Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIR pekan selalu menjadi waktu berdebat tiga sahabat: Tami, Puspa, dan Tya. Menonton bioskop, makan, atau sekadar jalan-jalan. Keputusan sudah dibuat, pilihan tempat jadi masalah berikutnya. Tapi kini tiga sekawan itu punya cara mudah untuk memecahkan masalah. ”Tergantung diskon yang ditawarkan untuk pemegang kartu kredit,” kata Tya. Tawaran diskon itu kian luas, mulai dari hotel, restoran, toko elektronik, hingga toko buku. Besarnya pun beragam.
Kartu kredit kini memang sudah seperti uang. Pertumbuhannya tergolong tinggi. Asosiasi Kartu Kredit Indonesia menyebutkan, pada 2008 jumlah kartu kredit naik 26 persen menjadi 11,5 juta. Kenaikan itu diikuti pertumbuhan jumlah transaksi sebesar 24 persen menjadi 161 juta transaksi, dan nilai transaksinya juga melonjak 47 persen menjadi Rp 107, 3 triliun. Sampai April lalu, jumlah kartu bertambah 200 ribu lagi, sedangkan kredit yang diberikan per Mei lalu sudah Rp 61,7 triliun—naik 20,7 persen dibandingkan Mei 2008.
Riset Infobank pada Desember 2008 memperlihatkan bank nasional yang paling banyak mencetak kartu kredit berturut-turut adalah BCA 1,8 juta kartu, BNI 1,4 juta, dan Bank Mandiri 1,3 juta kartu. Jumlah kredit yang sudah digelontorkan hingga Maret 2009 adalah Rp 2,6 triliun untuk BCA, Rp 2,5 triliun untuk BNI, dan Rp 2,3 triliun untuk Bank Mandiri. Adapun tiga besar penerbit kartu kredit dari bank asing masih dikuasai Citibank, GE Money, dan HSBC. Secara keseluruhan, Citibank juga masih menjadi nomor satu untuk urusan uang plastik ini.
Namun Dewan Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia Dodit W. Probojakti memperkirakan, pertumbuhan bisnis kartu kredit tak secepat tahun lalu. Jumlah kartu dia perkirakan cuma naik 10 persen, jumlah transaksi naik 15 persen, dan nilai transaksi cuma tumbuh 20 persen. ”Tetap tumbuh, tapi melambat,” tutur Chief Operation Officer GE Money Indonesia ini.
Penyebabnya, kata dia, krisis global telah mendorong masyarakat mengatur ulang pengeluaran dan pembayaran utangnya. Masyarakat tak lagi jor-joran memiliki banyak kartu kredit. ”Paling banyak dua,” ucapnya. Bank pun tak bisa memaksa konsumen menambah kartu kreditnya seperti dulu lagi.
Toh para bankir tetap mencanangkan ekspansi pada tahun ini. Citibank menargetkan volume transaksi naik hingga 20 persen tahun ini. Caranya dengan memberikan reward poin untuk setiap nilai pembelanjaan tertentu. Menurut Usthavia Frans, Country Marketing Director Citibank Indonesia, memberi poin lebih bagus ketimbang diskon. Sebab, dari poin-poin yang dikumpulkan, konsumen bisa memakainya lagi untuk makan di restoran atau membeli barang. ”Juga untuk traveling,” katanya.
Penerbit kartu kredit terbanyak di lingkup bank pemerintah. BNI tahun ini masih mematok pertumbuhan kartu kredit 10 persen. Tapi kali ini dengan strategi berbeda. BNI akan membidik konsumen kelas atas, khususnya nasabah BNI Wealth Management yang berjumlah 7.100. Menurut Direktur Utama BNI Gatot M. Suwondo, belum semua dari mereka menggunakan kartu kredit BNI. Sedangkan pasar kartu dengan batas kredit Rp 5 juta dirasakan sudah terlalu sumpek. ”Semua pemain nyemplung ke situ,” tuturnya.
Bank BCA menggunakan strategi lain lagi. Bank terbesar ketiga di Indonesia ini memilih menjalin kolaborasi dengan Carrefour. Pemegang kartu akan mendapat diskon jika berbelanja di retailer asal Prancis itu. Selain memiliki 45 hipermarket, Carrefour belum lama ini juga mencaplok Alfa. Makanya, tahun ini BCA berani mematok pertumbuhan kartu kredit sampai 20 persen, menjadi 2,5 juta kartu. Terbukti, kerja sama dengan Carrefour sudah menjaring 300 ribu pemegang kartu baru. ”Bisnis kartu kredit mencoba mengerti kebutuhan nasabah lebih banyak,” tutur Direktur BCA Henry Koenaifi.
Bank asing yang juga getol menjual kartu kredit, Standard Chartered Bank, punya prinsip lebih mengutamakan kemampuan membayar konsumen. Tujuannya supaya ”kesehatan” utang terjaga. Itu sebabnya, bank asal Inggris ini lebih membidik konsumen dengan pendapatan stabil minimal Rp 6 juta per bulan. ”Kalau ada krisis pun, segmen ini cukup tahan guncangan,” kata Ina Susanti, General Manager Lending Standard Chartered Bank Indonesia.
Kehati-hatian itu memang diperlukan. Rasio kredit seret (non-performing loan) dari kartu kredit tergolong sangat tinggi. Per Mei lalu, angkanya masih 8,6 persen. Memang turun dibandingkan Mei 2008 yang 11,9 persen. Tapi, secara nominal tetap saja besar, yakni Rp 5,3 triliun dari total kredit Rp 61,7 triliun. Menurut Dodit, bank sebetulnya juga sudah makin hati-hati. Dari seratus permintaan, paling hanya 20-30 yang disetujui. ”Saringan kita makin ketat,” katanya.
Bank Indonesia juga tak henti-hentinya memberikan penerangan bahwa kartu kredit bukan uang. Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad mengatakan, tingginya kredit bermasalah itu menunjukkan masyarakat belum memahami fungsi kartu kredit. Alat pembayaran ini tidak serupa dengan uang. Sifatnya utang tanpa agunan, sehingga risikonya tinggi bagi bank. ”Makanya bunganya mahal,” tuturnya. Tapi, bagi sebagian masyarakat, kartu kredit tetap saja bak penyambung napas ketika duit di kantong sudah menipis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo