Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kecil itu Indah

Bank berebut menggarap kredit usaha mikro dan kecil. BRI masih jadi raja.

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Danamon bersih-bersih pasar pada pertengahan Juli lalu. Aksi yang dimotori Yayasan Danamon Peduli ini mendandani 750 pasar tradisional di 31 provinsi di Tanah Air. Got dan toilet dibersihkan dan diperbaiki, jalan di dalam pasar diberi paving block. Ada juga pemeriksaan kesehatan gratis untuk mencegah penyakit menular. Bujetnya hampir Rp 5 miliar. Tahun lalu mereka menggarap 500 pasar tradisional.

Danamon memang terus mendekat ke pasar becek. Delapan ratus kantor cabang bank ini—dari total seribu—berlokasi dan menjangkau 1.500 pasar tradisional di seluruh Indonesia. Danamon mengubek-ubek pasar sejak 2004 melalui Danamon Simpan Pinjam. Tanpa dasi, staf Danamon Simpan Pinjam menjemput bola di pasar-pasar mencari nasabah mikro, kecil, dan menengah.

Selama enam bulan pertama tahun ini, ribuan ujung tombak bank milik Temasek, Singapura, ini sudah menyalurkan Rp 11,5 triliun kepada usaha mikro, kecil, dan, menengah. ”Naik 20 persen dibanding tahun lalu,” kata Minhari Handikusuma, Self Employed Mass Market Business Head PT Bank Danamon Indonesia. Kini, dengan setengah juta nasabah, Danamon nomor dua di belakang BRI, yang memang sudah lama menjadi raja kredit mini.

Posisi Bank BRI memang sulit digeser. Bank yang telah beroperasi 100 tahun lebih ini punya spesialisasi melayani usaha kecil. Porsi kredit untuk mereka mencapai 81,7 persen. Sampai Maret lalu, posisi penyaluran kredit mikro BRI sudah Rp 44,4 triliun dari total pinjaman untuk usaha mikro, kecil, dan menengahnya sebesar Rp 135 triliun. Melalui Teras BRI, bank terbesar kedua ini ingin terus menggelembungkan nasabah mikro yang kini sudah 20 juta.

Itu sebabnya BRI sangat memperhatikan nasabahnya. Dalam acara Gelar Kebangkitan Jamu Indonesia pada Mei lalu, misalnya. Kala itu, Bank BRI mendatangkan 31 pedagang jamu dari berbagai provinsi ke Jakarta. Mereka diinapkan di hotel bintang lima, Hotel Sultan. Biayanya tidak kecil, Rp 270 juta. Padahal, total kredit mereka ke BRI cuma Rp 15,5 juta. ”Tidak masalah. Mereka kebanggaan kami,” kata Direktur Utama BRI, Sofyan Basir.

Setelah BRI dan Danamon, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) juga cukup serius menggarap ceruk ini. Bahkan bank milik Texas Pacific Group ini harus memboyong puluhan karyawan Bank Danamon agar bisa bersicepat masuk ke bisnis ini, salah satunya Wakil Direktur Utama Bank Danamon Jerry Ng, pada Oktober 2008. Tapi baru enam bulan lalu BTPN membentuk Mitra Usaha Rakyat sebagai ujung tombak. Sebagai pemula, BTPN sudah menjangkau 16 ribu nasabah dengan total kredit mikro Rp 351 miliar dari total kredit Rp 11 triliun.

Persis dengan kompetitornya, para ”penyerang” BTPN juga blusak-blusuk pasar membawa mesin electronic data capture untuk menampung tabungan ataupun memberikan pinjaman. Nasabah tinggal menempelkan jempol, semua urusan selesai. ”Gampang, kilat,” kata Direktur Utama BTPN Jerry Ng. Dia menambahkan, nasabah mikro tak butuh kantor bank yang dingin dan keren. Mereka hanya perlu akses ke bank yang cepat dan mudah.

Bank Mandiri juga termasuk yang mulai melirik sektor mikro. Mulai masuk pada 2005, kini bank terbesar di Indonesia ini sudah menduduki posisi ketiga di bawah BRI dan Danamon. Sampai Juni 2009, Mandiri telah menyalurkan kredit mikro Rp 4,8 triliun atau 2,6 persen dari total kreditnya sebesar Rp 181,6 triliun. Pertumbuhannya pun luar biasa, yakni sampai 39,9 persen pada 2009. Nasabah Mandiri sudah 300 ribu. Per Juni 2009 nasabah usaha kecil, menengah, mikro, dan konsumer naik lebih dari 93 ribu nasabah. ”Kalau bisa sudah nomor dua,” kata Direktur Kredit Mikro dan Retail Bank Mandiri, Budi G. Sadikin.

Masih ada sederet bank yang menggeber pasar ini. Ada CIMB Niaga, BII, Bukopin, atau Rabobank. Citibank pun terjun dengan Citifinancial, HSBC membentuk Pinjaman HSBC. Juga ada SBI Indonesia—anak perusahaan State Bank of India dan DBS Indonesia, anak perusahaan DBS berbasis di Singapura. DBS menargetkan kredit mikro akan mendapat porsi sepertiga dari total kredit tahun ini.

Secara keseluruhan, pertumbuhan kredit mikro memang cukup tinggi. Per Mei 2009, total kredit ini—maksimal Rp 50 juta per nasabah—yang sudah disalurkan perbankan mencapai Rp 221,9 triliun atau 17 persen dari total kredit pada kurun waktu yang sama. Dibandingkan Mei 2008, pinjaman mikro tumbuh 13,6 persen. Penyumbang terbesar (48 persen) tetap bank pemerintah, terutama Bank BRI dan disusul oleh bank swasta.

Ada sejumlah alasan yang membuat perbankan mulai serius menggarap sektor ini. Kondisinya sangat berbeda dibandingkan era 1990-an, ketika perbankan dipaksa menyalurkan kredit usaha kecil minimal 20 persen. Kini, tanpa paksaan pun, mereka sudah kepincut masuk ke usaha kecil. ”Tidak banyak debitor yang menyalahgunakan pinjamannya,” kata Sofyan. Rasio kredit seret dari kredit usaha kecil hanya 1-3 persen. BRI, misalnya, hanya 1,62 persen.

Pinjaman mini ini juga menjanjikan tingkat keuntungan yang tinggi. Ini terlihat dari tingginya net interest margin (NIM). Danamon, misalnya, pada semester pertama tahun ini mampu meraih selisih bunga bersih untuk kredit mikro sampai 11,5 persen, naik dari 10 persen pada tahun lalu. Bank-bank lain juga mencatat tingkat keuntungan yang tinggi untuk kredit mikro, yakni 9-11 persen. Ini jauh di atas rata-rata NIM bank komersial yang 5,54 persen.

Pasar yang masih besar juga membuat para pemainnya terus berusaha menggenjot ekspansi. Bank Mandiri akan melipatempatkan unit usaha mikronya menjadi 1.000. Bank BRI pun tak mau kalah dengan membangun 200 Teras BRI tahun ini. ”Pasarnya masih sangat terbuka,” kata Jerry. Dia menunjuk BTPN. Dari 40 ribu nasabah yang digaet dalam enam bulan terakhir, 80 persennya tak pernah mendapatkan pinjaman dari bank lain.

Persaingan memang tidak terlalu keras di kelas ini. Minhari mengatakan, pasar usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia mencapai 50 juta. Dari jumlah itu, baru 30 persen yang digarap. Kalaupun ada kompetisi, biasanya terjadi di perkotaan. Di pelosok yang jauh, hanya beberapa pemain yang mau masuk. ”Kami hampir tak punya pesaing di Ambon, Poso, dan Papua,” kata Minhari.

Lagi pula, perilaku nasabah kecil sangat berbeda dengan korporasi. Nasabah usaha kecil biasanya loyal. Hampir semua bankir mengatakan bahwa mereka jarang tabrakan di lapangan untuk menggaet nasabah baru. Sebaliknya, nasabah korporasi seperti kutu loncat. ”Hari ini ke bank mana, besok sudah pindah lagi ke bank lain,” kata Direktur BRI, Sulaiman Arif Arianto.

Namun tantangan masih ada: bunga pinjaman yang tetap tinggi. Saat ini suku bunga pinjaman mikro masih di atas 2 persen. Hanya beberapa bank yang sudah menurunkan bunga sampai 1,5-1,75 persen. Meskipun demikian, angka itu masih jauh di bawah bunga rentenir yang bisa sampai 10 persen sebulan. Dan lagi, tingginya bunga itu bukan cerminan dari tingginya risiko, tapi lebih karena biaya per nasabah memang masih besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus