Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUIT yang dinanti-nanti manajemen Bank Eksekutif akhirnya nongol juga. Departemen Keuangan telah mencairkan uang yang nyangkut itu sebesar Rp 72 miliar. Maka perseroan—terutama pemilik—akan aman: tak perlu lagi membuka dompet untuk menyetor tambahan modal.
”Sudah cair, 17 Juli lalu,” kata Direktur Utama PT Bank Eksekutif Internasional Tbk. Tony Antonius kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Dana itu mulanya disimpan di Unibank, senilai Rp 65 miliar. Pada 2002, Bank Indonesia membekukannya, lantas pemerintah mengambil alih manajemen Unibank. Direksi Bank Eksekutif mengurus simpanannya itu melalui jalur hukum. Pada Februari 2008, Mahkamah Agung memutuskan bank yang mayoritas sahamnya dimiliki keluarga Lunardi Widjaja ini berhak atas dana itu. Proses pencairannya yang tak mudah. Baru pekan lalu Tony mendapatkan kepastian bahwa pemerintah bersedia mengembalikan dana plus bunga sebesar Rp 72 miliar.
Manajemen Bank Eksekutif sangat mengharapkan uang itu untuk menambah modal. Laporan keuangan tahun lalu menunjukkan ekuitas perseroan cuma Rp 88,17 miliar. Padahal ketentuan Arsitektur Perbankan Indonesia menetapkan bank umum mesti mengantongi modal minimum Rp 100 miliar per Desember 2010.
Sebenarnya direksi punya skenario cadangan, sebagai antisipasi bila duit batal cair: Bank Eksekutif akan menggandeng mitra. Layaknya kembang desa, bank ini memang sedang dilirik banyak investor. Ada lembaga keuangan lokal yang mepet mau menggaet. Sederet pemodal mancanegara—dari Korea, Singapura, Malaysia, dan India—pun siap meminang.
Rupanya, tak semua lirikan itu diladeni. Tony mengatakan pemodal yang memiliki visi yang sama saja yang ditanggapi serius. Lobi pinang-meminang pun masih berlanjut sampai sekarang, kendati modal perseroan telah melampaui batas minimum.
Bank Eksekutif merupakan satu dari sederet bank nasional yang terancam keserempet aturan Arsitektur Perbankan Indonesia. Biro Riset Infobank pada akhir Mei lalu mencatat sejumlah bank, meski tergolong sehat, memiliki modal kurang dari Rp 100 miliar. Misalnya Bank Purba Danarta, Bank Fama Internasional, Bank Ina Perdana, Amin Bank, Bank Nationalnobu, Bank CNB, Bank Liman Internasional, Prima Bank, Bank Artos Indonesia, dan Bank Mitra Niaga.
Bank-bank lain selamat setelah investor menginjeksikan dana segar. Misalnya Bank UIB—dulu PT Utama International Bank—yang diakuisisi BCA senilai Rp 248,25 miliar. Pada semester pertama 2008, bank ini mencatat ekuitas Rp 92,9 miliar. Proses pengambilalihan tuntas pada 12 Juni lalu. Pemegang saham baru mengkonversi UIB dari bank umum menjadi bank umum syariah.
Bank Akita termasuk yang di posisi aman sekarang. Barclays Bank PLC, lembaga keuangan dan investasi asal Inggris, mengakuisisi 99 persen saham bank nasional nondevisa ini. Izin akuisisi dari Bank Indonesia terbit pada Januari 2009. Per akhir Februari 2009, bank ini memiliki modal Rp 97,4 miliar.
Investor asing belakangan gencar merambah Indonesia. Mereka mengincar bank-bank lokal yang terancam keserempet aturan Arsitektur Perbankan Indonesia. The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited alias HSBC tak melewatkan kesempatan ini.
Melalui anak usahanya, HSBC Asia Pacific Holdings (UK) Limited, HSBC mengakuisisi 88,89 persen saham PT Bank Ekonomi Raharja. Nilai transaksinya mencapai US$ 607,5 juta atau sekitar Rp 5,9 triliun. Dana segar itu tentu mendongkrak ekuitas perseroan—laporan keuangan Bank Ekonomi pada 2008 menunjukkan ekuitas sebenarnya telah mencapai Rp 1,62 triliun.
Bank SBI Indonesia juga sudah ancang-ancang. Anak perusahaan State Bank of India ini siap meminang satu bank kelas menengah. Menurut Presiden Direktur SBI Indonesia Rajiv Saran, akuisisi merupakan bagian dari strategi pengembangan usaha nonorganik. ”Ini strategi untuk tumbuh cepat,” katanya.
Awalnya, SBI Indonesia adalah Bank Indo Monex. Pada 2006, State Bank of India mengakuisisi 76 persen saham dan mengambil alih kontrol. Tiga tahun kemudian, Indo Monex bersalin nama menjadi SBI Indonesia.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad mengatakan serbuan perbankan asing merupakan fenomena global, tak hanya di Indonesia. Penyebabnya, antara lain, bank-bank domestik ogah membeli bank lokal dengan harga tinggi. Padahal yang membikin harga bank mahal adalah teknologi informasi atau IT. ”Belanja IT itu tidak murah,” katanya.
Majalah Infobank, kata Direktur Riset Infobank Eko W. Supriyanto, pada 2005 membikin survei terhadap pemilik bank lokal. Hasilnya, mereka memang lebih suka menjual kepemilikannya kepada investor asing. Alasannya, ”Gengsi.”
Tapi, menurut Muliaman, faktor pertumbuhan pasar Indonesialah yang paling membikin pemodal asing ngiler. Tingkat profitabilitas bank di Indonesia, alias return on asset, paling tinggi di Asia. Simak saja laporan keuangan bank-bank yang keuntungannya bisa mencapai Rp 3-5 triliun. ”Lembaga-lembaga global itu itung-itungan. Dia tidak akan turun kalau tidak menguntungkan,” kata Muliaman.
Makroekonomi Indonesia juga bagus. Bayangkan, ketika negara-negara lain minus dihantam krisis keuangan global, Indonesia mencatat pertumbuhan empat persen pada semester pertama 2009. ”Pasar Indonesia sangat menjanjikan,” kata Hendra Gunawan, Presiden Direktur Bank DBS Indonesia.
DBS Indonesia tergolong bank swasta nasional yang dimiliki asing. Pemegang 99 persen sahamnya adalah DBS Bank Ltd., Singapura. Bank yang kini memiliki 40 cabang itu membidik sektor usaha kecil dan menengah serta consumer banking. Ini didasarkan atas studi konsultan McKenzie Consulting yang menyatakan 50 persen lebih produk domestik bruto Indonesia didorong sektor usaha kecil-menengah.
Saat ini, pasar bisnis itu baru digarap 25 persen. Dengan demikian, Hendra menambahkan, ada kesempatan bank-bank di Indonesia untuk tumbuh ke segmen itu. Ini bukan berarti bank lain akan kalah bila DBS masuk. Sebab, pasar berkembang terus dan kebutuhan kredit meningkat.
Negeri ini juga memikat Rabobank, yang melihat tingkat populasi penduduk sebagai potensi. Menurut Wakil Direktur Utama Rabobank International Indonesia Danny Hartono, Indonesia adalah penghasil utama komoditas pangan dunia. Bank asal Belanda ini memang menekuni sektor agrobisnis.
SBI Indonesia tertarik dengan liberalisasi sektor finansial. ”Pemerintah Indonesia investor friendly,” kata Rajiv Saran. Itu berbeda dengan India, yang baru memulai liberalisasi pada 1991. Di sektor finansial, India malah membatasi investasi asing maksimal 20 persen. Begitu juga dengan sektor asuransi.
Bank Indonesia memang membuka pintu lebar-lebar bagi asing untuk memiliki saham di perbankan nasional hingga 99 persen. Padahal ketentuan World Trade Organization, yang diratifikasi Indonesia, menetapkan kepemilikan asing di bank campuran cukup 85 persen saja. ”Dalam beberapa hal, Indonesia berada di depan, lebih liberal,” kata Rajiv.
Persoalannya, kata Eko, apakah pemain asing berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia, terutama dalam menjalankan fungsi intermediasi bank. Bagaimana pula dengan transfer pengetahuan dan teknologi. Selama ini, investor asing hanya memburu laba. ”Dia sangat kapitalis,” ujar Eko. Perhatikan, kata Eko, hampir semua bank asing di sini bergerak di consumer banking: kartu kredit, kredit mobil, kredit rumah, dan kredit tanpa agunan, karena sangat menguntungkan.
Menurut Muliaman, kontribusi asing tidak melulu diukur dari besaran kredit yang dikucurkan, tapi bisa ditimbang juga dari bagaimana ia menjalankan fungsi sistem pembayaran dalam perdagangan internasional. Keberadaan asing juga memberikan kepercayaan pasar. ”Orang kalau mau berkunjung ke Indonesia bertanya, misalnya, ’Ada Citibank, enggak?’” Itu jadi ukuran tingkat kemodernan.
Bank Indonesia juga mempertimbangkan aspek sumber pembiayaan usaha kecil-menengah. Faktanya, kata Muliaman, bunga pinjaman BPR melangit. Kini, dengan munculnya bank-bank swasta lain, mereka banting bunga. Dalam hal ini, yang diuntungkan adalah nasabah usaha kecil.
Tapi, Muliaman menambahkan, Bank Indonesia pun membatasi gurita pemain asing. Antara lain, mereka hanya boleh membuka cabang di kota-kota besar di Tanah Air. Hal ini untuk meminimalisasi dampak negatif. Misalnya para pemain asing itu justru mematikan bank lokal atau bank perkreditan rakyat akibat persaingan yang ketat.
Bank sentral juga memelototi pergerakan investor. Ini untuk mengantisipasi bila pemilik ujung-ujungnya menjual—harus kepada pihak yang beriktikad baik, berdedikasi, dan berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia.
Selama ini, pemain asing itu biasanya datang setelah deal dengan bank lokal. Bank Indonesia menyaring melalui fit and proper test. Pertama, harus ada rencana yang jelas dari calon investor, apa yang akan dilakukan dalam lima tahun mendatang: menambah modal, menjadikan bank devisa, atau berfokus ke usaha mikro, kecil, dan menengah.
Kedua, pemilik baru tidak boleh memperjualbelikan sahamnya, setidaknya selama lima tahun ke depan. Ini untuk menghindari kasus goreng-menggoreng: membeli bank, memoles sedikit, lantas menjualnya. ”Itu tidak boleh,” kata Muliaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo