dewan dari partai berlambang matahari itu bersikap keras dalam kasus dugaan korupsi impor Zatapi pada 2008. Riza melobi agar politikus PAN tidak terlampau galak dalam menyikapi kasus impor Zatapi. Riza menawarkan bantuan uang ribuan dolar Amerika. Namun Soetrisno Bachir, Ketua Umum PAN waktu itu, enggan menerima sumbangan Riza jika ada embel-embel di belakangnya. "Kalau menyumbang ikhlas boleh saja, tanpa harus meminta ini-itu," ujar politikus PAN menirukan omongan Soetrisno.
Soetrisno tidak menjawab saat dimintai konfirmasi soal ini. Ia juga tak membalas pesan pendek yang dikirim Tempo. Namun Hatta Rajasa, yang menggantikan Soetrisno pada periode 2009-2014, membantah adanya bantuan uang dari Riza. Hatta sempat bertanya kepada anak buahnya yang juga anggota DPR, Tjatur Sapto Edy, perihal bantuan dolar dari Riza. "Seingat saya tidak pernah," kata Tjatur.
Riza menutup rapat pintu wawancara. Ia tak merespons sejumlah panggilan, pesan pendek, serta surat permohonan wawancara dan pertanyaan tertulis yang diajukan ke kantornya di Equity Tower lantai 45, Sudirman Central Business District, dan di Jalan Warung Buncit Raya 49, Jakarta Selatan, serta rumah di Jalan Bango Raya, Cilandak, Jakarta Selatan. Saat ibunya wafat, sejumlah petugas keamanan melarang wartawan mendekat.
Akbar Tri Kurniawan, Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo